Pernikahan Kritis Part 2

Oleh : Elin Khanin
Najila segera menegakkan punggung. Baru pukul setengah tiga dini hari. Para santri Al-Mukmin pasti sudah banyak yang bangun jam segini. Ada yang mengerjakan tugas kuliah, tahajud, atau melakukan hal lain. Dia juga harus bergegas, mengenyahkan rasa malas. Jika terus-terusan memeluk guling seperti ini, hanya akan membuatnya terjebak oleh rasa sedih berkepanjangan.
“All is well. Wallahu kholaqakum wama ta’malun. Nggak ada perilaku manusia yang atas dirinya sendiri.” Najila menarik napas dan menghembuskannya lewat mulut lagi. “Aku kuat, aku hebat, aku bahagia. Dan hari ini akan ada banyak keberkahan. Ikhlas … ikhlas … ikhlas … semua sudah diatur oleh-Nya.” Najila mengafirmasi dirinya dengan ucapan-ucapan positif sebelum benar-benar bangkit dan menuju kamar mandi.
—-
“Ummi, Jila berangkat dulu ya?” Najila mendaratkan kecupan dalam di pipi perempuan berbalut mukena yang duduk di sofa ruang keluarga. Ia sudah rapi dengan setelan resmi berupa skirt plisket berwarna senada dengan outer yang melapisi kemeja putihnya. Baby pink. Jilbab voal bercorak floral, sling bag dan flat shoes berwarna cream menyempurnakan tampilan femininnya. Dia tampak memukau dan fresh. Orang-orang pasti akan mengira ia adalah artis korea yang baru hijrah.
“Kamu yakin mau kerja disana?” tanya sang ibu sambil menatapnya penuh antisipasi.
Najila tersenyum. Lalu mengangguk mantap. “Nggeh, Ummi.”
Ummi Shafiyya pasti sangat khawatir setelah kejadian di Kanada yang berujung malapetaka—putri sulungnya itu bercerai. Beliau jadi was-was setiap Najila pergi sendirian. Ia bahkan sangat keberatan saat Najila memberitahu bahwa rumah sakit swasta ternama di Semarang, Mitra Albana memintanya bekerja di poli Psikologi. Tapi tidakkah itu tawaran yang menggiurkan? Mengingat ia tidak melamar, melainkan dilamar. Bukan nepotisme, tapi direktur rumah sakit Mitra Albana, dr. Roy—yang masih kerabat sendiri berkata memang sedang mencari psikolog lagi. Najila pikir tidak ada salahnya mencoba bekerja di luar agar ia mendapat suasana baru. Jadi, tinggal bagaimana meluluhkan hati sang ummi. Dan bukan Najila jika tidak berhasil melakukannya.
“Jangan sembarangan berteman sama cowok. Apalagi sekarang ….”
“Janda.” Najila tersenyum getir. “Jila nggak lupa kok sama status Jila yang sekarang. Insyallah Jila akan lebih hati-hati.” Najila menepuk-nepuk punggung tangan Ummi Shafiya. “Ummi nggak perlu khawatir. Ummi berdoa saja semua akan baik-baik saja.”
Ada jeda yang digunakan Ummi Shafiya untuk menatap putrinya lama dengan pasang mata yang berkaca-kaca. Tangan yang dihiasi keriput halus itu membelai satu sisi wajah Najila. “Ummi sama Abah berdoa terus kok, Nduk. Untuk anak-anaknya Ummi. Terlebih buat kamu.” Tangannya turun untuk mengelus bahu Najila.
“Kasihan sekali anak-anaknya Ummi. Yang satu ditinggal suaminya kuliah, yang satu bercerai, yang satu jauh di Tarim.” Ummi Shafiya tak sanggup meneruskan ucapannya, seperti ada benda berat yang menyekat tenggorokan. Tapi akhirnya ia mengangguk kecil, seolah setuju dengan ucapan Najila bahwa semua akan baik-baik saja.
“Ya … ini ujian. Insyallah, Jila kuat. Nggak apa-apa.”
