Jiwa Sheril Part II

Oleh : J. Intifada
POV Sheril
Syahdu, nama yang indah. Pertama kali aku masuk sekolah yang ku cari adalah sosoknya. Cowo tengil bermata sipit, rambut pirang kulit putih, sudah seperti chinese. Tapi orang tuanya asli jawa. Anak paling pintar di Sekolah Dasar seberang sekolah dasarku dulu. Hanya sering mendengar namanya, dan belum pernah bertemu secara langsung.
Ketika teman sekolah dasarnya bercerita dia juga sekolah di SMP yang sama denganku, aku pun bergegas mencarinya. Dari 1A-1D, tak ku temukan dia. Setelah bel berbunyi, dari kejauhan tampak sepertinya menuju kelas 1E. Aku terbelalak. Aku sempat putus asa, berpikir berita dia sekolah yang sama dengan ku bohong. Hampir ku berteriak dan melompat kegirangan, bila wali kelas tidak muncul dibelakang Syahdu.
Bersama Syahdu satu kelas denganku membuatku selalu bersemangat. Apa yang ku lakukan untuk Syahdu murni karena aku ingin dia melihatku ada. Saat selesai olahraga, ku lihat dia kelelahan, kebetulan aku memegang botol air minum. Ku berikan padanya. Saat dia kebingungan dengan buku catatannya, aku memberikan dengan sukarela buku catatanku seperti ku meminjamkan pada Jiwa. Aku tak tahu ternyata ada hukuman yang tidak membawa buku catatan.
Jiwa, haha, aku lupa harus menceritakannya. Cowo tinggi kurus, pendiam dan sedikit misterius. Dia selalu mengikutiku ketika aku di hukum tidak membawa buku catatan. Dia sering mengintipku yang sedang membaca buku di perpustakaan. Dia selalu tersenyum saat berpapasan denganku.
Semenjak kejadian surat itu, kami mulai akrab. Dia sering meminjam buku catatan. Kadang lupa mencatat, catatannya kurang, atau bukunya ketinggalan. Aku pikir dia hanya pura-pura ketinggalan bukunya. Karena setiap pelajaran, dia selalu rajin mencatat.
“Lupa lagi?” kataku ketika dia dengan muka polosnya menghampiriku dengan cengar cengir.
Sontak dia tertawa terbahak. Seperti seseorang yang ketahuan berbohong. Tetapi aku tetap meminjaminya. Sambil tersenyum dan melihatnya kembali ke bangkunya.
Saat jam istirahat, dia tidak pernah pergi ke kantin. Dia akan sibuk mencatat ataupun menyelesaikan soal-soal dari buku paket. Aku juga enggan mengantri di kantin saat jam istirahat pertama. Aku akan berkeliling dari bangku ke bangku mengajak temanku yang tidak ke kantin mengobrol. Sambil memperhatikan Jiwa.
“Ini bukunya.”kata Jiwa mengembalikan buku
Aku menerimanya dengan sedikit menahan tawa. Gayanya bertolak belakang dengan Syahdu. Rambut awut-awutan, baju sedikit keluar, kaos kaki dilipat separo ke bawah. Tetapi tak membuatnya berkurang kharismanya. Entah mengapa, dia sangat berbeda dengan Syahdu. Syahdu selalu membuatku terpana, namun Jiwa membuatku tak bisa berkata-kata. Bila aku yang selalu rela melakukan apa saja untuk Syahdu, Jiwa akan melakukan apapun untukku.
Suatu hari, Jiwa ingin menanyakan sesuatu padaku. Dia menungguku di taman depan kelas. Aku baru selesai mengembalikan buku di perpus. Ketika aku akan sampai di tempat Jiwa menunggu, Syahdu memanggilku untuk pertama kali. Dia menyuruhku ke kantor menemui Bu Ida.
