Menaikkan Pajak, Adilkah?

Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
Pemimpin adalah sosok yang mempunyai peran dominan-determinan dalam perjalanan bangsa. Oleh sebab itu, seorang pemimpin menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, harus mempunyai keunggulan di bidang intelektualitas (nadhari) dan aktivitas (ekonomi) (KH. Sahal Mahfudh, 2003:487). Keunggulan ini digunakan pemimpin untuk mengambil kebijakan yang harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya dengan mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya. Tujuan utamanya adalah tegaknya esensi agama sebagai karakter positif bangsa, keselamatan dan ketahanan jiwa, kemajuan kualitas pendidikan, peningkatan standar ekonomi, dan stabilitas fungsi keluarga.
Dalam konteks ini, maka tugas seorang pemimpin adalah melaksanakan amanah kepada orang yang berhak menerimanya dan menetapkan hukum dengan adil. Hal ini tersurat dalam Q.S. An-Nisa’ 58.
Dalam Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dijelaskan bahwa amanah adalah sesuatu dimana seseorang diberikan amanah untuk melakukannya (ma yu’tamanu as-syakhshu ‘alaihi). Orang yang menjaga amanah dinamakan ‘amiin’ (orang yang bisa dipercaya), ‘hafidz’ (orang yang bisa menjaga) dan ‘wafiyy’ (orang yang mampu memenuhi tanggungjawab). Sedangkan orang yang tidak menjaga amanah dinamakan ‘khain’ (orang yang berkhianat).
Adapun adil adalah menyampaikan kebenaran kepada pemiliknya dengan jalan yang paling dekat (ishal al-haqqi ila shahibihi min aqrabi thariq). Adil adalah pondasi kekuasaan dan kunci dalam membangun peradaban, pembangunan, dan kemajuan, sehingga orang lemah bisa mendapatkan haknya, orang kuat tidak semena-mena kepada orang lemah dan keamanan serta aturan bisa tegak berdiri (Al-Munir, 3:127 dan 130).
Adil adalah melaksanakan hukum Allah secara benar sesuai wahyu yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul. Adil adalah kewajiban Negara dan tujuan umum dalam hukum Islam, bahkan kepada musuh sekalipun. Termasuk tugas Negara adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dan menghilangkan bahaya (tahqiq mashalih a-nashi wa raf’u al-dlararu ‘anhum) yang dilaksanakan dengan menegakkan keseimbangan dan keadilan di antara masyarakat dan mencegah permusuhan di antara mereka. Negara juga harus hadir untuk mewujudkan jaminan sosial (takaful ijtima’i), mencegah kezaliman, mewujudkan budaya saling menolong kepada kebaikan dan takwa dengan memenuhi hak kepada yang berhak. Untuk mewujudkan ini, maka musyawarah harus dikedepankan. Nabi selalu bermusyawarah dalam menghadapi berbagai problematika sosial politik yang dihadapi sehingga hasilnya matang dan bijaksana (Al-Fiqh al-Islami, 8: 6201, 6205, 6372, dan 6391).
Adil, mempunyai dua dimensi, internal dan eksternal. Secara internal, seorang pemimpin harus menjalankan kewajiban-kewajiban dirinya, tidak melakukan dosa besar dan tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus. Sedangkan secara eksternal, ia harus adil kepada rakyatnya. Pemimpin yang tidak adil berdampak negatif secara luas. Masyarakat benci kepada kelaliman dan kesewenang-wenangan. Ketika standar keadilan antara pemimpin dan rakyat bertentangan, maka mekanisme yang digunakan adalah musyawarah sehingga ada dialog terbuka dan demokratis untuk mencari solusi terbaik dengan berpedoman kepada standarisasi keadilan yang ditetapkan Undang-Undang. Sayyid Quth menjelaskan, keadilan, kepatuhan dan musyawarah adalah karakteristik kepemimpinan dalam Islam.
Jika seorang pemimpin ingin dipatuhi, maka harus menegakkan keadilan dengan jalan musyawarah. Imam Ar-Razi menjelaskan adil adalah tengah-tengah antara shidqu (jujur) dan rahmah (kasih sayang). Sedangkan Muhammad Abdul Qahir Abu Faris mengatakan, adil adalah shidqu dan rahmah. Keadilan dalam hal ini adalah menegakkan kebenaran, kejujuran, belas kasih dan solidaritas. Hal ini sesuai dengan visi agama Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin (KH. MA. Sahal Mahfudh, 1994:238-243).