“Ya wes, bismillah.”
“Mau berangkat?” Sosok lain muncul dari balik gorden dengan mendekap sebuah kitab.
“Nggeh, Bah.” Najila mencium tangan sang abah. “Doakan nggeh, Bah.”
“Insyallah berkah.”
“Amiiin.”
Najila tersenyum. Ia mengayunkan langkah dengan yakin. Ridlo dan doa itu sudah ia genggam. Pekerjaan sudah ia dapatkan. Ia hanya perlu menata ulang. Ilmu yang ia dapatkan dari Gontor sampai Kanada, tidak hanya akan berguna di pesantren, tapi juga di rumah sakit. Ia yakin semakin sibuk, masa lalu yang pahit dan kelam akan semakin cepat terlupakan.
—-
Welcome, Ning Najila Fikria, M. Psi.
Selamat bergabung di keluarga besar Mitra Albana
Ucapan di layar yang tergantung di dinding lobi membuat Najila terharu sekaligus malu. Ia takut penyambutan itu terkesan berlebihan di mata orang lain karena ia masih kerabat pemilik rumah sakit, dr. Roy. Oke, anggap saja rumah sakit ini selalu memberikan support manis itu setiap ada pegawai baru. Hanya saja Najila tidak nyaman dengan sebutan untuk dirinya yang tersemat di sana. Yang akhirnya, asistennya Deana dan pegawai lain ikut-ikutan memanggilnya “Ning” saat sesi perkenalan tadi. Padahal ia tidak masalah jika dipanggil “Mbak” atau “Ibu”. Toh dia memang sudah kepala tiga.
Najila senang. Najila bahagia. Ia serasa mendapat dunia baru di sini. Orang-orang di Mitra Albana sangat ramah dan baik. Apalagi dr. Najiya, ahli bedah yang juga merupakan ibu mertua adiknya. Tadi, perempuan paru baya dengan setelan scrub dan snelli itu bahkan memberinya buket bunga mawar berwarna pink yang sangat indah dan wangi. Yang sekarang ia hirup dalam senyum sebelum meletakkannya di atas meja kerja. It’s perfect. Ya, seharusnya ini adalah hari pertama kerja yang begitu sempurna jika saja klien pertamanya bukanlah ….
Sebentar … Najila sampai mengucek matanya saat membaca sederet nama pada file data pasien yang diberikan Deana.
Carson Ethan Leonard
Apa tidak salah? Ethan? Lelaki kedua setelah Sahnun yang sedang mati-matian ia lupakan. Najila masih menatap lekat file itu, ketika Deana kembali bersuara.
“Carson Ethan Leonard. Silahkan enter. Du—Ning … bule … gimana ini ngomongnya?”
Deana tidak tahu, jika Najila juga sedang menahan panik sepertinya. Jadi benar, Ethan. Lelaki itu adalah klien pertamanya. Kok bisa?
“Guanteng banget,” lapor Deana sambil membelalakkan mata. Mungkin semua wanita yang melihat Ethan juga akan reflek memberikan pujian itu.
Namun kali ini Najila hanya bisa membeku. Ia pikir, Ethan tidak akan nekat menyusulnya sampai Indonesia. Ia pikir semuanya sudah selesai dan dia hanya perlu melupakan semuanya. Tapi tampaknya, hidup memang tidak akan berwarna tanpa hadirnya masalah. Ethan bahkan muncul di hari pertamanya bekerja. Mau apa dia sebenarnya?
“Ning Najiela, saya jauh-jauh datang kesini untuk melamar dan menikahi kamu. Saya sudah mendengar kabar perceraian kamu.”
Najila terbelalak mendengarnya. Dia belum bisa merespon karena lelaki bule itu belum memberi jeda. Kedatangan Ethan yang tiba-tiba juga masih membuatnya terkejut.
“Jadi … maukah kamu menikah dengan saya?” Setelah itu Ethan terdiam. Kedua iris kebiruannya menatap lekat kedua mata Najila, seolah ingin menemukan jawaban atas pertanyaannya di sana.