“Aku ke kantor dulu ya,” kataku setengah berteriak ke Jiwa sesaat sebelum aku berlari ke kantor. Jiwa hanya tersenyum dan mengangguk menyuruhku bergegas pergi. Aku merasa tidak enak hati meninggalkannya menunggu lama. Pun pula aku terlalu bersemangat ketika Syahdu memanggilku.
Aku dan Syahdu kebetulan menyukai ekstra seni peran. Aku tak tahu bila Syahdu juga mendaftar ke estrakurikuler ini. Sedangkan Jiwa lebih menyukai bola. Setiap seminggu 3 kali kami berlatih bersama. Jiwa berlatih di lapangan, aku dan Syahdu berada di ruang teater. Hari dan jamnya pun sama.
Sepulang latihan, Syahdu akan bergegas mengambil tasnya dan menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu diluar untuk pulang bersama. Sedang Jiwa akan menungguku di parkiran sepeda dan mengajakku pulang bersama.
Aku dan Syahdu digosipkan berpacaran. Aku tak mengerti siapa yang memulai itu. Yang pasti, Fio sahabat dekat Syahdu yang sering meneriakkan namaku ketika Syahdu lewat dekat bangkuku. Aku tak tahu bagaimana Fio sampai mempunyai ide menyebarkan rumor aku dan Syahdu berpacaran. Padahal jelas aku dan Syahdu tak berpacaran.
Setelah aku dari ruang guru, aku mencari Jiwa. Aku ingin menceritakan bahwa aku mendapat peran utama untuk pentas nanti saat perayaan ulang tahun sekolah. Jiwa ada di kelas, sedang mengerjakan soal-soal seperti biasa. Aku menghampirinya dengan berlari ringan.
“Ji,… aku akan jadi Rara Mendut,”seruku padanya
“Oh ya,… selamat ya,… kamu pasti bahagia.”jawabnya dengan masih melihat soal di mejanya.
“Iya, aku senang sekali. Dan kamu tahu gak, Syahdu jadi Pranacitranya.” Aku berseru dengan semangat.
Jiwa mulai memperhatikanku, tersenyum tipis dan mengangguk. Dia mendengar ceritaku dengan seksama. Sesekali mengangguk, sesekali tersenyum. Entah kenapa, aku ingin berbagi kebahagiaanku dengannya. Dia satu-satunya teman yang tidak protes atau menyela setiap ceritaku. Dia selalu tersenyum dan mengiyakan apa yang aku katakan. Tak ada raut wajah keberatan. Sebaliknya dia tak pernah menceritakan sesuatu kepadaku. Kecuali aku yang menanyakan terlebih dulu.
“Oh ya, kapan pertandingan bolamu?”kataku setelah selesai menceritakan perasaanku akan pentas ini.
“Masih lama, mungkin 2 bulan lagi. Kemungkinan nanti sore akan berlatih di lapangan dekat asrama. Untuk menyesuaikan kondisi lapangan pertandingan nantinya”
“Ehmmm,…..”jawabku sambil mencerna kalimatnya. Jadi nanti sore, aku tak bisa pulang bersamanya. Gumamku dalam hati.
“Kenapa?”tanyanya
“Ehm… gak pa-pa, semangat ya … aku juga nanti sore mulai berlatih. Kemungkinan juga akan sibuk berlatih.
Dia mengangguk dan tak memberi komentar lagi. Ada perasaan canggung kala aku mengatakan aku akan sibuk berlatih. Jiwa juga tidak mengatakan apapun apakah setiap sore kita masih bisa pulang latihan bersama.
Akhir tahun sekolah kami sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Pentas perayaan ulang tahun sekolah dan pertandingan antar sekolah diadakan di bulan yang sama. Aku mulai jarang bersama Jiwa. Jiwa sering menyendiri mengerjakan soal-soal di kelas. Aku dan Syahdu sering berlatih dialog di perpustakaan ketika jam istirahat.
Pentas kurang dua hari lagi, sedangkan hari ini pertandingan Jiwa. Siang tadi saat pulang sekolah, dia menghampiriku dan meminta doa restu.
