Playboy
Oleh: Elin Khanin
“Kamu kalau sudah kebelet nikah bilango sama Ummik.”
Laki-laki berkulit sawo matang di hadapan Bu nyai Khomsah itu menunduk dalam. Tiba-tiba tak berani menatap sang ibunda. Kontras dengan ekspresi wajahnya saat membenarkan hafalan wanita sepuh itu. Berkobar-kobar. Pun sebaliknya, ia begitu antusias ketika Bu nyai menyimak dan membenarkan hafalannya.
Rutinitas bakda isya’ itu jarang sekali ia tinggalkan. Karena ia tahu, al istiqomah khoirummin alfi karomah. Bahwa istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah.
Barangkali itulah yang membuat hafalannya senantiasa lancar. Sering mendapat panggilan ngaji orang-orang yang ingin mendapat barokah alqur’an ketika punya hajatan. Ngaji adalah senjata ampuh yang membuat wanita yang kini masih terbalut mukena itu begitu bahagia telah melahirkannya. Siapa yang tak bangga dan bahagia mempunyai dzuriyah hamilul qur’an.
Meski begitu, ia tetaplah pemuda yang sewaktu-waktu darahnya bisa bergejolak. Ingin melakukan sesuatu demi menonjolkan eksistensinya sebagai seorang pemuda. Seperti nonton konser, merokok diam-diam di pojok halaman belakang bersama santri putra badung lainnya, bergaul dengan pemuda-pemuda desa yang perilakunya cenderung ugal-ugalan, dan pacaran. Iya, ia sudah memacari puluhan wanita belakangan ini. Jadi wajar jika beberapa santri putri menyebutnya Gus Playboy.
Tak heran seringkali tingkahnya membuat wanita sepuh itu meradang. Seperti malam ini. Ia merasa harus menyiapkan amunisi jika Bu nyai murka seperti yang sudah-sudah.
“Bilango, Qi!”
Suara wanita itu mulai meninggi beberapa oktaf. Tapi lelaki yang bersimpuh dihadapannya masih bergeming dengan mushaf masih di tangannya. Mungkin sibuk mengingat-ingat kesalahan apa yang telah ia perbuat. Lebih tepatnya memilah mana kesalahan yang paling berat akhir-akhir ini yang tertangkap oleh Ummik.
“Ummik lebih suka mengeluarkan banyak uang untuk bisnis kambingmu daripada mendengarmu melakukan hal yang dilarang oleh agama.”
Bu nyai memutar tasbihnya. Mungkin istighfar yang keluar dari mulutnya di sela-sela penantian jawaban dari putra bungsunya itulah yang membuat Bu nyai bisa sedikit melebur amarah. Ia memang tak langsung menghakimi putranya, ia hanya ingin bertabayun apakah berita yang diwartakan para khadimah di dapur yang tak sengaja tertangkap oleh telinganya benar adanya.
“Kamu tahu kan kepala seorang mukmin yang ditusuk oleh besi panas itu lebih baik daripada ia menyentuh perempuan yang bukan mahromnya?”
Laki-laki yang masyhur dengan sebutan “Gus Syauqi” itu akhirnya mendongakkan wajahnya. Menatap wajah sendu penuh keriput itu dengan air muka penuh tanda tanya.
“Maksud Ummik nopo? Kulo salah nopo, Mik?” tanyanya dengan kedua alis saling bertautan. Dan dengan wajah innocent-nya.
“Arek sopo kui jenenge? Santri putri yang kamu cium? Nafla?”
Deg.
Bibir Syauqi tiba-tiba kaku. Lidahnya kelu dan jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk lebih dalam dari sebelumnya. Otomatis teringat kejadian itu. Di dapur pesantren itu. Kala semua santri sibuk mujahadah di musola.
Thoha Hidayat
terima kasih