Pernikahan Kritis Part 3
Oleh : Elin Khanin
“Jangan mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan,” ucap Najila penuh peringatan.
“Tapi … bukankah ini termasuk konsultasi?”
Najila memijat pelipisnya. Lelaki bule ini pasti sudah gila. Lebih gila lagi ia yang tidak bisa mengusir Ethan begitu saja karena harus tetap bersikap profesional.
“Ya, tapi ….”
“Saya sudah membayar,” potong Ethan. Membuat Najila tersudutkan.
“Oke ….” Najila melepas satu napas singkat. “Ceritakan saja keluh kesahmu. Tapi jangan bawa-bawa masalah pribadi saya. Semua sudah berlalu. Dan anggap saja kita baru kenal,” tekannya. “Oke?”
“Ok.” Ethan berdecak. “Well, I am so sorry.” Ethan menatap serius. “Saya setiap hari dihantui rasa bersalah pada seorang wanita asal Indonesia. Apalagi dia bercerai gara-gara saya.”
Tidak perlu diperjelas lagi siapa wanita asal Indonesia yang dimaksud Ethan. Deana saja paham sampai berdeham lagi. Perempuan itu pura-pura sibuk memainkan ponsel.
“Bagaimana kamu yakin wanita itu bercerai gara-gara kamu? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Najila, seolah-olah ia bukan wanita yang dimaksud Ethan. Padahal ia tahu betul bagaimana Ethan tergila-gila padanya sampai terobsesi membuatnya berpisah dari Sahnun. Apakah sekarang lelaki itu akan mengakui semua kesalahannya—dialah yang telah mengirimi Sahnun foto-foto mesra bersamanya dan menyebar fitnah?
“Suaminya cemburu buta sama saya,” jawab Ethan terus terang.
“Masa iya hanya karena cemburu, suaminya menceraikan wanita itu?” desak Najila. Jujur, dia masih penasaran apakah Ethan yang sudah mengompori Sahnun sehingga percaya dia telah berzina dengan lelaki ini? Percakapan terakhir bersama Ethan, lelaki ini bersikeras mengatakan bukan dia dalang di balik retaknya rumah tangganya.
“Begini ….” Ethan membenahi letak duduknya. “Bolehkah saya jujur? Sebenarnya saya ingin menceritakan semuanya.”
Najila mulai cemas jika spekulasinya tadi memang benar.
“Saya hanya bisa memberimu waktu maksimal satu jam,” ucap Najila tegas.
“Oke.” Ethan membenahi letak duduknya sebelum meneruskan bicara.
“Saya dan wanita tersebut awal ketemu di Kanada,” ucap Ethan, tak menghiraukan wajah Najila yang sudah memerah.
“Kamu masih ingat? Oh, maaf.” Ethan segera meralat ucapannya. “Dia pasti ingat kami awal jumpa di Montreal Convention Centre saat acara trade shows.”
Tentu saja, tentu saja Najila masih ingat acara besar itu—dimana dia bekerja sebagai Liaison Officer di PPI Kanada untuk tamu Indonesia yang memiliki kendala bahasa.
“Saya tergila-gila sama dia. Love at first sight,” aku Ethan, sambil mengajak Najila menyelami kenangan itu lagi.
—-
𝐊𝐚𝐧𝐚𝐝𝐚
𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐥𝐮
Aula raksasa gedung Canada Convention Exhibition yang terletak di jantung kota Montreal sudah riuh sejak pagi tadi. Pameran dagang internasional telah digelar. Cahaya dari ribuan lampu yang terpasang di atap gedung menyiram stand-stand dari berbagai perusahaan yang berderet, tersebar di berbagai sisi dan sudut gedung.
Produk yang ditawarkan dan dipajang di stand-stand juga beragam. Mulai dari pertanian, kerajinan, furnitur dan olahan.
Ratusan ribu pengunjung tumpah seperti semut yang bubar dari barisan. Mereka terus bergerak, berjalan di atas karpet merah yang terhampar di gang-gang booth, melewati flayer dan banner dengan muka berseri-seri. Di sini, orang-orang dari bermacam-macam ras berbaur.
Dan di sinilah para pengusaha dari berbagai negara beraksi agar produknya dilihat oleh dunia. Mereka berlomba memperluas networking, berinteraksi dengan para agen, importir, exportir, distributor, dan orang-orang dari berbagai lapisan sosial untuk menjaring dolar.
Yeah … it’s all about business. Acara ini memang acara bisnis skala internasional. Tapi siapa sangka, ada orang-orang tertentu yang tidak hanya tertarik mempromosikan produknya, mengasah kemampuan verbalnya, tapi juga … gadis cantik?
