Iklan
Kolom

Nyadran, Dugderan, Dandangan

 

Oleh Hamidulloh Ibda*

 

Iklan

Menjelang Ramadan, beragam ekspresi muncul untuk menyambut bulan penuh berkah tersebut. Di dunia banyak ditemukan tradisi menyabut Ramadan. Catatan Harahap (2025) mengungkap tradisi Kanon Ramadan (UEA), Garangao (Qatar), Tedaru (Brunei Darusalam), Bazar Ramadan (Malaysia), Qatayef (Yaman), Fanous (Mesir), Tabuhan Gendang (Turki), Tembakan Meriam (Lebanon), Seheriwalas (India), dan lainnya. Sedangkan di Indoneai terdapat Meugang (Aceh), Malamang (Sumbar), Marpangir (Sumut), Bebantai (Jambi), Pacu Jalur (Riau), Belangiran (Lampung), Ziarah Kubor (Sumsel), Papajar (Jabar), Nyorog (Jakarta), Mattunu Solong (Sulbar), dan lainnya.

 

Sebagai bulan suci bagi umat Islam, Ramadan selalu disambut dengan suka cita dan tradisi yang kaya di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, terdapat tiga tradisi yang mendarahdaging. Tradisi menyambut Ramadan tersebut diwarnai dengan berbagai kegiatan yang unik dan sarat makna: utamanya Nyadran, Dandangan, dan Dugderan. Ketiganya merupakan manifestasi budaya lokal yang berpadu dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni tradisi yang memperkaya khazanah keislaman di Nusantara.

Setiap tahun, masyarakat di berbagai daerah di Indonesia memiliki cara tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadan. Di Jawa Tengah, terdapat tiga tradisi khas yang telah berlangsung turun-temurun, yaitu Nyadran, Dugderan, dan Dandangan. Ketiga tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari budaya lokal, tetapi juga memiliki akar kuat dalam ajaran Islam dan menjadi manifestasi dari akulturasi budaya serta religiusitas masyarakat setempat.

 

Nyadran

Nyadran merupakan tradisi ziarah kubur yang dilakukan menjelang Ramadan, terutama oleh masyarakat Jawa. Kata “Nyadran” berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha,” yang berarti keyakinan atau penghormatan kepada leluhur (Koentjaraningrat, 1984). Tradisi ini umumnya diawali dengan membersihkan makam keluarga, mendoakan arwah leluhur, serta menggelar kenduri atau selamatan.

 

Saya sendiri sudah banyak menulis soal nyadran dan dugreran, seperti Penguatan Tasawuf Sosial Lewat Nyadrani (2018), Nyadran dan Penguatan Nasionalisme (2018), Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan (2018), Penguatan Nilai-Nilai Sufisme dalam Nyadran sebagai Khazanah Islam Nusantara (2018), dan Dugderan: Ekspresi Warga Semarang Sambut Ramadan (2025).

 

Dalam perspektif Islam, ziarah kubur memiliki nilai ibadah yang dianjurkan, sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW: “Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim).

 

Nyadran merupakan tradisi ziarah kubur yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini melibatkan membersihkan makam leluhur, menabur bunga, dan memanjatkan doa. Nyadran bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur seperti penghormatan kepada leluhur, pengingat akan kematian, dan mempererat tali silaturahmi antar keluarga. Melalui Nyadran, masyarakat tidak hanya menjaga hubungan dengan leluhur, tetapi juga memperkuat kesadaran akan kehidupan akhirat serta meningkatkan ketakwaan menjelang bulan suci.

 

Dugderan

Dugderan adalah tradisi khas Kota Semarang yang sudah ada sejak abad ke-19, diperkenalkan oleh Bupati Kiai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat pada masa kolonial (Sutarto, 2004). Nama “Dugderan” berasal dari suara bedug (dug) dan dentuman meriam (der) yang menjadi tanda awal Ramadan.

 

Acara Dugderan meliputi pawai budaya, festival pasar rakyat, serta diiringi maskot khas Warak Ngendhog, yang melambangkan keberagaman etnis di Semarang. Tradisi ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi momen memperkuat kebersamaan antarwarga dalam menyambut bulan penuh berkah.

 

Dugderan adalah tradisi yang digelar di Kota Semarang setiap menjelang Ramadan. Tradisi ini berupa karnaval yang dimeriahkan dengan berbagai macam kesenian, seperti barongan, reog, dan warak ngendok. Dugderan juga menjadi ajang bagi masyarakat untuk berziarah ke makam para ulama dan tokoh agama di Semarang.

