Iklan
Cerpen

Sehelai Daun di Musim Gugur

Oleh : J. Intifada

Akhir pekan pagi, harinya dia dengan daun-daun yang gugur. Semangatnya memunguti daun-daun kering seperti melihat harta karun. Seringkali sambil berolahraga pagi, jalan mengitari kota sambil membawa karung sak. Dikumpulkannya hingga penuh. Tak terasa bisa mengumpulkan sampai beberapa karung.

Bila sudah mendapatkan satu sak penuh, ditaruhlah karungnya di perempatan dekat rumah. Kemudian mengambil karung sak lain yang masih kosong. Mengelilingi ke berbagai tempat sampai ke desa sebelah yang belum dijangkau. Hingga mendapat satu karung sak penuh lagi. Bila sudah pukul 09.00 pagi dia baru selesai dan pulang.

Konten Terkait
Iklan

Sesampai di rumah, dia bawa karung sak yang berisi daun-daun kering itu dan ditumpuk di pekarangan belakang rumah. Dilihatnya satu per satu tumpukan sak berisi daun kering. Kemudian diambilnya sarung tangan dan sepatu bot. Tumpukan yang telah menetap seminggu lalu dibukanya dan dipilah kemudian diberi macam-macam formula hingga bisa dijadikan kompos organik. Terkadang juga ditimbun dalam tanah. Katanya bagus untuk kesuburan tanah.

Aku hanya mendengarkan saja penjelasannya tentang sampah. Sesekali menanggapi dengan bertanya, lebih banyak diam dan menungguinya selesai mengerjakan pekerjaannya dengan sampah. Bagiku sampah adalah sampah. Harus dibuang. Bagi dia. Sampah sangat bermanfaat. Baik yang organik atau anorganik. Dan dia spesialis dalam pemulung sampah organik.

Dia sering memunguti sampah di jalan. Pagi sebelum berangkat kerja, dan pulang dari kerja, juga ketika sedang pergi bersamaku. Tiap hari dia membawa karung sak untuk mencari daun-daun kering. Entah di tanah lapang, di pinggir jalan, atau ke pekarangan tetangga. Malamnya masih membereskan sampah-sampah itu untuk dipilahnya pada akhir pekan. Waktu untukku? Jarang sekali kami pergi berdua. Hampir tak pernah. Aku yang harus mengalah mengunjunginya. Otomatis dia sibuk dengan sampah-sampahnya.

“Apa istimewanya sih sampah-sampah itu? Tiap hari cari daun berguguran. Ditumpuk menjadi timbunan dan membusuk. Tidak bisakah kamu membuangnya?”

Gerutuku kesekian kali. Dia hanya tersenyum sambil mengatakan satu menit lagi. Aku sudah menunggunya selama satu setengah jam. Namun dia masih sibuk mengolah sampahnya menjadi kompos. Aku juga ingin dia prioritaskan. Bukan untuk menunggu giliran dari sampah-sampahnya.

Selesai membereskan ember yang sudah dilubangi dan diisi sampah organik dan campurannya, dia menghampiriku.

“Mereka sangat istimewa. Sama halnya dengan buku-buku yang kau beli tapi belum sempat kau baca.” Balasnya menyindirku sambil tersenyum dan berlalu untuk berganti baju. Aku hanya melirik dan cemberut mendengarnya membalas omelanku.

Kita sering bertengkar tentang hobi masing-masing. Hobiku membaca buku. Lebih tepatnya suka membeli buku dan menunggu waktu untuk membaca. Pekerjaanku sebagai admin perusahaan kadang tak sempat membawa buku dan sekedar membaca. Aku akan membaca ketika senggang dan ketika tak banyak pekerjaan. Tiap kali kita pergi bersama, aku selalu mengajaknya ke toko buku langganan. Mencari buku yang baru rilis. Dia juga membeli buku. Tapi semua tentang sampah. Bagaimana mengelola sampah. Sampah menjadi ladang bisnis. Sampah yang bermanfaat.

“Sekarang mau kemana?” Tanyanya selesai membersihkan diri

Aku masih manyun dan melipat tangan.

Dia kemudian keluar rumah sambil mengambil kunci motor. Mau tak mau aku mengikutinya dari belakang.

“Aku mau mengajakmu ke TPA mekar indah. Disana lagi ada pelatihan pengolahan sampah. Mau ikut atau aku antar kemana?”

