Ramadan: antara Pati, Semarang, Blora, Temanggung, dan Jogja
Oleh Hamidulloh Ibda*
Setiap tempat menyimpan enigma, rasa, karsa, budaya, dan juga kata-kata. Terutama saat Ramadan seperti ini. Ramadan sebagai bulan yang penuh berkah dan rahmat, merupakan salah satu momen yang paling dinantikan oleh umat muslim di seluruh dunia. Jika mengingat tempat-tempat tertentu saat Ramadan, yang paling saya ingat tentu Pati, Semarang, Blora, Temanggung, dan Jogjakarta.
Di lima tempat tersebut, Ramadan disambut dengan sukacita dan antusiasme yang luar biasa. Selama bulan ini, masyarakat tidak hanya menjalankan ibadah puasa, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kebersamaan, kepedulian, dan kedermawanan. Saya sendiri masih perlu menelusuri bagaimana Ramadan dirayakan di kelima wilayah ini.
Pati di Hati
Sebagai orang kelahiran Pati, saya merasakan rindu tersendiri ketika pertama kali Ramadan di tempat lain. Bahkan hingga kini masih merindukan masa-masa kecil waktu itu. Saya merasakan Ramadan paling tidak dari kurun 1990-an hingga 2008. Meski tidak hidup sehari-hari di sana, suasana Ramadan di kampung halaman adalah kenikmatan yang tidak terbeli.
Pati, sebuah kota kecil yang terletak di Jawa Tengah, menjadi tempat di mana semangat kebersamaan sangat kental terasa selama Ramadan. Kumpul bersama keluarga, teman waktu kecil, dan suasana di kampung yang selalu ingin kurasakan.
Di sini, umat muslim berkumpul untuk melaksanakan tarawih di masjid-masjid setempat, sambil merayakan kebersamaan dengan sajian menu berbuka yang beraneka ragam. Tidak hanya itu, tradisi gotong-royong untuk mempersiapkan hidangan berbuka puasa juga menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Pati. Yang jelas, Pati selalu di hati.
Semarang yang Kusayang
Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah, tidak hanya terkenal dengan keindahan alam dan sejarahnya yang kaya, tetapi juga dengan semaraknya budaya dan tradisi Ramadan. Setidaknya, saya mengawal pengembaraan hidup di Semarang terhitung sejak Agustus 2008. Kala itu, saya harus hijrah sementara (pikiran saya) karena melanjutkan pendidikan sarjana di IAIN Walisongo, namun akhirnya sampai sekarang malah omah-omah di Semarang.
Di Semarang, umat muslim memperkaya pengalaman spiritual mereka dengan menghadiri dugderan, majelis taklim, ceramah agama, dan tadarusan Al-Quran. Selain itu, pasar-pasar tradisional di Semarang menjadi tempat yang ramai selama Ramadan, dengan beragam jajanan khas untuk berbuka puasa yang menggugah selera. Dengan suasana inilah, membuat hati saya dan keluarga menetap di Semarang hingga sekarang.
Bagi saya, Kota Atlas ini memang tersayang karena saya mendapatkan ilmu akademik di S1 IAIN Walisongo dan S2 UNNES. Di Kota yang terdapat kuburan KH. Sholeh Darat as-Samarani ini juga, saya dipertemukan dengan istri saya juga di Semarang saat kuliah S2. Banyak cerita terpendam teruntuk Kota Semarang yang kusayang.
Blora yang Jawa
Meski tidak pernah hidup lama di Blora, namun intensitas saya di Blora kurun 2014-2015 pasca menikah membuat saya mengagumi budaya dan pesona masyarakat di sana. Saya mendapatkan jodoh Perempuan cerdas dan bernas dari Blora. Tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, dan berkembangnya ajaran Samin Surosentiko ini memang benar-benar Jawa. Tahu kan maksud Jawa?
Saya menyebut “Blora itu Jawa” atau “Blora yang Jawa” memang khas di hati saya. Apalagi, di rumah mertua terdapat puluhan alat musik Gamelan Jawa/Saron (laras slendro dan pelok), kendang dan plangkan, gong dan goyor (tempat gong), bonang dan kethuk, kempul, demung, ketipung, rancak, puluhan barongan, Bujang Ganong, Joko Lodro, Untup, Nayantoko, Gainah, jaranan, simbal dan snare, dan alat musik lain. Dengan beragam seni yang hidup inilah saya betah di Blora meski saya jarang makan lauk-pauk dari ikan laut. Namanya juga jauh dari laut, tapi itulah Blora yang mengesankan.
