Love Is Stupid Part 7
Oleh : Elin Khanin
————-
Dengan wajah serius lelaki itu menyusuri koridor rumah sakit Sultan Hasanudin. Sorot matanya tak lepas dari layar ponsel. Sesekali ia berhenti lalu menempelkan ponsel pada telinga, beralih mengirim pesan dan kembali melangkah. Berkali-kali pasang netranya mencocokkan nama bagian rumah sakit dengan isi chat di aplikasi hijaunya. Ia lega saat menemukan tulisan pada papan di depan sebuah bangunan cukup besar. Bangsal Ibnu Sina.
(Kita ketemu di rumah sakit aja yang nggak mencurigakan. Kalau di luar takut jadi masalah. Mata-mata Romo ada dimana-mana. Nanti aku bisa buat alasan dapat tugas di RS. Temui aku jam sepuluh di bangsal Ibnu Sina. Miss you, Kak Nikhil. Semakin dekat dengan hari pernikahan, rasanya hidup bagai di neraka. Aku nggak bisa hidup tanpamu)
Nikhil kembali membaca chat itu. Sudah hampir satu jam ia menunggu di teras bangsal, tapi batang hidung kekasihnya tak kunjung nampak. Nikhil mematut kembali arlojinya dengan gelisah. Berkali-kali missed call-nya tak jua menuai respon. Tapi kemudian ia sedikit tersentak oleh sebuah getar. Ada satu pesan masuk. Nikhil buru-buru membukanya dan hatinya langsung mencelus.
(Kak, maaf hari ini aku dikurung, nggak boleh keluar. Pintu dikunci dan rumah dijaga ketat. Sepertinya mereka tahu kalau aku mau kabur).
Sabar … sabar ….
Nikhil menyemangati diri sendiri. Tak ia sangka bisa sesulit ini move on dari seorang perempuan. Baru kali ini ia seperti terombang-ambing dan kehilangan arah. Ia heran sendiri kenapa bisa sekuat itu pengaruh seorang Nyimas Ayu Safira padanya. Hingga ia bisa bertindak bodoh, dengan mudahnya menyetujui perjodohan lalu menikah dadakan. Apa itu semacam pelampiasan? Entahlah.
Nikhil berbalik dengan kecewa. Ia seperti pulang dari medan perang dengan membawa kekalahan. Sampai ia menemukan perempuan itu di sisi koridor. Shanaya. Ia memicingkan mata sebentar dan menyorongkan wajah untuk memastikan penglihatannya.
“Shanaya?” sapanya setelah yakin perempuan yang berdiri sekitar lima langkah darinya adalah istri jadi-jadiannya.
“Alien?”
Pasang netra gadis itu melebar.
“Ngapain disini?” tanya Nikhil dengan masih menyimpan rasa terkejut. Langkahnya terayun ke arah Shanaya.
“Ada urusan,” jawab Shanaya lesu. Wajahnya terlihat kusut.
“Kamu sendiri ngapain disini?”
“Ada urusan juga,” jawab Nikhil.
“Idih copy paste. Dilarang plagiat!” Shanaya mendelik.
Nikhil tersenyum hingga deretan gigi putih itu nampak sempurna. Aura keruh pada wajahnya sejenak sirna. Dua kali bertemu Shanaya setelah melihat foto gadis itu sudah cukup membuatnya percaya jika Ibunya benar—bahwa Shanaya cantik. Tapi cantik saja tak cukup melengserkan kedudukan Nyimas Ayu di hatinya.
“Galak amat. Pasti ada masalah nih? Apa sedang PMS?” tebak Nikhil bagai seorang guru BK yang sedang memberi konseling pada siswinya.
“Pakek nanya lagi. Masalah terbesarku ya kamu itu yang minta kawin harus segera diturutin,” sembur Shanaya. Pipinya merah mendengar kata “PMS” dari seorang laki-laki. Ia mundur selangkah, tampak betul sedang berusaha menjaga jarak dari Nikhil.
“Sssstttt … jangan keras-keras.” Nikhil menempelkan telunjuk pada tengah bibirnya.
“Ups.”
Shanaya spontan menutup mulutnya sambil memeriksa sekitar. Tidak menutup kemungkinan ada perawat atau mahasiswa SH yang mengenalnya, lalu tak sengaja mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Untuk saat ini ia belum siap jadi artis dadakan akibat digosipkan sana sini.
“Kamu itu kok vulgar sekali Shanaya.”
Shanaya mendadak bingung. “Vulgar? Vulgar sebelah mananya?”
Ia baru tahu semua yang ia pikirkan tak sejalan dengan Nikhil saat lelaki itu melanjutkan bicaranya.
“Emang kamu nggak tahu perbedaan nikah sama kawin?” tanya Nikhil dengan nada mengetes.
Seketika Shanaya mati gaya. Hawa panas merayap di wajahnya bersama semburat merah yang muncul di kedua pipi. Gelar seorang penulis serasa ternoda oleh komentar menyudutkan oleh Nikhil.
“Nih aku jelasin kalau belum tahu. Nikah itu ikatan sakral antara suami dan istri yang sah di mata agama, adat, dan negara. Sedangkan kawin itu hubungan biolo ….”
“Stop! Ngomong lagi aku gunting mulut kamu. Bisa nggak enyah dari hadapanku?”