“Terserah.”

“Kalau terserah berarti ikut aku. Gak pa-pa?”

Aku sedang tak ingin berdebat. Aku menurut dan langsung membonceng. Memegang pinggangnya saat dia mulai menstarter motor.

“Kemarin sebenarnya aku diundang untuk mengisi pelatihan. Tetapi aku tidak janji. Karena akhir pekan adalah waktu kita. Tetapi mereka memaksaku memberikan sedikit materi. Aku beri mereka waktu hanya satu setengah jam. Setelah itu, kamu mau kemana akan aku antar.”

Aku tak pernah bisa membantahnya. Dia tak pernah marah kala aku ngambek. Hanya saja aku akan dibiarkan menyelesaikan kekesalanku kemudian menghiburku dengan menceritakan kegiatannya di persampahan. Aku tak bisa melarangnya menggeluti dunia sampah. Pun dia tak pernah memarahiku saat aku membeli buku-buku yang jarang aku baca itu.

Dia bekerja di dinas lingkungan hidup. Sehari-hari tugasnya tentang pengelolaan sampah kota. Dia dipercaya mengurusi bank sampah di kota kami. Saking cintanya dengan limbah sampah, banyak waktunya tercurahkan untuk mempelajari sampah dan bergelut di dalamnya. Walau dia mengelola sampah kota, dia juga memilah sampah sendiri di rumah.

Katanya, kesadaran daur ulang sampah masih sedikit. Apalagi sampah organik yang mempunyai banyak potensi. Selain memanfaatkan daun-daun kering itu, dia juga menuturkan membantu masyarakat agar lingkungan tambah bersih. Dimulai dari diri kita. Kalau bukan kita yang menyadari pentingnya sampah, siapa lagi.

Berkat usahanya, dia pernah mendapat piagam penghargaan dari bupati staf terbaik dalam pengelolaan sampah kota. Aku memandangi piagam itu dengan perasaan iri. Begitu sayang dengan sampah di kota. Sedang aku kekasihnya? Ah sudahlah.

“Pengelolaan sampah yang benar akan mengurangi dampak rumah kaca. Sampah-sampah yang tidak di kelola dengan baik hanya akan menambah pencemaran lingkungan.” Tutur nya di dalam penyampaian materi.

Tak lupa dia telah menyiapkan bahan-bahan yang bisa digunakan untuk mengelola sampah. Peserta yang datang terdiri dari ketua RT se kota Telaga. Sehingga bisa disosialisasikan ke rumah-rumah untuk mengelola sendiri sampah rumahan.

“Akhirnya bila sampah rumahan bisa dikelola sendiri, maka tidak akan banyak sampah yang menumpuk di TPA. Sampah rumahan yang dikelola menjadi kompos ini akan baik untuk tanah sekitar.”

Aku yang mendengarnya di belakang agak bosan dan ngantuk. Kalimat yang selalu diulangnya ketika aku protes tiap kali dia membawa sampah pulang. Dibalik itu semua aku juga mengagumi usahanya mengurangi sampah yang berakhir di TPA.

Aku teringat melihat sebuah video dari lima pemuda yang membersihkan sampah-sampah di sungai. Ku kira mereka hanya sekedar membuat konten. Ternyata pengaruhnya lumayan besar. Bahkan diundang untuk belajar pengelolaan sampah di Denmark. Di salah satu perusahaan yang mengelola sampah dengan teknologi canggih.

Kami sempat berdebat kala itu. Dia bilang, pengaruh media sosial juga penting untuk menyadarkan warga akan sampah. Sedang aku berpendapat, harusnya pemerintah lebih banyak memfasilitasi dan membeli teknologi canggih itu. Teknologi hanya membantu pemilahan sampah nonorganik. Sedang masalah sampah organik hanya sampai menjadi kompos yang bila tidak dikelola dengan baik tidak akan menjadikan tanah menjadi baik. Tanah akan tetap kering dan yang tercemar tidak bisa teratasi ujarnya membantah pendapatku. Aku tergagap tak dapat menguatkan argumenku.

Dia menambahkan tanah yang kering dan tercemar bisa dikembalikan kesuburannya dengan kompos yang sudah diberi tambahan berbagai bahan. Di rumahnya, dia selalu menyediakan banyak bahan-bahan itu. EM4, kompos alami dan molase tebu atau apalah itu. Sesekali aku diajaknya membuat pupuk kompos apabila ada banyak pesanan.