Blora, sebuah kabupaten yang dikenal dengan keindahan alamnya, juga merayakan Ramadan dengan penuh kebahagiaan dan kepedulian. Selama bulan suci ini, masyarakat Blora aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Jika mendekati puasa atau lebaran, saya pasti berdebat, diskusi, dan membuat keputusan, lebaran nanti akan mudik ke Blora dulu atau Pati dulu? Menurut Anda bagaimana?
Temanggung yang Adiluhung
Lain cerita di Pati, Semarang, dan Blora, Kabupaten Temanggung menjadi tempat persinggahan dalam hidup saya yang ketiga setelah Semarang dan Blora. Di Temanggung, sebuah kabupaten yang terletak di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, saya mencari nafkah, bekerja, membangun karir, dan mengabdikan diri melalui lembaga pendidikan.
Saya menyebut Temanggung itu adiluhung. Banyak pengalaman mistis, histeris, ada juga yang enigmatis sejak 2017 sampai kini. Apalagi kalau berbicara Ramadan, yang jauh-jauh hari sudah disambut dengan nyadaran di tiap desa sebagai bukti kedermawanan dan kepedulian yang luar biasa. “Nyadran nakene iki ngluwehi bodo” begitu kata teman. Nyadran di Temanggung intinya bisa lebih meriah dari lebaran. Ya, itulah saya bilang adiluhung karena di Temanggung bisa menempatkan falsafah mikul dhuwur mendem jero terhadap waliyullah, ulama, dan orang tua yang sudah meninggal dunia dengan bentuk penghormatan saat nyadran menjelang Ramadan.
Masyarakat Temanggung aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Semangat gotong-royong dan kepedulian terhadap sesama menjadi ciri khas Ramadan di Temanggung. Meski demikian, waktu saya tetap bisa terbagi untuk hidup di Semarang dan Temanggung. Sejak 2021, saya harus berbagi hidup juga di Jogjakarta, DIY karena harus menlanjutkan studi S3.
Jogja yang Selalu Istimewa
Di Jogja, saya menemukan banyak hal-hal yang istimewa. Melebihi yang saya bayangkan. Yogyakarta, atau yang sering disebut Jogja, merupakan salah satu kota yang penuh dengan keberagaman budaya, tradisi, ormas, dan mazhab. Setidaknya, sudah hampir 2 tahun 7 bulan saya menikmati Jogja yang selalu istimewa. Istimewa budayanya, wisatanya, bukunya, anginnya, macetnya, konsernya, bakpianya, kopinya, orang-orangnya, kampusnya, pendidikannya, bahasanya, dan oiya hotelnya.
Pernah sekali saya bingung harus jawab apa dengan dosen karena beliau bilang “sudah kansenan, Mas?” Saya bingung, iki maksude opo? Setelah saya tanya senior saya yang paling baik, Mas Rois Saifuddin Zuhri, kansenan artinya adalah janjian, kansen adalah janji. Owalah. Ini uniknya bahasa Jogja. Karena saya sendiri asing banget.
Selama Ramadan, masyarakat Jogja merayakan bulan suci ini dengan semangat yang tinggi, tanpa memandang perbedaan latar belakang atau budaya. Tak hanya saat Ramadan, saat hari Jumat pun saya merasakan aura religiusnya ketika hendak jumatan kala kuliah di UNY. Di sini, umat muslim dari berbagai etnis dan kelompok sosial berkumpul untuk beribadah bersama, berbagi makanan berbuka puasa, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Jogja memang istimewa. Saya tidak pernah membayangkan bisa lulus S3 dengan predikat cumlaude, lulus cepat dengan lama studi 2 tahun 6 bulan, dan yang mengesankan juga lulus tanpa ujian terbuka. Itulah yang membuat Jogja istimewa.
Jadi, sebentar lagi mungkin saya akan jarang ke Jogja, karena insyallah pada 25 Mei 2024 saya akan wisuda. Doakan semoga lancar.
Bagi saya, Ramadan di Pati, Semarang, Blora, Temanggung, dan Jogja bukan hanya sekadar bulan ibadah dan puasa, tetapi juga bulan kebersamaan, kebahagiaan, kedermawanan, dan memontum berbagi.
Di setiap wilayah, masyarakat memperkaya pengalaman spiritual mereka dengan berbagai kegiatan ibadah, tradisi lokal, dan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi sesama. Semangat gotong-royong, kepedulian, dan keberagaman budaya menjadi pemandangan yang khas selama bulan suci Ramadan di Indonesia.
Bagaimana cerita Ramadan dalam hidupmu?
*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis lahir di Pati, 17 Juni. Saat ini menjadi dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, Kabid Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020-sekarang, aktif menjadi reviewer 18 jurnal internasional terindeks Scopus, reviewer 9 jurnal internasional, editor dan reviewer 25 jurnal nasional.