Tidak. Dia bukan lelaki mata keranjang yang jelalatan setiap melihat wanita cantik. Dia sudah terbiasa menjelajah dunia dan bertemu dengan wanita dari berbagai negara yang memiliki kecantikan di atas rata-rata.
Tapi entah kenapa saat tak sengaja mendapati gadis itu melintas, pandangannya langsung berhenti, perhatiannya teralihkan dan lupa bagaimana caranya berkedip hingga waktu yang lama. Membuat temannya, lelaki bule yang sejak tadi mengoceh sejenak terdiam, ikut menatap objek yang memaku tatapannya.
“Beautiful girl,” celetuknya, seolah menerjemahkan apa yang tersirat di benak temannya.
Gadis itu melenggang bersama tiga orang berwajah asia seperti dirinya, dan entah ini suatu keberkahan atau bukan, saat nyatanya gadis dengan setelan hitam dan ID card yang menggantung di leher itu berjalan menghampiri booth-nya.
Penampilannya sederhana saja. outer hitam melapisi kemeja putih, rok A line berwarna coksu, senada dengan warna jilbab voal yang menjulur dada.
Satu hal menarik yang langsung bisa ia tangkap dari air mukanya adalah gadis ini cerdas dan ramah. Mempunyai kemampuan komunikasi yang bagus dan menguasai setidaknya … tiga bahasa, dilihat pekerjaan yang ia ambil saat ini. LO, Liaison Officer. Lelaki itu mengeja tulisan pada ID Cardnya.
“Dia kesini,” bisik lelaki bule itu di telinganya. Lalu ia berdeham pelan sebelum menyambut tamunya dengan ramah.
“Hello, welcome to our stand. We offer our special food and beverage product.” Lelaki bule berhidung mancung menyapa dengan senyum mengembang.
“Thank you. My guests are interested in visiting here. They are distributors from Indonesia who spend their holidays in Canada.” Gadis yang bertugas sebagai LO itu memperkenalkan.
“Wow … Indonesia? Our products are from Indonesia.” Lelaki berhidung mancung tampak semakin bersemangat. Dia beralih ke bahasa Indonesia. Membuat LO dan tamu-tamu yang mengunjungi standnya semakin terkejut karena bahasa indonesianya cukup fasih untuk ukuran bule Kanada sepertinya.
“Saya Ethan Leonard. Ini direktur kami.” Dia menunjuk lelaki di sampingnya, yang dari tadi lebih banyak diam. Lalu mereka saling berjabat tangan dan berkenalan.
“Saya Erizeli. Panggil saja Eri.”
“Zafar—” Sang direktur menjabat tangan tamunya. Tapi ucapannya terpotong oleh suara gadis itu, karena mereka bicara di detik yang sama.
“Saya Najila.”
Dan gadis yang saat ini menelangkupkan tangan di depan dada kembali dalam pantaunnya. Oh, namanya Najila? Najila Fikria. Ia lanjut mengeja nama pada ID Card dalam hati. Hem … nama yang bagus.
“Walah … nggak nyangka ketemu saudara disini.” Lelaki bertubuh tinggi tegap yang diperkenalkan sebagai distributor bernama Erizeli Bandaro itu tersenyum lebar. “Saya Kalimantan, Mas.”
“Oh, Kalimantan? Wah, alhamdulillah. Berapa hari di Kanada?” tanya Zafar, lelaki yang katanya tadi menjabat sebagai direktur perusahaan.
“Insyallah, semingguan, Mas. Dapat selebaran expo, jadi kayak menyelam sambil minum air. Nyari LO dari Indonesia biar nggak tersesat di tengah jalan.” Dia menunjuk gadis yang berdiri di sampingnya. Oh, dia orang Indonesia. Lelaki itu kembali berdialog sendiri dalam hati.
“Maklum lah bahasa Inggris dan Prancis masih belepotan. Eeeh… malah tenyata yang punya stand ini orang Indonesia. Alhamdulillah.”
Suara tawa renyah terdengar, berbaur dengan suara-suara lain yang mirip dengungan lebah.
“Alhamdulillah, berkah terselubung berarti, Pak.” Sang LO menyahut. Membuat tatapan lelaki itu kembali terpaku. Sebentar … ada apa dengannya? Setiap kali gadis ini bicara, ia seperti terbius.
“Ini sih bisa jadi pertolongan pertama di saat lapar buat mahasiswa bokek seperti saya,” imbuh gadis itu sambil menggamit satu cup mie instan dan mengangkatnya ke udara.