Pemikiran di atas menarik dicermati sebagai masukan kepada pemimpin supaya berjalan di tempat yang benar dan terhindar dari kezaliman yang dilarang agama dan norma sosial-budaya bangsa. Pemimpin adil dirindukan surga. Sedangkan pemimpin lalim disiksa di neraka karena membawa kerusakan dan bahaya yang dirasakan masyarakat luas.
Adilkah Menaikkan Pajak ?
Jika ada kepala daerah yang menaikkan pajak demi pembangunan infrastruktur dan program lainnya yang kembali kepada kemaslahatan umum, apakah diperbolehkan ?
Ada perbedaan pendapat. Sayyid Abdurrahman dalam kitabnya yang populer di dunia pesantren, yaitu Bughyah al-Mustarsyidin menjelaskan sebagai berikut:
عين السلطان علي بعض الرعية شيئا كل سنة من نحو دراهم يصرفها للمصالح, ان ادوه عن طيب نفس لا خوفا وحياء من السلطان او غيره جاز اخذه, والا فهو من اكل اموال الناس بالباطل لايحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه, وارادة صرفه في المصالح لاتصيره حلالا (بغية المسترشدين ص 158)
Artinya:
Pemimpin menentukan pungutan setiap tahun untuk kemaslahatan. Jika rakyat membayarnya dengan tulus, bukan karena takut dan malu dari pemimpin atau lainnya, maka boleh mengambilnya. Namun jika tidak (karena takut, terpaksa, atau malu), maka itu termasuk memakan harta manusia dari jalan yang batil yang tidak boleh digunakan untuk apapun. Keinginan menggunakannya untuk kemaslahatan tidak menjadikannya harta halal (Bughyah al-Mustarsyidin, h. 158).
Keterangan dalam kitab ini sangat jelas, bahwa pemerintah dilarang melakukan pungutan dengan jalan memaksa atau secara sepihak. Hal ini disebut kesewenang-wenangan yang jauh dari nilai keadilan dan kemanusiaan.
Sementara Imam Yusuf al-Qaradlawi dalam kitab Fiqh az-Zakat menjelaskan sebagai berikut:
الشروط التي تجب رعايتها في الضرائب: الشرط الأول: الحاجة الحقيقية الى المال ولا مورد أخر الشرط الثاني: توزيع أعباء الضرائب بالعدل الشرط الثالث: أن تنفق في مصالح الأمة لا في المعاصى والشهوات الشرط الرابع: موافقة أهل الشورى والرأي في الأمة ولا يجوز أن ينفرد الامام رئيس الدولة الأعلى فضلا عن نوابه وولاته في الأقاليم بفرض هذه الضرائب وتحديد مقاديرها وأخذها من الناس بل لا بد أن يتم ذلك بموافقة رجال الشورى وأهل الحل والعقد في الأمة
(فقه الزكاة للامام يوسف القرضاوي ج2 ص 1093)
Artinya:
Ada empat syarat yang disampaikan Imam Yusuf al-Qaradlawi bagi pemimpin dalam masalah pajak. Pertama, ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda dan tidak ada sumber lain. Kedua, mendistribusikan hasil pajak dengan adil. Ketiga, menggunakan hasil pajak untuk kemaslahatan, bukan untuk kemaksiatan dan mengikuti selera syahwat. Keempat, mendapat persetujuan orang-orang yang ahli, tidak boleh sepihak tanpa kompromi. Orang-orang ahli dalam banyak kitab disebutkan adalah orang-orang yang menjadi rujukan umat, seperti ulama, akademisi, peneliti, dan tokoh masyarakat (ulama mukhtashshun, ruasa’ wa wujuh an-nas) (Fiqhuz Zakah, Juz 2:1093, Fiqh al-Islami, juz 8:6169).
Jika pemimpin menetapkan dan menaikkan pajak tanpa musyawarah dan berdialog terbuka dengan orang-orang yang menjadi rujukan umat dan mempunyai kompetensi dalam mengkaji pajak, maka hukumnya dilarang supaya seorang pemimpin tidak terjerumus dalam kesewenang-wenangan dan kezaliman yang dilarang dalam agama.
Dengan bermusyawarah kepada ulama, akademisi, tokoh masyarakat, dan lainnya akan diperoleh gambaran komprehensif tentang tingkat perekonomian masyarakat, urgensi membangun infrastruktur, sumber pendapatan yang lain yang bisa dimaksimalkan tanpa memberatkan masyarakat, skala prioritas yang akan dikerjakan dan jika terpaksa menaikkan pajak, maka diputuskan besaran kenaikan yang tidak memberatkan publik.