“Eeem ….” Najila perlu waktu untuk berpikir, meski sejenak.
“Heemm?” Ethan melipat kedua tangan di atas meja, di depan Najila. “Gimana?”
“Tidak. Kita tidak bisa menikah,” jawab Najila akhirnya. “Saya tidak bisa menikah dengan pria non muslim, sekalipun pria itu sangat tampan sepertimu. Saya juga tidak mau orang-orang jadi membenarkan gosip murahan itu jika saya jadi menikah sama kamu.”
Dan juga apa kata orang-orang, putri Kiai Thoyfur menikah dengan pria bule non muslim setelah berpisah dengan seorang … Gus? Sebegitu frustasinya kah dia?
Sampai kiamat Abah Thoyfur juga pasti tidak akan setuju. Lagipula ia belum siap membuka hati untuk lelaki lain. Dan mungkin hatinya akan tertutup selamanya untuk lelaki manapun. Memangnya ada lelaki yang mau dengan wanita mandul dan berpenyakitan seperti dia? Jika Ethan tahu, dia juga pasti tidak akan mau.
“Oke, kalau begitu saya mau masuk islam. Dengar ya, Ning Najiela, saya akan mengucapkan syahadah. Asyhadu allaaa ….”
“Ning ….” Suara Deana membuyarkan lamunan Najila. Konsentrasi yang terpecah membuat perempuan itu tergeragap.
“Ya?” Najila menaikkan alis. Lalu ia segera memggumamkan istighfar. Apa tadi? Kenapa imajinasinya bisa sampai kemana-mana? Jangan halu, Najila … jangan halu! Ini pasti gara-gara kebanyakan membaca novel-novel romance.
“Bahasa inggrisnya silahkan masuk apa?” tanya Deana masih sambil menahan panik. Wanita itu pasti juga tidak menyangka klien pertama Najila seorang lelaki bule.
“Oh, please, come in.”
“Oh, oke.” Deana nyengir seraya mengacungkan jempol. Ia kembali melangkah ke arah pintu sambil mendekap berkas data pasien. “Car … son Ethan Leonard.” Lidahnya hampir saja terpelintir menyebutkan nama itu. “Please, come in.”
“Terimakasih.” Terdengar jawaban dari balik pintu, yang langsung membuat kedua pipi Deana memerah. Malu sekali dia. Ternyata Si Bule ini tahu bahasa Indonesia? Kenapa Deana tadi sampai panik dan tanya segala pada Najila?
Najila menepuk jidatnya. Dia tidak mungkin sempat menjelaskan pada Deana jika dia sudah mengenal Ethan sekaligus memberitahu bahwa lelaki bule itu bisa berbahasa Indonesia. Ethan sudah sering ke Indonesia untuk urusan bisnis. Hanya saja pelafalannya masih terdengar sengau dan tata bahasanya masih sering keliru.
Najila membenahi letak duduknya saat alas sepatu terdengar berdekak-dekak membentur lantai, memasuki ruangannya. Wangi tonka bean segera merebak begitu lelaki berkulit putih, bertubuh tinggi tegap, dan berhidung mancung itu muncul. Benarkah ini Ethan? Nekat sekali dia. Tidak hanya itu. Penampilannya sangat berbeda kali ini. Lelaki itu mengenakan celana hitam resmi dipadu kemeja batik warna abu dengan corak parang kemerahan. Pantas saja Deana sampai panik dan terus mencuri-curi pandang pada lelaki bule dengan kearifan lokal ini.
Dari Deana, Najila seolah bisa menerawang kondisi lobi rumah sakit sedang tidak baik-baik saja sejak Ethan muncul. Tahu kan, rata-rata orang Indonesia jika melihat bule apalagi ganteng, matanya akan langsung dipenuhi bintang-bintang. Untung saja Najila sudah terlatih selama dua tahun di Kanada, jadi dia bisa bersikap biasa saja. Sudah tidak heran atau gumunan kalau kata orang jawa.
