Iklan
Celoteh

Membaca Sekitar

Oleh : Iva Millatul A.

Datang ke Rantau lagi setelah libur idulfitri. Sepanjang jalan aku lihat ada lalu lalang kendaraan, rumah-rumah yang ramai dengan tamu dan keluarga, masjid ramai dengan acara halal bihalal dan reuni, rumah-rumah memasang tenda untuk merayakan pernikahan, warung-warung yang tutup mulai buka, spanduk ucapan idulfitri dari bupati dan kapolda, dan arus balik mudik yang membuat jalan ramai sewaktu akhir pekan.

Aku sempat menerka, apa yang dicari para musafir itu di jalan-jalan penghubung kota ini. Apa yang dicari pengelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku juga sempat bertanya-tanya, apa yang diupayakan para musafir itu di ibukota. Akhirnya aku mengamati sekeliling dan mendapati mereka dengan keadaan yang rupa-rupa

Konten Terkait
Iklan

Mereka yang mengantuk menjaga toko kelontong, mereka yang menempuh perjalanan di bak terbuka sebuah truk buah, mereka yang pukul satu sudah menjadi kuli angkut di terminal atau pasar pagi, mereka yang mendorong gerobak berisi perabotan yang dijual, mereka yang menyeka keringat setelah dari fajar hingga petang mencari nafkah, mereka yang menghela napas dan mengerutkan dahi ketika melirik arloji atau ponsel genggam, dan mereka yang diam berkelut dengan isi pikiran masing-masing.

Sejujurnya, aku tidak pernah tahu kisah dibalik helaan napas mereka yang bekerja dari pagi ke pagi, kisah dibalik kerutan dahi yang mengernyit karena hidup tak sesuai prediksi, bahu yang linu karena mengangkut dua kali lipat beban tubuh, kisah dibalik jemari yang tampak lelah mengetik dari pagi ke sore pada papan ketik korporasi, kisah dibalik diam yang mereka simpan seorang diri, dan kisah-kisah lainnya.

Pada akhirnya, aku sampai pada sebuah sudut pandang bahwa mereka memiliki beban masing-masing yang disimpan rapat. Beban yang ia harap takkan pernah diketahui orang lain lantaran begitu berat dan penat untuk dilalui, Beban yang tumbuh dan akan menjalar jika tak segera diatasi seperti luka diabetes yang sulit disembuhkan. Beban itu yang mendorong mereka menempuh jarak jauh, menjadi apapun yang mereka mampu, menjadi musafir, berkelana dari kota ke kota, mengabaikan kucuran keringat dan air mata, mengabaikan lelah dan linunya menjadi kuli angkut dan penarik gerobak. Mereka berkelana mencari jawaban “mengapa manusia dilahirkan dengan kondisi rupa-rupa”.

Mereka berkelana dengan segala gundah yang rasanya berbeda-beda. Mereka berkelana untuk sebuah keyakinan bahwa jalan menuju Tuhan bisa ditempuh dari mana saja. Mereka berkelana untuk sebuah nafkah diri. Mereka berkelana untuk menghindar dari segala bentuk putus asa dari rahmatNya. Berkelana untuk tetap meyakini bahwa setiap jalan yang dilalui selalu penuh dengan iringan berkah dan kemudahan.

Oleh karenanya ibukota selalu ramai dengan mereka yang mengadu nasib, berjuang untuk memperbaiki hidupnya, ramai dengan mereka yang selalu berharap esok akan ada kemudahan yang diberi Tuhan.

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

“Dan Dia bersama kamu dimanapun kamu berada” (57:4)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button