Bila sampah organik ini diberi materi cukup bisa menjadi kompos organik yang mengembalikan kesehatan tanah dan mengundang serangga menyuburkan tanah itu. Sebaliknya bila sampah organik yang hanya dibuang saja tidak akan berpengaruh pada lingkungan.

Sebulan sekali ada saja pembeli pupuk komposnya. Mereka rata-rata yang membudidaya tanaman rumahan. Biasanya juga ditukar dengan sampah organik. Saling tukar antara sampah organik dan kompos organik. Bagi dia, bukan masalah materi. Tetapi kepuasan berbagi dan melestarikan alam.

Aku belum bisa seperti dia. Yang hidupnya sudah full less sampah. Dia akan menimalisir makanan tersisa. Air cuci beras dia pun simpan sebagai tambahan bahan kompos organiknya. Kadang aku menggerutu kala dia meminta bantuan. Tapi apa boleh buat, aku selalu tak bisa menolak untuk membantunya.

Selesai mengisi acara, dia mengajakku ke warung makan langganan kita. Dia sengaja tidak ikut makan bersama rekan-rekannya karena ingin menghabiskan waktu bersamaku. Dia selalu menyempatkan waktu untuk waktu kita bersama. Walau harus aku mengomel-ngomel terlebih dahulu.

Ikan nila bakar dan bebek bakar sudah terhidang di meja. Sambal matah dan sambal bawang pesanan kami sudah terpenuhi. Tinggal menunggu minuman kami. Es teller campur durian. Menu favorit yang tak tergantikan.

Sambil makan kita mengobrol tentang pelatihan hari ini. aku hanya menjadi pendengar sesekali mengangguk walau sering tak paham. Kadang ku kerutkan dahi, mencerna maksudnya. kemudian dia mengulanginya hingga terlihat aku sedikit mengerti.

“Lalu ke depannya apa rencanamu mas?”

“Aku ingin membangun tempat pemilahan sampah organik menjadi kompos organik yang sehat untuk tanah. Nantinya aku akan memperkerjakan banyak pegawai. Kompos-kompos itu dijual ke perumahan-perumahan atau desa-desa yang banyak sawah. Bisa juga yang dekat dengan pabrik.”

Aku mengangguk.

“ Kamu gimana?”

“Aku? Kenapa?”

“Kamu mau bantu aku kan seandainya itu terjadi.”

Aku mengangkat wajahku. Memeriksa kedua bola matanya. Terlihat tulus dengan mimpinya mewujudkan kota yang bersih dan sehat.

“Sebagai apa?”

Dia mengerutkan dahi.

“Kamu memintaku membantumu nantinya menjadi apa?”

Dia mulai tersenyum mengerti. Aku membalikkan pertanyaannya.

“Jadi manajer keuangan.” Jawab nya singkat

Aku memincingkan mata. Mencoba mencari tahu apakah dia sedang bercanda atau serius. Sedikit senyum dia tutupi sambil menunduk menyendok makanan. Aku tahu dia sedang menggodaku.

“Oh ya sudah. Kalau begitu, aku minta gaji yang gedhe.”

Dia hampir tersedak dan mencoba menahan tawa. Dia mengerti kemana arah pembicaraanku. Kita sudah 7 tahun pacaran. Aku hanya mencoba memancingnya mau dibawa kemana arah hubungan kita.

“Kamu yakin sama aku?” tiba-tiba dia bertanya demikian membuatku tak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulut yang siap menyantap.

Sejenak aku mematung. Kemudian memasukkan makanan yang tertunda aku suap. Aku menelan dengan pelan dan mengedarkan pandangan ke pemandangan samping resto. Kita duduk dekat jendela belakang. Terlihat pemandangan persawahan yang menghijau dan gubug.

Dia menunggu jawabanku sambil menikmati makanannya. Selesai mengunyah dan menelan dengan hati-hati, aku meletakkan sendok dan menatapnya.

“Yakinku di kamu. Kalau kamu yakin, ya aku yakin.”

Senyumnya mengisyaratkan bila dia meragukanku. Dia menyelesaikan suapan terakhirnya.