“H-hai.” Najila tak tahu harus menyapa dengan bahasa apa. Dia tidak mungkin langsung menggertak Ethan di ruang kerjanya, saat ada Deana, asistennya.
Dia juga tidak bisa serta merta menyembur Ethan dengan sebuah pertanyaan, “Kamu ngapain kesini? Darimana kamu tahu aku kerja disini?” Siapa tahu kan, kalau ini hanyalah kebetulan. Ethan memang benar-benar ingin konsultasi misalnya. Tapi bagaimana mungkin. Jauh-jauh dari Kanada hanya mau menemui psikolog. Seperti tidak ada psikolog hebat saja di Kanada. Atau jangan-jangan karena kebanyakan memikirkan bisnis, dia jadi stres? Haduh, pikiran Najila jadi gelambyar kemana-mana.
“Hai.” Ethan tersenyum. memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih. “Apa kabar Ning Najiela?” sapanya.
“Alhamdulillah baik,” jawab Najila. “Mas Ethan apa kabar?”
“Seperti yang kamu lihat. Saya sehat dan bugar,” jawab Ethan sambil memamerkan barisan giginya lagi.
“Mendadak sekali. Kenapa nggak kasih kabar sebelumnya?”
Untung saja Deana sudah menghilang di balik partisi, jadi ia bisa leluasa berbicara dengan Ethan. Jika tidak, perempuan itu pasti akan terus meledek. Tadi saja ia terus tersenyum-senyum tak jelas. Dasar wanita. Tidak bisa lihat lelaki tampan sedikit.
“Sorry, saya gak kasih kabar.” Ada bunyi “r” yang menggantung. “Saya mau kasih kejutan.” Ethan mengedikkan bahu. Membuat Najila geleng-geleng.
“Remember, kamu telah memblokir semua akun media sosial saya,” ucap Ethan, seperti tengah menyindir.
Membuat Najila meringis mendengarnya. Ia pikir setelah memutuskan untuk memaafkan dan melupakan semuanya, Ethan tidak akan berhenti menghubunginya dan memaklumi jika dia memblokir semua akun media sosial lelaki itu.
“Saya sudah mengirimi kamu email, tapi belum mendapat balasan. Apa boleh buat, saya akhirnya kesini. Kalau saya buat janji, kamu juga bakal tidak mau bukan?”
Najila mendesah singkat. Ethan sangat tahu rupanya bagaimana ia bisa menemui Najila tanpa membuat kerusuhan sebelumnya.
“Ya, tapi nggak pas jam kerja juga dong.” Najila memutar bola mata. Dia mencium bau ketidak beresan sejak mendengar kata kejutan keluar dari mulut lelaki ini. Jangan-jangan apa yang ada dalam lamunannya tadi akan terjadi? Ethan mau melamarnya? Tidak, dia tidak bisa menerimanya jika itu benar-benar terjadi.
“Loh, saya benar-benar mau konsultasi.” Jawaban yang cerdas.
Tapi Najila ragu akan perkataan Ethan. Jadi, ia memicingkan mata, memberi tatapan waspada.
“Memangnya apa yang mau kamu konsultasikan? Terus darimana gitu kamu tahu saya kerja disini?”
“From Zafar,” jawab Ethan enteng.
“Zafar?” Ah ya, pengusaha muda Indonesia yang bekerja sama dengan Ethan. Tapi, bagaimana Zafar tahu dia bekerja disini? Apa dia mengirim seorang intel untuk menyelidikinya?
“Ning Najiela … begini.” Ethan melipat tangan di atas meja, persis seperti lamunan Najila tadi. “Saya setiap hari dihantui rasa bersalah. I am sorry to hear your divorce. Gara-gara saya kamu bercer—”
“Stop!” Najila mengangkat tangan. Dia benar-benar belum siap membahas masalah itu sekarang. Apalagi kedatangan Ethan yang masih membuatnya terkejut.