Jiwa Sheril Part I
Oleh : J. Intifada
Hari ini masih pagi, tapi kawan-kawan sudah berbisik sana sini. Anjar membawa surat kecil berwarna putih. Aku melihat sekilas dan mencoba merebut. Anjar menghindar dan bel masuk berbunyi. Secepat kilat Anjar pergi dan aku tak memperhatikannya lagi. Mataku tertuju pada sosok tengil yang rapi. Wajah chinese dengan senyumnya manis. Memasuki kelas yang sama denganku. Aku pun mengikuti kemudian duduk di kursiku sambil memandanginya dengan tersenyum kecil.
Aku duduk di bangku lalu menengok ke belakang.
“Anjar, mana suratnya?” tanya ku berbisik
“Aku kasih ke Jiwa.”
Hah, Jiwa. Kenapa diberikan ke Jiwa? Gumam ku dalam hati.
Bel istirahat berbunyi. Aku bergegas menghampiri Jiwa yang sedang mencoret-coret sesuatu di kertas.
“Jiwa, surat itu mana?”
Tanpa menoleh kepada ku, dia menjawab,” aku buang ke toilet.”
“Apa? Kok dibuang ke toilet sih.” Seruku kecewa.
Jiwa tak menanggapi. Dia melanjutkan menulis catatan di buku. Aku menggerutu dan kembali ke tempat dudukku. Di bangkunya, Anjar hanya cengar-cengir melihatku bersungut.
“Gimana?”
“Dibuang ke toilet. Masa dibuang ke toilet.”
Anjar tak kuasa menahan tawa. Dia menertawakan kebodohanku. Aku kesal pada Anjar. Karena aku tak bisa mengolok-oloknya punya pacar kakak kelas. Dasar Anjar.
POV Syahdu
3 bulan berlalu sejak Sheril menanyakan surat itu. Sheril masih belum tahu surat itu untuk siapa. Hanya saja, setelah kejadian itu, Jiwa mulai menyapa Sheril. Bila di jalan bertemu Sheril, dia akan membalas sapaan Sheril dengan senyuman. Senyuman yang ku artikan berbeda.
Jiwa tidak suka bicara. Dia juga tidak akrab dengan teman-teman perempuan lainnya. Tak banyak teman perempuan yang mengobrol ataupun bercanda dengannya. Yang ku tahu, dia hanya menyapa dan berbicara santai dengan Sheril. Dari sorot matanya terlihat jelas ingin selalu bicara dengannya. Tatapan itu hanya untuk Sheril.
Bagi teman – teman sekelas yang lain, dia anak yang misterius. Tak ada yang mengetahui rumah asalnya dimana. Yang kita ketahui, dia anak pak lurah di desa bukit Semar. Dia bersekolah kesini karena mengikuti teman-temannya pindah ke kota. Mereka tinggal di asrama dekat sekolah kami. Tapi bagiku, dia hanya ingin Sheril. Ketika melihat Sheril dari kejauhan, tanpa disapa terlebih dahulu oleh Sheril, dia akan tersenyum kecil dan menatapnya lamat-lamat. Sheril tak pernah menyadari itu.
“Sheril … “sapa ku ketika dia ingin menghampiri Jiwa
“Eh… ya du,” jawabnya dengan sumringah. Wajahnya yang ceria dan anggun membuatku sedikit goyah. Sedang tatapan Sheril sama seperti menatapku pertama kali masuk kelas.
“Bu Ida memanggilmu. Kamu disuruh ikut pelatihan drama musikal nanti sore.” kataku
“Oh ya, wah senang sekali mendengarnya. Baiklah, aku menemui Bu Ida dulu.” Jawabnya kemudian berlalu. Kemudian berbalik memandang Jiwa.
“Aku ke kantor dulu ya.” Sapanya sambil melambaikan tangan. Aku pikir, mereka seperti teman yang lain yang tak begitu akrab. Tapi kenapa, dia berpamitan dengan Jiwa. Aku memandangi Jiwa dengan tanda tanya. Jiwa tersenyum mengangguk dan memandanginya berlalu hingga tak terlihat. Tak berapa lama, aku menyusul Sheril ke kantor menemui Bu Ida. Sesampai di kantor, Bu Ida menyodorkan naskah drama musikal kepadaku dan Sheril.
“Kalian akan memerankan Pranacitra dan Rara Mendut, kisah cinta dari Kota Pati. Dibaca dan dipelajari. Kita bertemu nanti sore di sanggar.”
Kami mengangguk dan berpamitan kembali ke kelas. Sheril sepanjang jalan menuju kelas memandangi naskah dengan gembira. Sebaliknya denganku yang tak tahu harus kesal atau bahagia. Melihatnya gembira, membuatku ikut bersemangat. Namun, aku kesal, bila kita akan menjadi bahan gosip yang melebar.
“Tolong bawakan naskahku ke kelas ya. Aku mau ke kantin.” kataku pada Sheril
“Baiklah, dengan senang hati.” Dia mengambil naskah itu dengan bibir yang mengembang. Senyuman manisnya yang selalu dia pamerkan. Aku memandangi sebentar dan berbelok ke arah kantin. Di kantin, teman-temanku sudah menyoraki.
“Cieeee… Pranacitra Syahdu sudah datang.”
“Rara Sheril mana ….”