Oke, dia masih mahasiswa. Mahasiswa S2 yang dapat beasiswa berarti, tebaknya lagi.
“Ah, kamu masih mahasiswi ya rupanya?” tanya Ethan sambil melirik temannya sekilas. “Kuliah dimana?”
“Di McGill university,” jawab gadis itu. Hebat juga.
“Saya dulu kuliah di sana. Ambil bisnis dan managemen. Kamu?”
Gadis itu tampak terkesima dengan kemampuan bahasa indonesia Ethan dan perangainya yang supel. “Saya psikologi, Mas.”
“Aku dipanggil Mas.” Ethan menyenggol lengan temannya dengan ekspresi tersanjung. Membuat Najila, Erizeli dan beberapa tamunya terkikik.
“Saya memang suka cara wanita Indonesia memanggil suaminya dengan Mas.” Ethan membual. Membuat Zafar memutar bola mata, memasang ekspresi ingin muntah.
“Mas itu kan tidak hanya untuk suami, Mas. Lagipula Mas bukan suami saya.” Gadis itu tergelak.
“Bisa aja Mas Bule ini. Nyari istri gadis Indonesia kalau begitu. ” Erizeli menyahut.
“Wah, boleh juga,” ucap Ethan sambil melirik Zafar lagi.
Sejenak pembicaraan terjeda oleh tawa sebelum kembali pada pembahasan yang serius.
“Jadi … sampai mana kita tadi?” tanya Eri akhirnya.
“Oh ya, maaf sudah melantur bercandanya.” Ethan berdeham. “Jadi ….”
Permbicaraan berlanjut, kembali pada topik bisnis, perdagangan, pendistribusian produk, dan benefit kedua belah pihak. Lalu berakhir dengan kesepakatan-kesepakatan.
Puas, semangat, penasaran, antusias, dan senang. Itu yang tergambar di masing-masing ekspresi mereka saat kerjasama telah terbentuk. Terlebih Ethan, lelaki bule yang lebih banyak mengoceh selama expo. Di hari pertama, dia sudah berhasil mendapatkan distributor kelas kakap.
Sampai kembali ke apartemen, senyum tak pudar dari bibirnya. Tapi begitu mendapati wajah muram Zafar, senyumnya langsung lenyap. Bukan muram sebenarnya. Lebih ke apa ya? melamun? Tatapan Zafar seperti tak fokus sejak tadi.
“Why? Kamu nggak senang dengan hasil hari ini?” tanya Ethan. Ia melonggarkan dasi, menyingsing lengan kemejanyadan menyusul Zafar di meja bar setelah menuang bir di gelasnya.
Zafar hanya mengedikkan bahu. Ia masih tak berminat bicara.
“Eeem … aku tahu. Gadis itu?” Ethan meneleng, mencoba membaca sahabatnya. “Love at first sight.” Dia seperti berbicara pada diri sendiri, tapi sebenarnya ia menyindir Zafar. “Dia memang cantik, enerjik, dan cerdas. Pantas jika kamu terpesona.”
Zafar berdecak. “Sok tau!” Lalu kembali menyesap orange juice-nya.
Ethan terkekeh. “Baru kali ini aku lihat kamu terpukau pada seorang gadis. Jauh-jauh ke Kanada, ujung-ujungnya naksir produknya sendiri,” cibirnya.
“Shut up!”
“Gimana? mau aku bantu? Kasih aku waktu dua hari untuk mendapatkan informasi detail tentang dia,” ucap Ethan sambil menepuk pundak sahabatnya. “Don’t worry.”
Zafar terdiam. Dan Ethan tahu bahwa diamnya Zafar, tanda bahwa lelaki itu setuju dengan idenya.
—–
“Ternyata dia tetanggamu sendiri. She is from Semarang,” lapor Ethan setelah dua hari menjadi mata-mata gadungan. Dia meletakkan file di meja Zafar. Membuat kening Zafar berkerut saat mengambil alih file itu dan membacanya.
