Penulis dan Pejalan Kaki
Oleh: M. Iqbal Dawami
Aku, yang selalu terpaku pada layar dan tumpukan buku, menyulam kata demi kata, sering kali lupa bahwa tubuh ini juga butuh gerak dan ruang untuk bernapas. Hari demi hari, aku terjebak dalam rutinitas yang sama: duduk berjam-jam, mengolah pikiran yang tak pernah berhenti berputar, mencoba menerjemahkan kerumunan ide menjadi kalimat-kalimat yang mampu menyentuh jiwa pembaca.
Namun, tanpa kusadari, kebiasaan ini perlahan mengikis kesehatan fisikku. Aku mulai merasakan gejala: rasa tidak nyaman yang terkadang muncul, pertanda awal dari penyakit yang dikenal sebagai ambeien.
Aku sempat mengabaikannya, menganggapnya sebagai bagian tak terelakkan dari pengorbanan yang harus kubayar sebagai penulis. Namun, kenyataan tidak bisa lebih jauh dari itu. Penyakit ini adalah peringatan dini dari tubuh yang terlalu lama diabaikan. Aku mendengar cerita dari sesama penulis, beberapa bahkan menderita penyakit yang lebih serius, seperti masalah ginjal dan serangan jantung, karena gaya hidup yang sama.
Sadar akan risiko yang terus mengintai, aku pun memutuskan untuk mengubah gaya hidupku. Aku menyadari, tak ada gunanya memiliki pikiran yang tajam dan kata-kata yang indah jika tubuh ini tak lagi mampu mendukungnya. Maka, aku memilih jalan kaki sebagai langkah awal perubahan itu.
Aktivitas yang tampak sederhana ini, ternyata membawa perubahan besar dalam kehidupanku. Setiap pagi, sebelum dunia disibukkan oleh rutinitasnya, aku menyisihkan waktu setengah jam untuk berjalan kaki. Langkah kaki yang teratur di pinggir sawah, menghirup udara segar, perlahan-lahan memulihkan keseimbangan antara jiwa dan raga. Kejernihan pikiran yang kudapat selama berjalan kaki menjadi sumber inspirasi baru dalam tulisanku.
Perubahan ini mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, namun bagiku, ini adalah sebuah penentu keseimbangan: kesehatan dan produktivitas. Aku belajar bahwa menjadi penulis bukan hanya tentang bagaimana aku mengolah kata, tetapi juga tentang bagaimana aku merawat diri sendiri, sehingga aku bisa terus menulis.
Jalan kaki pagi hari bukan sekadar olahraga, melainkan juga meditasi, waktu dimana aku bisa berdialog dengan diri sendiri, merenungkan ide-ide, dan kembali ke depan komputer dengan pikiran yang lebih terbuka dan hati yang lebih ringan.
Inilah cerita tentang bagaimana aku menemukan keseimbangan antara dunia kata-kata dan kebutuhan fisik, melalui langkah-langkah kecil yang setiap hari kujalani.