 

Dugderan memiliki sejarah yang unik. Dugderan berawal dari tradisi masyarakat Semarang yang suka berkumpul dan bersenang-senang. Tradisi ini kemudian diadaptasi oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran Islam melalui kesenian. Dugderan menjadi simbol akulturasi budaya lokal dengan nilai-nilai Islam.

 

Tahun 2025 ini, Dugderan di Kota Semarang digelar pada 17-26 Februari 2025 dalam menyambut Ramadan. Tema Dugderan di Kota Semarang tahun 2025 adalah “Bhineka Tunggal Budaya dalam Harmoni Dugder 2025″. Tema ini mencerminkan semangat persatuan dan keragaman yang ada di masyarakat Semarang.

 

Sebagai tanda Dugderan, tiap tahun selalu digelar Pasar Dugderan di wilayah Pasar Johar dan Kota Lama Semarang. Pasar Dugeran tahun 2025 berbeda dengan tahun sebelumnya. Pasar Dugderan 2025 ini kembali dimeriahkan adanya wahana permainan pasar malam. Sehingga banyak pedagang yang berharap Pasar Dugderan lebih ramai pengunjung. Setelah Pasar Dugderan, nantinya akan ada kirab dugderan yang rencananya akan dilaksanakan tanggal 28 Februari 2025.

 

Dandangan

Dandangan adalah tradisi khas Kudus yang berakar dari masa Sunan Kudus. Dalam buku Literature of Java, Pigeaud (1967) menyebut bahwa dahulu masyarakat berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman resmi dimulainya Ramadan dari para ulama. Tradisi ini berkembang menjadi pasar malam yang menjajakan berbagai makanan khas dan kebutuhan Ramadan.

 

Dandangan adalah tradisi khas masyarakat Kudus yang digelar setiap menjelang Ramadan. Tradisi ini ditandai dengan penabuhan beduk di Menara Kudus sebagai tanda dimulainya bulan puasa. Dandangan tidak hanya menjadi simbol penyambutan Ramadan, tetapi juga menjadi ajang bagi masyarakat untuk berkumpul, berziarah ke makam Sunan Kudus, dan menikmati berbagai jajanan khas Kudus.

 

Dandangan memiliki akar sejarah yang kuat. Menurut Abdul Jalil, Litbang Yayasan Masjid Menara dan Malam Sunan Kudus, tradisi ini berawal dari kebiasaan Sunan Kudus yang mengumpulkan para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman awal Ramadan. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi perayaan yang meriah dan menjadi daya tarik wisata bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya

 

Sunan Kudus sendiri dikenal sebagai ulama yang mengedepankan akulturasi Islam dengan budaya setempat, sehingga tradisi Dandangan menjadi bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Islam yang dikombinasikan dengan kearifan lokal.

 

Pada Ramadan 1446 H tahun 2025 ini, Festival Dandangan Kudus 2025 mengusung tema “Meriahkan Tradisi, Budaya, dan Ekonomi Lokal” dengan melibatkan 450 UMKM dan didukung APBD Kudus 2025 sebesar Rp 108 juta.

 

Nyadran, Dugderan, dan Dandangan adalah tiga tradisi Islam khas di Jawa Tengah yang tidak hanya mempertahankan nilai budaya, tetapi juga memperkuat aspek spiritual masyarakat dalam menyambut Ramadan. Tradisi ini membuktikan bahwa Islam di Nusantara berkembang dengan mengedepankan harmoni antara syariat dan budaya lokal, sehingga menciptakan keberagaman yang tetap dalam bingkai keislaman.

 

Nyadran, Dandangan, dan Dugderan adalah contoh-contoh tradisi Islam yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur. Ketiga tradisi ini tidak hanya menjadi simbol penyambutan Ramadan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa Tengah. Ketiganya menunjukkan bahwa Islam dapat berbaur dengan tradisi lokal, menciptakan harmoni yang indah dan memperkaya khazanah keislaman di Indonesia.

 

Lalu, apa tradisi menjelang Ramadan di tempatmu? Aja-aja ora ono!

 

*Dr. Hamidulloh Ibda, penulis lahir di Pati, dosen dan Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung (2021-2025), Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah (2024-2029), reviewer 31 Jurnal Internasional terindeks Scopus, Editor Frontiers in Education terindeks Scopus Q1 (2023-sekarang), dan dapat dikunjungi di website Hamidullohibda.com.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button