𝑵𝒂𝒎𝒆 : 𝑵𝒂𝒋𝒊𝒍𝒂 𝑭𝒊𝒌𝒓𝒊𝒂 𝑴𝒊𝒛𝒘𝒂𝒓
𝑨𝒈𝒆 : 31 𝒚𝒆𝒂𝒓𝒔 𝒐𝒍𝒅
𝑺𝒕𝒂𝒕𝒖𝒔 : 𝒎𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒅. 𝑷𝒐𝒔𝒕𝒈𝒓𝒂𝒅𝒖𝒂𝒕𝒆 𝒔𝒕𝒖𝒅𝒆𝒏𝒕 𝒊𝒏 𝒑𝒔𝒚𝒄𝒉𝒐𝒍𝒐𝒈𝒚 𝒇𝒂𝒄𝒖𝒍𝒕𝒚 𝒐𝒇 𝑴𝒄𝑮𝒊𝒍𝒍 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒕𝒚 𝑴𝒐𝒏𝒕𝒓𝒆𝒂𝒍
𝑨𝒅𝒅𝒓𝒆𝒔𝒔 : 𝑷𝒆𝒔𝒂𝒏𝒕𝒓𝒆𝒏 𝑨𝒍-𝑴𝒖𝒌𝒎𝒊𝒏 𝑵𝒊𝒓𝒃𝒐𝒚𝒐 𝑺𝒆𝒎𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈, 𝑪𝒆𝒏𝒕𝒓𝒂𝒍 𝑱𝒂𝒗𝒂, 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂, 𝒑𝒖𝒕𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂 𝑲𝒊𝒂𝒊 𝑻𝒉𝒐𝒚𝒇𝒖𝒓 𝑴𝒊𝒛𝒘𝒂𝒓.
Zafar berhenti pada kalimat itu. Lalu membacanya berulang dengan raut terkejut. Ekspresinya seperti ditegur hantu belau.
“I am sorry. Dia ternyata sudah menikah. Carilah gadis lain, Eugene. Zafar Eugene.” Ethan memasang wajah prihatin.
“B RENGSEK … F UCK!” umpat Zafar. Ah, maksudnya Zafar Eugene. Muhammad Zafar Eugene Albana.
“Woooo … calm down.” Ethan tidak menyangka Zafar akan langsung mengumpat sekasar itu begitu saja hanya karena tahu gadis yang ditaksir sahabatnya itu sudah menikah. Dia sungguh prihatin. Tapi, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak jika tahu fakta lain yang membuat Zafar mengumpat—wanita yang mengalihkan dunia Zafar hidup di lingkungan yang sama dengan wanita yang digilai adik lelaki itu, Salman Al-Farisi.
Ternyata peribahasa itu tidak benar. Dunia tak selebar daun kelor, jika nyatanya dunia memang sesempit itu.
—-
𝐍𝐨𝐭𝐞 𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐤 𝐩𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐄𝐧𝐠𝐥𝐢𝐬𝐡 :
𝐇𝐞𝐥𝐥𝐨, 𝐰𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐞 𝐭𝐨 𝐨𝐮𝐫 𝐬𝐭𝐚𝐧𝐝. 𝐖𝐞 𝐨𝐟𝐟𝐞𝐫 𝐨𝐮𝐫 𝐬𝐩𝐞𝐜𝐢𝐚𝐥 𝐟𝐨𝐨𝐝 𝐚𝐧𝐝 𝐛𝐞𝐯𝐞𝐫𝐚𝐠𝐞 𝐩𝐫𝐨𝐝𝐮𝐜𝐭 = 𝐇𝐚𝐥𝐨, 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐬𝐭𝐚𝐧𝐝 𝐤𝐚𝐦𝐢. 𝐊𝐚𝐦𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐰𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐫𝐨𝐝𝐮𝐤 𝐬𝐩𝐞𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐦𝐚𝐤𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐮𝐦𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐦𝐢
𝐓𝐡𝐚𝐧𝐤 𝐲𝐨𝐮. 𝐌𝐲 𝐠𝐮𝐞𝐬𝐭𝐬 𝐚𝐫𝐞 𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫𝐞𝐬𝐭𝐞𝐝 𝐢𝐧 𝐯𝐢𝐬𝐢𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐡𝐞𝐫𝐞. 𝐓𝐡𝐞𝐲 𝐚𝐫𝐞 𝐝𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐭𝐨𝐫𝐬 𝐟𝐫𝐨𝐦 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐰𝐡𝐨 𝐬𝐩𝐞𝐧𝐝𝐬 𝐭𝐡𝐞𝐢𝐫 𝐡𝐨𝐥𝐢𝐝𝐚𝐲𝐬 𝐢𝐧 𝐂𝐚𝐧𝐚𝐝𝐚 = 𝐓𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡. 𝐓𝐚𝐦𝐮 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐭𝐚𝐫𝐢𝐤 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐬𝐢𝐧𝐢. 𝐌𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐭𝐨𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐛𝐢𝐬𝐤𝐚𝐧 𝐥𝐢𝐛𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐊𝐚𝐧𝐚𝐝𝐚.
𝐖𝐡𝐲 : 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐩𝐚?