Kenali, Pahami Rayuan Anak
Oleh : Inayatun Najikah
Beberapa hal yang berkaitan dengan parenting utamanya soal anak, saya rasanya ingin belajar lagi dan lagi. Sudah tentu untuk menyiapkan diri agar bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak saya kelak dimasa depan. Mulai dari mengikuti akun yang membagikan tips bagaimana menjadi orang tua yang baik, bagaimana memahami anak-anak dalam situasi dan kondisi apapun, dan sebagainya. Karena saya tahu anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada setiap pasangan.
Anak-anak juga manusia. Ia memiliki perasaan dan akal. Sama seperti orang dewasa pada umumnya. Mereka memiliki hak untuk menentukan apa yang mereka inginkan, tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk orang tuanya. Namun, terkadang kita lupa, sebab rasa sayang yang berlebihan justru malah membuat kita menuntut si anak sesuai dengan kemauan kita. Kita tak membiarkan mereka berekspresi dan menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Saya punya banyak pengalaman dengan keponakan saya Tsania. Pada tulisan sebelumnya, saya membagikan pengalaman saat saya tengah pergi ke pasar dengan Tsania. Dia mengeluarkan jurus tantrumnya. Sama seperti Naruto yang mengeluarkan jurus Kage Bunshin No Jutsu untuk mengelabuhi lawannya agar dia bisa menang. Tsania juga sama. Ia berusaha mengelabuhi saya dengan jurus tangisannya, agar saya kalah dan menuruti keinginannya yang mendadak itu.
Pengalaman lainnya adalah saat Tsania berkunjung kerumah saya. Waktu itu orang tuanya memberinya handphone agar dia mau anteng. Ayahnya pergi bekerja, sedang ibunya sedang mengobrol dengan saudara yang lain. Hingga ibunya tiba-tiba berkata dengan nada cukup tinggi kepada Tsania. Hal itu dimaksudkan untuk memperingati Tsania agar tak bermain handphone lama-lama. Namun karena perintahnya hanya melalui kata-kata, jelas Tsania menolak dan tak bergeming. Menghiraukan begitu saja perkataan ibunya.
Terlihat tak hanya sekali ibunya berkata kepada Tsania. Lalu saya keluar dari kamar berusaha menengahi keduanya. Saya mendekati Tsania dan membujuknya untuk menyudahi bermain handphone. Respon yang saya dapat adalah diacuhkan. Saya tak kehabisan akal. Lalu saya mencoba berkata lagi,
“Mbak kasih waktu lima belas menit lagi ya.”
Setelah itu saya disampingnya menemani bermain handphone.
Waktu terus berjalan. Saat telah mencapai lima menit, saya katakan kepada Tsania. Begitu seterusnya. Lima menit pertama ia masih tenang. Namun lima menit berikutnya, ia tampak was was. Barangkali berharap waktu tak berjalan dengan cepat. Saya melihat ekspresi itu dari raut wajahnya yang mungil. Hingga sampai pada lima menit terakhir, saya kembali berkata.
“Sudah ya dik mainnya. Kan sudah lima belas menit sesuai perjanjian tadi.”
Setelah berkata demikian, handphone saya ambil. Tsania menangis dengan keras. Tangisannya bak dentuman Hirosima dan Nagasaki yang mengagetkan seluruh jagat raya. Lalu handphone saya serahkan kepada ibunya, dan Tsania saya peluk guna mendengarkan khotbah dari saya. Ia masih terus saja menangis. Namun tak lama kemudian ia akhirnya berhenti.
“Adik boleh kok main handphone, tapi sebentar saja. Kita cari permainan lainnya yuk.”
Lain waktu saat ia kembali berkunjung kerumah, dan seperti biasanya ia akan dibiarkan bermain handphone oleh orang tuanya. Saya memperingatinya dengan hanya memberinya waktu lima belas menit lagi. Apa alasannya? Saya yakin di rumahnya ia pasti sudah sering bermain handphone. Setelah lima belas menit terlewati, saya memberitahunya untuk berhenti. Dan dengan sadar ia lalu mengembalikan handphone pada ibunya. Saya yang melihat kejadian itu merasa senang. Dan tak lupa saya memberinya pelukan serta ciuman sebagai tanda apresiasi.
Sebagai orang yang umurnya lebih tua dari Tsania, sudah tentu saya yang notabene adalah tantenya ikut andil membimbing sekaligus menjadi pendamping untuknya. Meski sebenarnya itu bukan menjadi kewajiban saya, namun menemaninya bermain bagi saya sekaligus sebagai wujud belajar parenting.