“Good luck ya Ji…”
“Kamu nanti sore datang kan?”
“InsyaAllah ….” Jawabku dengan sumringah
Jiwa tersenyum mendengar jawabanku. Setelah Jiwa berlalu, aku tak tahu Syahdu berjalan di belakangku. Dia mendengar Jiwa menyuruhku datang menonton pertandingannya.
“Sheril.”sapanya dengan muka sok cool
“Iya du.” Sahutku
“Nanti sore, temani aku ya.”
“Kemana?”
“Siap-siap aja, nanti aku jemput di rumah.”
Belum sempat aku menjawab, Syahdu sudah mendahului langkahku dan berlalu. Aku tertegun tak mengerti. Mengapa dia tiba-tiba memintaku menemaninya. Kemana?
Sore harinya, dia benar menjemputku di rumah. Meminta ijin ke orang tuaku untuk menonton pertandingan sekolah kami. Aku hanya terdiam dan menatapnya tak mengerti. Setelah pamit, aku bertanya padanya.” Kita mau nonton pertandingan bola sekolah kita?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Aku pikir, bukan kesana.”
“Lalu?”
“Lalu kenapa kesana?”
“Karena kamu akan kesana menonton kan?”
“Tapi?”
“Sudah, ayo kita berangkat, sebelum pertandingan dimulai.”
Sepanjang perjalanan, Syahdu tak mengatakan apa-apa. Kami sampai di stadion ketika peluit pertandingan dimulai. Kami berjalan ke atas tribun penonton. Disana teman-teman sekolah kami dari kelas lain dan kakak kelas sudah datang untuk mendukung sekolah kami. Bahkan ada tim suporter sekolah kami yang membawa drum untuk menambah semangat mendukung sekolah kami.
“Arga ….” Teriak tim suporter menyemangati kapten sekolah kami
Aku berteriak memanggil teman-temanku yang sedang bermain di lapangan. Kecuali Jiwa. Ingin ku berteriak memanggil namanya, namun tak bisa. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan tersenyum sembari mengatakan semangat dengan suara lirih. Syahdu hanya duduk di tempat. Menyaksikan pertandingan dengan serius. Dia tidak merasa terganggu dengan teriakan kami.
“Jiwa ……………… semangat ……”tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya. Aku menoleh. Aya, teman seangkatan beda kelas. Wakil dari sekolah untuk mengikuti kontes Putri Wisata di kota kami. Jiwa tidak memperhatikan teriakan itu. Dia masih berlari mengejar bola.
Peluit tanda pertandingan usai. Aku masih tertegun. Syahdu memperhatikanku dan mengajakku pulang.
“Aku ke bawah dulu ya.”
“Mau apa?”
“Aku ingin menyapa teman-teman dan Pak Irfan,”
Syahdu ragu. Namun aku mencoba membujuk untuk turun ke lapangan dulu. Dia mengiyakan tapi menungguku di pintu masuk. Aku berlari kecil ke pinggir lapangan menghampiri tim sekolah kami. Menyapa teman-teman dan Jiwa. Aku hanya melambaikan tangan ringan dan tersenyum padanya. Dia membalas senyum itu. Tak lama menyapa dan mengobrol singkat dengan Pak Irfan. Aku berpamitan dan kembali ke Syahdu yang menungguku. Jiwa ingin mengantarkanku pulang. Tapi aku menolak dengan halus.
“Aku bersama Syahdu. Maaf.”
Jiwa hanya mengantarkanku hingga pintu masuk. Aku melambaikan tangan dan pulang bersama Syahdu. Sepanjang perjalanan, Syahdu bersenandung lirih. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya terlihat gembira. Aku tak pernah melihatnya sebahagia ini bila bersamaku.
“Terima kasih ya.”kataku sesampainya di rumah
Dia mengangguk dan tersenyum. Senyum yang tulus, yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Dia pun berpamitan. Aku masuk ke dalam dengan riang.