Jika tidak tertutup jilbab, sudah pasti Nikhil bisa melihat betapa kerasnya rahang Shanaya saat ini. Dari sorot mata itu, Nikhil tahu Shanaya benar-benar marah. Tapi benarkah gadis itu marah hanya karena tegurannya tentang penjelasan nikah dan kawin?
Dengan segera Nikhil mengejar Shanaya saat gadis itu berbalik dan berlari meninggalkannya. Belum telat jika ia ingin meminta maaf.
“Shanaya … Nay … Shanaya … cepet juga larinya nih anak. Kayak kanguru,” desahnya dengan napas memburu. Ia tak mau menyerah seperti halnya Tom yang terus mengincar Jerry.
Nikhil mengerem kedua kakinya secara mendadak ketika Shanaya mendarat di pojok area parkir di sayap kanan rumah sakit. Napas mereka sama-sama tersengal.
“Aku minta maaf, Nay. Aku nggak bermaksud ….”
Nikhil urung menyentuh pundak Shanaya, ketika tahu perempuan itu tiba-tiba terisak. Shanaya menangis. Nikhil semakin disergap rasa bersalah.
“N-Nay ….” Hati-hati Nikhil mendekati Shanaya. Tangis Shanaya justru bertambah kencang. Hingga kedua bahunya berguncang.
“Nay … aku beneran minta maaf.” Dengan sisa-sisa nyali, Nikhil menyentuh pundak itu. Tempat parkir yang selalu ramai oleh pengunjung yang datang dan pergi membuat Nikhil terpaksa menahan tengsin.
“Masuk mobil yuk, malu dilihatin orang-orang,” bujuknya dengan berbisik. Untungnya tak berapa lama Shanaya setuju diajak masuk ke Avanza Veloz-nya. Setelah menghidupkan mesin mobil dan meningkatkan volume AC, ia kembali menatap Shanaya. Disodorkannya satu kotak tisu pada perempuan yang sedang sesenggukan itu. Nikhil masih tak percaya Shanaya menangis hanya gara-gara lelucon garingnya.
“Aku beneran minta maaf, Naya,” ujarnya pelan. Shanaya menarik selembar tisu dari kotak. Lalu mengelap pipi dan hidungnya. Tangisnya sedikit reda tapi ia masih enggan membalas tatapan Nikhil.
“Mau kuantar pulang?”
Shanaya menggeleng. Ia masih sibuk merapikan wajahnya sambil menghela napas berkali-kali. Setelah benar-benar reda, ia bersiap keluar mobil.
“Loh mau kemana?” tanya Nikhil.
“Bukan urusan kamu!” semprot Shanaya. Wajahnya yang sembab terlihat sangat sebal.
“Naya … please!” Nikhil mencekal tangan Shanaya.
“Lepas!”
“Nggak … sebelum kamu maafin aku.”
“Jangan mentang-mentang udah akad kamu bisa megang aku seenaknya,” geram Shanaya.
“Aku hanya megang lengan kamu nggak lebih.”
“Ya Tuhan … aku nggak percaya punya suami macam dia,” gemas Shanaya. Nikhil menggaruk kepalanya sambil nyengir.
“Aku nggak bakal lepas sebelum dimaafin.”
Shanaya memutar bola mata. “Udah aku maafin.”
“Kok terpaksa gitu?”
“Oke … aku maafin. Dengan satu syarat. Kamu temeni aku minta maaf sama Bu Kurniasih,” ujar Shanaya setengah terpaksa. Tapi kemudian ia menyadari sesuatu, tak ada salahnya juga mengajak Alien itu ke kamar dimana Bu Kurniasih dan bayinya dirawat. Toh, dia memang membutuhkan seorang teman.
“Siapa itu?” tanya Nikhil penasaran.
“Pasien di bangsal Ibnu Sina.” Pandangan mata Shanaya mengarah pada bangunan lantai tiga dekat pohon beringin tua.
“Ada masalah apa hingga kamu susah payah kesini untuk meminta maaf?”
“Dia … hampir terbunuh gara-gara aku.”
“Terbunuh?” Nikhil tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Jika sudah menyangkut nyawa, kedengarannya ini bukan masalah yang sepele.
“Nanti aja kuceritakan. Yang penting masalah ini cepat selesai dulu,” ucap Shanaya dengan tampang setengah berharap setengah putus asa. Kini Nikhil bisa berasumsi jika tangis Shanaya tadi bukan murni karena ulahnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Nikhil menerima syarat itu. “Oke. Cuma itu syaratnya? Apa nggak ada gitu syarat yang lebih menantang?” Dia mengiringi langkah Shanaya sambil pura-pura cuek saat ini sepasang mata tengah meliriknya dongkol.
“Kamu mau syarat yang lebih menantang? Gimana kalau jadi ketua salah satu komunitas di Gembiraloka? Mereka pasti seneng punya pemimpin kayak gini.” Shanaya mengarahkan telunjuknya pada Nikhil.
“Gembiraloka?” Nikhil mengernyit. Rasa-rasanya tak asing dengan nama tempat itu.
“Bukankah itu kebun binatang? Komunitas apa itu?” tanyanya lebih lanjut.
“Komunitas buaya,” Shanaya reflek menyemburkan tawanya.
“Enak aja. Aku bukan cowok buaya,” tampik Nikhil dengan mimik serius tanpa menoleh ke arah Shanaya. Tiba-tiba saja suasana berubah beku. Shanaya segera menghentikan tawanya dan menutup rapat mulutnya. Ganti ia kini yang merasa bersalah.