Crush Never Ending
Oleh : J. Intifada
Pertanyaannya masih sama. Kenapa aku belum bisa bergerak untuk membuka hati. Sedang kamu sudah punya kebahagiaan baru. Aku masih mempertanyakan kenapa perasaanku masih begitu lekatnya. Sedang kamu sepertinya sudah hilang beban dan melepasku tanpa arah.
Aku tak pernah ingin tahu kehidupanmu sekarang.
Entah siapa istrimu, entah bagaimana anakmu. I don’t care. Aku hanya peduli. Bagaimana kamu. Iya kamu. Apakah perasaanku ini semu belaka? Apakah selama ini aku hanya halu saja? Kamu tidakkah merasakan yang sama?
Lain hari aku berkutat dengan perasaan yang terikat denganmu. Sampai aku lupa bahwa aku perlu melanjutkan hidup. Sesekali ku tengok sosial media mu. Sungguh aku cemburu dengan kebahagiaanmu. Lalu aku pun bergumam sendiri. Merutuki diri untuk tidak akan peduli.
Kowe wes bahagia. Moso aku rung iso bahagia. Moso bahagia tergantung awakmu. Yuw ora lah. Lha kowe ae bahagia ne mbi kae. Moso aq kudu bahagia ngenteni kwe bahagiain aku. Kowe wes bahagia yuwes cukup. Bagi ku cukup tahu aja kalau kamu bahagia.
Taklosske perasaanku. Ora meh ngaboti kowe meneh. Lha opo aq meh dadi istri keduamu. Yuw moh. Wong dia bisa jadi ratumu yuw aq kudu iso dadi ratu dari yang lain. Pastinya seseorang yang ingin menjadikan aku ratu untuknya. Ora meh ngemis cintamu.
Begitulah setiap saat diriku mencoba mewaraskan diri. Disaat hari tenang tanpa ada kabar darimu, hidupku terasa damai. Melakukan aktifitas serasa ringan dan tanpa beban. Hanya saja bila ada momen yang membangkitkan memori tentangmu.
Good malam, selamat night. Ahh sapaan ku kala itu. Bahkan sudah berpuluh tahun itu tak terdengar. Tapi terasa seperti aku mengucapkan itu pada mu. Padahal aku tak ingin berdrama. Itu datang begitu saja tanpa sengaja.
Sudah saatnya aku beranjak dari tempatku sekarang. Bukan lagi menanti dan meratapi kepergianmu. Sudah ku ikhlaskan kau berbahagia disana. Ku nikmati perasaan tanpa hadirmu. Memaafkan tiap kali aku merasa bersalah padamu.
Perasaan yang ingin tahu bagaimana perasaanmu dulu padaku. Apakah benar aku wanita yang kau cintai. Wanita yang kan kau bawa ke rumahmu. Ahh masih teringat jelas kamu memohon padaku. Mengajakku ke rumahmu untuk mengikuti pesta pernikahan kakak perempuanmu.
Aku menolak. Bukan berarti aku tak ingin datang. Sungguh aku tahu maksud apabila ku datang. Kau ingin memperkenalkanku di keluarga besarmu. Mengenalkanku sebagai kekasihmu mungkin. Atau teman baikmu.
Namun sayang kau tak menyambut pemahamanku. Aku ingin kau datang. Membujukku. Merayuku dan memaksamu ikut. Memboncengmu ke rumahmu. Mengajakku menginap dirumahmu.
Ah, khayalan macam apa ini. Jelas itu tak mungkin. Kau pasti mengira aku orang yang tak bisa sembarangan untuk dibujuk dan diajak kerumah orang tuamu. Kenyataannya, aku memang menunggumu untuk memperjuangkanku. Berjuang di depan orang tuaku dan orang tuamu. Mungkin salahku juga tak memberimu sinyal. Atau aku sudah memberi banyak rambu. Yang kau tafsiri, kau tak bisa melewati rambu-rambu itu.
Bodohnya aku. Aku memang memasang alarm di alam bawah sadarku bahwa aku tak ingin bersamamu. Alasannya mungkin sudah kau perjelas dengan tindakanmu yang tak ingin maju.
Harga diri,
Status sosial,
Pendidikan.
Saat ini aku hanya ingin berkata, “shit, damn,” Bila ini cinta tak perlu lah ada batasan kata-kata semacam itu. Tapi ya sudahlah, kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Walau perasaan kita ahh tahulah.
Atau memang kamu pernah akan memperjuangkanku. Hanya karena aku tak bisa membaca perjuanganmu. Karena aku terlalu takut. Takut bahwa itu bukan untukku. Atau selama ini perasaan ini hanya semu. Bertepuk tangan saja dalam mimpi-mimpiku.
“Dia lagi apa ya di?” tanyaku suatu kali pada Ardi
“Ya mana tahu lah. Coba sana kasih pesan.”
“Ya kali kirim pesan. Kalau yang buka dia alhamdulillah. Kalau istrinya?”
“Ya alhamdulillah. Diajak kenalan.”
Humf. Aku menghela napas. Berat juga merelakan yang sudah terlalu melekat.
“Makanya buka hati. Kamu akan menemukan kebahagiaan yang baru.”
Aku kembali membuka ponsel. Mencoba scroll media sosial menghilangkan perasaan yang masih labil. Kadang tegar dengan kenyataan dia sudah bahagia. Kadang masih menginginkan dia datang. Tak tahu lagi maunya hati.
“Katanya sudah rela?”
“Sudah….”
“Lalu?”
