Iklan
Fatwa

Meng-Qadla Shalat

Oleh: KH. Azizi Hasbullah
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera kami sampaikan, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Bapak Azizi Hasbullah yang kami hormati, kami mempunyai sedikit permasalahan yang mungkin di kalangan orang awan seperti saya belum banyak diketahui. Permasalahannya begini: Seseorang yang sengaja meninggalkan shalat, apakah masih tetap wajib meng-qodlo’ shalat itu diluar waktunya, misalnya shalat dhuhur diqodlo pada waktu Ashar. Padahal shalat kan sudah ditentukan waktunya, sebagai- mana finnan Allah SWT:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: “Sesungguhnya shalat bagi kaum mukminin adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An Nisa’ 103)
Kalau memang tetap diwajibkan mengqodlo, logikanya berarti juga diperbolehkan ‘menghutang’ shalat, alias boleh meninggalkan atau mengakhirkan dari waktunya. Karena meninggalkan shalat secara sengaja sama saja dengan menghutang shalat. Padahal Allah kan tidak pernah menghutangkan shalat kepada hamba-Nya?
Atas jawabannya kami ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
M. Syafiqul Umami. Kamar M.16 PP. Lirboyo Kediri.
Terima kasih kepada Mas Syafiq. Menurut kesepakatan para ulama’ Syafi’iyyah, shalat tetap wajib untuk diqodlo’ walaupun waktunya telah keluar. Sebagaimana dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj Syarah Minhaj juz 2 halaman 66:
وَلَا قَضَاءَ عَلَى شَخْصٍ ذِي حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ وَلَوْ فِي رِدَّةٍ كَمَا مَرَّ إذَا طَهُرَ بَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ كَمَا مَرَّ أَوَّلَ الْحَيْضِ أَوْ ذِي جُنُونٍ أَوْ إغْمَاءٍ أَوْ سُكْرٍ بِلَا تَعَدٍّ إذَا أَفَاقَ إلَّا فِي زَمَنِ الرِّدَّةِ كَمَا مَرَّ بِخِلَافِ ذِي السُّكْرِ أَوْ الْجُنُونِ أَوْ الْإِغْمَاءِ الْمُتَعَدِّي بِهِ إذَا أَفَاقَ مِنْهُ فَإِنَّهُ يَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ
Sementara, bagi orang yang tidak shalat disebabkan menstruasi (haid), gila, epilepsi, atau mabuk yang tidak ada unsur kesengajaan, ketika telah sembuh tidak wajib mengqadla shalat. Namun jika mabuk, gila atau epilepsi itu disengaja atau ada unsur gegabah, maka wajib mengqadla ketika telah sembuh. Hal ini berlandaskan firman Allah:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha 14)
Dengaii kata lain, jika kamu lupa mendirikan sholat, maka kerjakanlah shalat itu ketika engkau telah ingat kembali.
Firman Allah diatas didukung pula oleh banyak Hadis Nabi. Yang pertama adalah:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
Artinya: “Barangsiapa lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah ketika telah ingat, tidak ada sesuatu apapun yang bisa menebusnya, kecuali mengqadlainya.”
Yang kedua adalah Hadis riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik:
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Artmya: “Apabila di antara kamu sekalian tertidur sehingga meninggalkan kewajiban shalat, atau lupa mengerjakannya, maka shalatlah ketika ia telah ingat”
Dan yang ketiga adalah:
فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى رواه البخاري والنسائي عن ابن عباس
Artinya: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi (dipenuhi)”
Hadis-hadis diatas berbicara dalam konteks orang yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa. Tertidur atau lupa yang jelas-jelas tidak mendapat dosa, masih diwajibkan mengqadla, apalagi jika meninggalkan shalat itu ada unsur kesengajaan yang notabene berlumuran dosa, jelas lebih wajib untuk diqadla.
Sementara mengenai ayat yang menyatakan bahwa shalat itu telah ada batas waktunya masing-masing, artinya tidak sah melakukan shalat itu sebelum masuknya waktu. Dengan pemahaman demikian, seorang mukmin yang tidak mengerjakan shalat ketika telah masuk waktunya, tidak bertentangan dengan ayat diatas. Karena waktu shalat baginya sudah masuk, sekalipun telah habis, berarti ia tetap berkewajiban mengerjakan shalat itu.
Mengqadla shalat juga pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama para Shahabat, ketika dalam perang Khandak, orang-orang musyrik membuat kaum muslimin tidak memiliki waktu untuk melakukan shalat karena serangan bertubi-tubi. Serangan siang-malam itu membuat mereka meninggalkan shalat dluhur, ashar, maghrib, isya’ hingga subuh. Disaat shubuh itu, beliau memerintahkan Bilal bin Rabah untuk adzan dan iqamah, serta terus mengerjakan shalat berjamaah. Shalat itu dimulai dengan shalat dhuhur, lalu Bilal iqomah lagi dan diteruskan shalat ashar, lalu iqomah lagi dan dilanjutkan dengan shalat Maghrib dan seterusnya, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Nasbur Rayah juz II halaman 164-166.
Dalam riwayat diatas, bukan berarti memberi kesempatan kepada kita untuk mengakhirkan shalat dari waktunya, sebab dengan sengaja meninggalkan shalat merupakan sebuah dosa besar dan tidak dapat hilang walaupun ia mengqada shalat tersebut selama satu tahun. Sesuai dengan hadis, yang artinya sebagai berikut: “Shalat qadla tidak bisa menempati posisi shalat ada’, walaupun dikerjakan selama satu tahun.”
Hadis ini diriwayatkarroleh Imam Ahmad bin Hambal, sehingga beliau memberi fatwa bahwa, seseorang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, tidak dapat mengqadla shalatnya itu karena dosanya terlalu besar.
Namun para ulama’ Syafi’iyyah berpendapat sebaliknya. Dengan didukung Hadis yang berbunyi:
وَمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فقد كفر جهارا رواه الطبراني
Artinya: “Barang siapa meninggalkan shalat secara sengaja, maka ia telah benar-benar kufur”
Hadist kedua ini memberi asumsi bahwa dosa orang tersebut hanya karena meninggalkan shalat/mengakhirkan dari waktunya. Tapi bukan berarti dosa/tidak boleh mengqadla. Artinya, kewajiban megqadla bukan berarti menghilangkan dosa meninggalkan shalat, apalagi memberi peluang untuk mengakhirkan dari waktunya.
Sebagaimana seseorang yang merusak barang orang lain tanpa sengaja, maka wajib mengganti barang tersebut, atau membunuh tanpa sengaja, maka wajib membayar Diat (denda) pembunuhan, walaupun tidak mendapat dosa. Dan jika kedua kasus diatas dilakukan secara sengaja, maka akan mendapat dosa perusakan dan pembunuhan itu, namun tetap wajib mengganti barang atau membaya Dam pembunuhan. Namun demikian, bukan berarti kewajiban tersebut memberi peluang atau memperbolehkan merusak barang atau menghilangkan nyawa orang lain.

Wallahu A’lam
*) Tampil pada MISYKAT Edisi ke-5, Juni 2004

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button