Ulama selalu peduli kepada kemaslahatan makhluk sehingga pemikiran dan perjuangannya dalam rangka menegakkan kemaslahatan makhluk.
Para ulama dan umat Islam terpanggil mengurusi masalah pembangunan, khususnya pajak, karena itu berkaitan dengan kemaslahatan umum. Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, keterlibatan umat Islam dalam pembangunan didasarkan pada tiga faktor. Pertama, keagamaan. Manusia mempunyai fungsi ibadatullah (beribadah kepada Allah), baik secara individual maupun sosial dalam kerangka memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang lain dan fungsi ‘imaratul ardli, yaitu membangun bumi dengan mengelola, mengembangkan, dan melestarikan sesuai potensi yang dimiliki. Kedua, kesejarahan yang sudah diperankan umat terdahulu yang akan dilakukan secara berkesinambungan. Ketiga, kultural di mana ada budaya kepemimpinan formal di pemerintahan, maupun di kalangan umat Islam dan ulama yang selalu membimbing dan mengarahkan umat dalam menggapai kemaslahatan umat (Mahfudh, 1999:125-127).
Sejahterakan Dulu, Baru Naikkan Pajak
Lebih humanis-rasional jika pemerintah menaikkan pendapatan masyarakat terlebih dahulu sehingga perekonomiannya sejahtera, baru menaikkan angka pajak secara bertahap. Ijtihad Sayyidina Umar bin Khattab bisa menjadi contoh.
Ketika tentara Islam berhasil membebaskan Syam, Irak dan Negeri Khusru (Persia), maka untuk rampasan perang yang berupa benda bergerak, maka dibagi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Umar mengambil seperlimanya dan empat perlima lainnya diberikan kepada para tentara sesuai Q.S. al-Anfal 8:41. Namun untuk harta yang tidak bergerak, yaitu tanah pertanian, maka Umar mempunyai kebijakan yang pro rakyat, yaitu: tanah pertanian tersebut dibagikan kepada para pemilik aslinya untuk dikelola, lalu mereka dikenakan pajak dan hasil pajaknya dibagikan kepada seluruh umat muslim setelah disisihkan untuk gaji tentara yang bertugas di pos pertahanan (al-thughur), seperti di Bashrah dan Kufah di Irak dan negeri lain yang dibebaskan.
Pandangan Umar berpijak kepada ajaran bahwa kekayaan tidak boleh hanya berputar kepada orang-orang tertentu, sehingga tanah pertanian yang menjadi rampasan perang tersebut dijadikan mata pencarian penduduk setempat dengan kewajiban membayar pajak untuk keperluan logistik tentara yang menjaga daerah tersebut dan anak turun mereka serta generasi yang datang kemudian. Kebijakan Umar ini kontroversial karena bertentangan dhahir nash, namun hati nurani Umar melihat substansi ajaran Islam yang menekankan keadilan dan kemaslahatan umat (Nurcholis Madjid, 2000:392-397).
Sayyidina Umar ini pemimpin yang mempunyai hati nurani dan kasih sayang kepada rakyat yang dipimpinnya yang selalu memikirkan perekonomian rakyat, tidak malah membebani mereka dengan menaikkan pajak yang sangat besar. Inilah pemimpin yang adil yang menurut Imam Muhammad Abdul Qahir Abu Faris selalu memperjuangkan kejujuran, kebenaran, kasih sayang dan solidaritas sosial.
KH. A. Mustafa Bisri dalam banyak wejangannya menyitir syiir inspiratif:
واذا حملت الى القبور جنازة – فاعلم انك بعدها محمول
واذا وليت امور قوم ساعة – فاعلم أنك بعدها معزول
Jika engkau memikul jenazah ke kubur, maka yakinlah bahwa engkau setelahnya akan dipikul,
Jika engkau diberi kesempatan menjadi penguasa, maka yakinlah bahwa setelah itu kamu akan turun tahta.
Syiir ini disampaikan KH. A. Mustafa Bisri untuk mengingatkan manusia, khususnya para pemimpin, untuk selalu melihat masa depan. Perbuatan lalim manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Begitu juga pemimpin yang lalim, setelah tidak menjabat, maka akibatnya akan terus dirasakan, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat. Tidak ada kekuasaan abadi. Pasti saatnya akan turun juga.
*Pemerhati Sosial Politik