Esoknya di sekolah, Aya datang ke kelasku pagi-pagi sekali untuk menunggu Jiwa.
“Hey Jiwa.”sapanya
Jiwa hanya melewatinya dan duduk di bangkunya.
“Kamu tadi sore keren banget.”
“Terima kasih.”jawab Jiwa singkat
“Pertandingan selanjutnya kapan?”
“Belum tahu, yang penting latihan aja.”
Aya mengangguk dan pamit kembali kelasnya. Aku memperhatikan mereka dari bangkuku. Ada rasa kesal melihat mereka akrab. Sejak kapan Aya mengenal Jiwa.
Tiap hari Aya kembali datang ke kelasku hanya untuk mengobrol dengan Jiwa. Aku lebih memilih ke perpustakaan. Daripada melihat mereka berduaan di kelas. Teman-teman lain juga mendukung keakraban mereka. Hanya aku sendiri yang tak suka mereka dekat.
Pementasan Rara Mendut berjalan dengan lancar. Semua penonton bergemuruh bersorak menikmati pertunjukan kami dengan senang. Kami membungkukkan badan mengucapkan terima kasih atas antusias dan perhatian dari penonton semua. Aku melihat Jiwa menonton pertunjukan kami. Disampingnya ada Aya.
Setelah pementasan itu, Syahdu masih sering menemaniku duduk membaca di perpustakaan. Tak seperti dulu yang hanya mencari buku lalu kembali ke kelas atau bergegas ke kantin. Saat melihatku membaca di sudut ruangan dia menghampiriku. Kali ini, dia mulai obrolan yang bukan seperti dirinya.
“Buku apa?”
Aku menunjukkan cover buku penulis NH Dini, Pertemuan Dua Hati dengan malas. Aku sedang tak ingin diganggu sebenarnya.
“Oh,.. aku udah baca buku itu. Menarik. Dan cukup membuat hati menangis.”
Aku mengangguk dan masih melanjutkan membaca.
“Kamu kenapa? Tak biasanya diam.”
Aku menoleh kearahnya. “kamu juga, tak biasanya banyak bertanya.”
Dia nyengir mendengar jawabanku.
“Lagi pengen isengin kamu aja.”
“Du,.. sebenarnya kita itu apa?”
“Hm…. Kenapa?”
“Kadang kamu baik, kadang kamu jutek. Kadang kamu sok gak peduli, dan kadang ganggu aku gak jelas seperti ini. Mau kamu ke aku sebenarnya apa du? Kita gak sedang pacaran kan?”
“Mau kamu apa?”
“Entahlah. Boleh gak, kamu baca bukunya di meja seberang.”
Syahdu serba salah. Dia meninggalkanku sendirian di sudut ruang perpustakaan. Dia kemudian ke meja resepsionis dan menulis di buku peminjaman.
Jam istirahat selesai, Jiwa menungguku di depan perpustakaan.
“Sudah selesai bacanya?”
Aku melengos tak mempedulikannya. Melangkah lebih cepat menuju ke kelas. Jiwa berjalan di belakangku.
Aku menjadi pendiam tak seperti biasanya. Syahdu kembali bersama dengan teman-temannya tak mempedulikan aku. Jiwa terlihat akrab dengan Aya. Sesekali terdengar dia membalas candaan Aya. Saat itu, aku akan langsung ke perpustakaan atau pergi ke kantin menyusul teman-teman lain. Setelah bel istirahat usai berbunyi Jiwa akan mencariku dan mengikutiku dari belakang tanpa berkata-kata.
Suatu hari ketika Aya akan masuk ke kelas, Jiwa beranjak berdiri. Di depan pintu Aya sudah bersemangat ingin mengajak Jiwa ke kantin. Namun siapa sangka dia menolak ajakan Aya.
“Aku mau ke perpus, ada tugas yang belum selesai.”
“Oh baiklah, kalau begitu aku ikut.”
“Aku mau membuat tugas bersama Sheril. Kamu duluan aja ke kantin.”