“Pekerjaanku berkutat dengan sampah. Aku sangat menyukainya. Bahkan hidupku sepenuhnya ku pertaruhkan disana. Terkadang ada sesal tak bisa membahagiakanmu dengan baik karena kesibukanku dan juga sampah-sampah itu. Aku hanya takut kamu tidak bisa menerima sepenuhnya apa yang ku lakukan ini.”

“Aku memang membencimu karena kesibukanmu ini. aku juga benci dengan bau kotor dan tumpukan sampah yang menjengkelkan itu. Aku memang tidak pernah bisa memahami kenapa kamu sangat menyukai pekerjaanmu. Tetapi yang aku tahu, aku tak ingin kamu berubah hanya karena aku membenci itu.”

“Tidak bisakah kamu memahaminya?”

“Sudah berulang kali kita membahas ini mas. Aku tidak akan pernah bisa memahami konsep hidupmu ini. tapi aku tahu berkat kegigihanmu kota menjadi lebih bersih. Aku hanya berpikir apakah tidak ada jalan lain selain merawat sampah-sampah ini?”

Dia mulai gelisah dengan jawabanku. Aku tahu kita sering berdebat hanya karena kita beda pandangan masalah sampah organik. Aku tahu dia sangat berdedikasi dengan tugas yang diberikan. Aku hanya tak bisa memahami bagaimana dia bisa hidup dengan sampah-sampah itu.

“Jadi kita mau bagaimana?” Katanya kemudian

Aku memandanginya. Ada segurat kecewa dan sedikit marah yang ingin dia tumpahkan. Dia ingin aku mengerti dengan kesibukannya seperti dia mengerti saat aku berkutat dengan pensil dan buku.

“Seperti katamu, aku akan mengikutimu.” Jawab ku tegas

Dia semakin frustasi. Bukan jawaban itu yang dia harapkan. Pun aku tak ingin dia membahas ini lagi. Kita saling mencintai. Tapi tidak dengan hobi masing-masing. Selain bekerja di perusahaan, aku juga pekerja lepas di laman online. Tiap kali aku sibuk dengan projek tulisanku, dia sering menyindir karena aku telat makan. Dia akan mengomel saat aku sakit.

“Kita sudah tujuh tahun pacaran. Apakah akan seperti ini terus?” dengusnya menahan marah

“Kita sudah sama-sama dewasa. Tak bisakah hal ini bukan menjadi masalah lagi. Kita sering membahas ini. aku hanya mengomel tetapi aku masih mau membantumu. Tidakkah itu cukup untukmu?”

“Tetapi, kedepannya?”

“Aku ngikut kamu. Apapun keputusanmu.” Ada sedikit rasa sedih ketika aku mengucap ini. Aku ingin di setiap momen kebersamaan kita, kita akan fokus membahas kita. Bukan tentang sampah atau tugas-tugas yang lain. Namun dia selalu meragukan keyakinanku untuk membersamainya.

Dia tidak menjawab lagi. Meneguk minumannya dan berjalan ke kasir. Aku mengikutinya dari belakang. Setelah keluar resto, saat berjalan ke arah parkiran, dia berhenti dan berbalik memandangiku. Kemudian berjalan lagi sambil menggandengku.

“Maaf ya.”

Aku menguatkan genggaman tangannya. Mengiringi langkahnya berjalan menuju tempat motornya terparkir.

“Kita pulang ya. Bantu aku beresin kompos tadi. Masih ada satu sak yang belum aku olah.” Katanya kemudian.

Aku kembali manyun. Sebentar dia terlihat jengkel saat aku bilang benci dengan sampah-sampahnya, sedetik kemudian membuatku jengkel. Aku memang membenci sampah-sampahnya tapi tidak dengan dia.

“Jadi?”

“Bulan depan aku akan ke rumahmu. Bilang ke orang tuamu. Aku akan datang. Aku akan tepati janjiku.”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Aku berencana akan membeli rumah lebih besar, bagian depan adalah rumah kita. Bagian belakang untuk daun-daun yang kering itu. Nantinya bagian depan ketika kamu butuh waktu sendiri untuk membaca dan menulis tak akan terganggu dengan aroma segar dari daun-daun itu.”

Aku menjitak kepalanya, sedang dia tertawa lepas. Dia sering menggodaku dan tak pernah bisa lama-lama marah padaku. Daun-daun kering itu akan selalu menjadi bagian dari cerita cinta kita.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button