Aku enggan menjawab pertanyaan yang berulang. Tiap kali aku mengatakan aku rela akan diikuti dengan keengganan membuka hati. Kemudian beberapa kali bila terasa hening dalam kesendirian akan terbesit akan dia.
“Aku pergi dulu ya. Anak-anak ngajakin ngopi.”
“Huum.”
Ardi meninggalkan chat pribadi wa dengan ku dalam kegabutan. Dia teman yang baik. Tak ada perasaan apa-apa untuknya. Pun sebaliknya. Kami hanya saling mengisi kegabutan dengan mengghibah crush masing-masing.
Tiap kali butuh teman curhat, dia akan selalu dengan senang hati menanggapi. Kadang ikut mengompori perasaan yang terlalu dalam. Saat dia sedang tak bisa diganggu, dia tak sungkan bilang akan menghubungi nanti.
Ku letakkan ponsel mungilku. Merebahkan diri dan meraih buku bergambar rumah bergaya eropa yang ada cerobong asap dengan bertuliskan, come and go, never mind. Ku buka dan meninggalkan goresan di dalamnya.
Andai seandainya itu tak dilarang aku ingin mengungkapkan semua pengandaianku padamu. Sayangnya berandai-andai adalah sesuatu yang sia-sia. Aku mencoba merenungi bahwa memang sebaiknya aku menerima. Tidak lagi mempersoalkan tentang perasaanmu yang lalu. Tidak lagi penasaran apakah kamu masih memikirkanku.
Cukup dengan menyadari kamu sedang bahagia bersama keluarga kecilmu. Walau aku tak tahu bagaimana kabarmu sekarang. Bagaimana paras istrimu sesungguhnya. Yang aku lihat hanya fotonya dari media sosial. Bagaimana putra kecilmu bergelayutan meminta gendongan.
Aku tahu pasti itu akan menyita banyak waktu dan perhatianmu. Walau aku masih meyakini masih ada sedikit perhatian untukku. Just a mind. In the memory.
Melekat dan mengikat. Ah, padahal kita tak pernah punya hubungan spesial layaknya kekasih. Bahkan kita tak pernah bertemu. Jarak antar pulau. Apalagi. Mungkin bila kita masih satu kota.
Mungkin? Mungkin satu akan menimbulkan mungkin – mungkin yang lain. Dan mungkin yang lalu adalah hal mustahil akan terjadi. karena tak akan pernah terulang. Namamu jelas sangat punya daya tarik sendiri.
Awal mengenalmu, awal berteman denganmu, awal salah tingkah dengan tatapanmu, awal kedekatan kita yang. Ah sudahlah. Itu hanya masa lalu……………
Namanya masa lalu ya adanya sudah berlalu. Tak perlu lagi disanjung apalagi digunjing. jadikan renungan saja.
Bila mbak nana bisa bilang,” jangan mencintai orang yang sama dua kali, karena yang kedua kali kita hanya mencintai kenangannya.” That’s true. Aku mencintai kenangan-kenangan bersamamu.
Mungkin bila saat ini aku menjadi istrimu, aku tidak bisa leluasa mengenangmu sambil menulis diary. Sambil sesenggukan bagaimana aku merasa kehilanganmu.
Ahh teringat pula kata bang A. Fuadi, “wong tidak memiliki kok merasa kehilangan.” Lha apa aku pernah merasa memilikimu? Gak kan. Yaudah ya. Aku ikhlas kamu pergi. Aku sudah rela kok.
Ku tutup diary dengan helaan napas. Menutup mata dan menunggu pagi. Tak lama kemudian terlelap.
Kalau aku jadi dia, aku akan mengungkapkan perasaanmu.
Buat mendapatkan penolakan.
Sebelumnya kan kamu bisa mengungkapkan.
Terlambat.
Ku buka kembali kedua mataku. Pikiran dan hatiku masih berdebat. Sungguh, aku lelah dengan pikiran dan perasaan ini. Kapan ini akan berhenti.
“Good morning sista.”
Pesan wa dari Mbak Fita pagi-pagi menyapa. Senyum tersungging membacanya. Tak biasanya sahabat karibku ini mengirim chat wa.
Belum sempat ku membalas, dia sudah menyusul mengetik kembali.
“Mau aku kenalin ke adikku gak?”
Ingin ku buang semua isi kepala yang semalam campur aduk. Bisanya Mbak Fita mempunyai ide itu. Ku kirim emoticon tertawa terjungkal.
“Daripada kamu galau mulu mikirin suami orang.” imbuhnya membalas emoticonku yang tak bisa ku berkata-kata lagi.
Ku tutup handphone dan beranjak membersihkan diri bersiap berangkat kerja.
“Kamu yakin mau ngenalin adikmu?”
“Kan biar kamu ada teman ngobrol aja.”
“Yakin?”
Mbak Fita tak membalas lagi. Ku lanjutkan hari dengan memikirkan tawaran mbak Fita. Rasanya ada benarnya. Aku butuh teman ngobrol yang bisa diajak bercanda dan memecahkan masalah. Tapi aku belum terlalu mengenal adiknya.
Aku takut kejadian denganmu terulang lagi. Berteman dan menjadi nyaman. Hingga terbawa suasana dan menaruh harapan. Padahal niat hati dari awal kita akan berteman saja. Akhirnya aku tak bisa melepas bayang-bayangmu.
“Berteman tak ada salahnya.”
“Baiklah. Akan ku coba.”
“Membuka hati, membuka diri, membuka pikiran. Kalau jodoh tak akan kemana.”
Ku kirim emoticon senyum dan ku tinggalkan percakapan untuk melanjutkan pekerjaan yang mendekati dateline.