Seketika raut wajah Aya berubah. Dia melihatku dengan cemberut. Seakan tak percaya bila Jiwa menolak ajakannya.
Jiwa menarik tanganku dan mengajakku ke perpustakaan. Semua teman memandangi kami. Aku tak percaya Jiwa memegang tanganku sampai depan perpustakaan.
“Maaf.” Katanya kemudian
“Gak pa-pa.”jawabku canggung
“Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menghindari Aya. Tiap hari dia datang dan mengoceh tak jelas. Tiap kali aku ingin keluar, kamu sudah pergi dulu. Hari ini sebelum kamu keluar kelas, aku ingin mengikutimu. Maaf ya udah buat kamu jadi alasan menghindar dari Aya.”
Aku mendengar pengakuannya. Melihatnya tak percaya.
“Kamu gak pa-pa kan?”
Aku tersenyum. “gak pa-pa. hanya saja setelah ini, kamu tanggung akibatnya.”
“Hah, apa?”
“Kamu gak takut dianggap merebut pacar orang?”
“Siapa?”
Aku tertawa. Ternyata Jiwa tak tahu rumor itu. Atau dia tak mau mempercayai rumor itu.
“Aku tahu, kamu dan Syahdu tidak pacaran. Dia juga sebenarnya tidak menyukaimu. Dia hanya ingin membuktikan siapa yang kau pilih.”
“Oh ya,…kok kamu tahu.”
Jiwa menceritakan bahwa dia tak sengaja mendengar Fio menyuruh Syahdu mendekatiku untuk tahu apakah aku benar menyukainya. Awalnya Syahdu tidak menyetujuinya. Tapi pada akhirnya dia mencoba untuk mendekatiku. Dia menyukai caraku memperlakukannya. Tak seperti teman cewek lain. Kata dia, aku manis dan bisa dimintai apa saja.
Aku tertawa tak menyangka bila itu yang dipikirkan Syahdu tentang aku. Jiwa berulang kali ingin mendekatiku dan menanyakan langsung tentang aku dan Syahdu. Namun selalu gagal karena Aya selalu mendekatinya.
“Ji… boleh ku tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kenapa kamu selalu baik padaku, perhatian dan tak pernah protes dengan tingkahku.”
“Dari awal kamu menyapa, kamu cewek yang berbeda. Disaat teman-teman tak ada yang berani tanya tentang surat itu, kamu dengan Pede nya menanyakan langsung padaku.”
“Wait ….. surat itu bukan untuk Anjar?”
“Bukan, itu surat buat aku.”
“Hah …. “ aku dibuat melongo dengan jawabannya
“Jadi, kamu pikir surat itu untuk Anjar?”
“Iya, aku pikir aku bisa ngledekin dia lewat surat itu .hahahaha .” aku tertawa setelah menyadari apa yang sudah terjadi.
“Ngledekin kenapa?”
“ya ledekin dia dapat surat cinta dari kakak kelas. Pantas kamu buang ke toilet.”
Kali ini kami berdua tertawa bersama. Menertawakan hal konyol yang baru terkuak setelah setahun kami berteman.
“Jadi?”
“Apanya?”
“Mau pinjam buku atau berdiri disini sampai bel masuk?”
Aku dan Jiwa kemudian masuk ke perpustakaan dengan perasaan lega.
Di Kantin, teman-teman sudah menyebarkan rumor baru. Jiwa dan Sheril berpacaran. Mereka berkerumun di meja Syahdu menanyakan apa Sheril putus dengannya. Syahdu yang sedang menikmati sarapannya hanya diam dan tak menanggapi. Fio sibuk menenangkan teman-teman dan menyuruh mereka kembali ke kelas atau membeli makanan yang disuka.
“Rara Mendut dan Pranacitra dalam kehidupan nyatanya itu Jiwa dan Sheril, bukan dengan Syahdu.”salah seorang berbisik dengan teman lainnya.