Gemuruh celotehan mereka menggema di seluruh kantin. Aku hanya menggerutu dalam hati. Entah sejak kapan kami digosipkan berpacaran. Yang kuingat, aku sedang membacakan puisi di depan kelas. Fio melihat Sheril tersipu mendengar puisi yang ku bacakan. Kemudian dia meneriakkan nama Sheril.
“Itu puisi buat Sheril ya.” Teriaknya yang membuat seluruh kelas menyoraki kami. Sheril kebingungan. Ada teman kami yang jahil dan iseng membuat rumor gak jelas. Kebetulan juga guru bahasa Indonesia sedang menyuruh membuat puisi romantis.
Aku yang belum tahu apa itu puisi romantis, hanya sekedar menulis dan melamunkan seseorang gadis imut yang cantik. Aku tak tahu bila Sheril menyukai puisi itu. Berulang kali aku dan Sheril menjelaskan kalau tak ada hubungannya antara puisiku dengan dia. Tapi tak ada yang mempercayainya.
Mereka seolah mendapat pembuktian dari ketidaksengajaan kami. Ketika aku mendaftar ke ekstra seni peran karena kecintaanku pada sastra, dia pun mengikuti. Di kemudian hari aku tahu dia memang sangat menyukai drama dan akting.
Ketika aku ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ku pinjam karena tugas bahasa indonesia, dia pun ada disana membaca berbagai buku cerita dan sering juga meminjam buku. Ketika aku ingin membeli minuman, teman-teman melihatnya memberiku minumannya. Ketika ku tanya, dia menjawab salah membeli minuman. Dia tak menyukai itu. Kebetulan dia pernah melihatku minum itu, akhirnya minumannya diberikan kepadaku.
Juga ada kejadian yang menurutku sangat konyol sekali. Buku catatannya yang diberikan kepadaku sepulang sekolah untukku contek, katanya dia melihatku tidak mencatat melainkan tidur. Bahkan ketika aku lupa membawa buku, dia memberikan bukunya kepadaku. Dengan sukarela dia pergi ke perpustakaan menerima hukuman atas kelalaianku.
Aku tak tahu apakah Sheril benar menyukaiku. Atau hanya baik kepadaku. Hanya saja ketika dia pergi ke perpus, Jiwa akan pura-pura ke toilet untuk memeriksa apa yang dilakukan Sheril di perpustakaan.
Suatu kali aku memergoki Jiwa melihat Sheril membaca buku dari luar jendela perpus cukup lama. Sheril akan memilih ke perpus untuk menyelesaikan buku bacaan. Katanya tanggung. Maka dari itu, dia tak keberatan menggantikan hukumanku.
Bel istirahat selesai berbunyi. Aku yang tak banyak mengomentari gurauan teman-teman pun membubarkan diri dari kerumunan. Fio menepukku dari belakang. Dia yang memulai rumor itu. Hanya dia yang percaya bila aku dan Sheril tidak sedang berpacaran.
“Sheril aman kan?”
Aku menoleh dengan wajah berkerut tanda tak mengerti.
“Jiwa sepertinya menyukai Sheril. Kalau kamu gak segera mendekatinya, kamu akan kehilangan Sheril.”
Sialan. Aku menggerutu dalam hati.
“Tapi tenang, kayaknya Sheril sukanya sama kamu. Dia kan yang meminta Bu Ida untuk memilihmu menjadi Pranacitra di drama musikal nanti? Teman-teman sudah tahu.”
Aku tak menjawab dan terus menuju kelas.
Flasback di kantor sebelum Sheril menemui Bu Ida, salah satu pelatih di ekstra seni peran.
“Dewan pelatih meminta mu untuk casting sebagai Pranacitra. Mereka juga meminta rekomendasi siapa kira-kira yang bisa memerankan Rara Mendut.”
Sejenak aku berpikir untuk memilih seseorang yang bisa memainkan karakter Rara Mendut.
“Bu ida ada kandidat?” tanyaku penasaran
“Saya hanya mempunyai satu kandidat. Yaitu Sheril. Sepertinya akan cocok kalau berperan berpasangan bersamamu.” Jawab Bu ida dengan tersenyum
Aku hanya memberikan senyum kecil. Sedangkan di dalam hati, ada perasan enggan. Ini akan menjadi gosip sepanjang tahun sekolah disini.
“Bagaimana menurutmu? Kalau kamu punya rekomendasi lain, boleh saja.” Bu Ida menanyakan pendapatku.
“Terserah ibu saja. Saya akan mengikuti.” Jawabku kemudian
“Baiklah, panggil Sheril kemari dan kamu juga. Nanti akan saya beri naskahnya kalau kalian sudah disini bersama.”
POV Jiwa
Sheril, gadis kecil mungil yang riang dan ceria. Aku tak pernah melihatnya merenung ataupun sedih di wajahnya. Pertama kali dia menyapa, aku pikir dia juga akan menyatakan perasaannya. Sudah 3 kali aku menerima surat dari cewek yang berbeda. Dan semuanya adalah kakak kelas.
Ketika dia menyapa, aku tak mau melihatnya. Dia menanyakan surat itu. Surat ke tiga yang ku dapat selama menjadi murid baru di sekolah ini. Aku sedikit tertegun tanpa menoleh ke arahnya. Tak ku sangka dia hanya bertanya tentang surat. Entah apa maksudnya. Aku pun menjawab. ”Aku buang ke toilet.” Dia kecewa dengan jawabanku.
Aku tak mengerti kenapa dia ingin tahu isi surat itu. Padahal itu surat cinta monyet kakak kelas yang kurang kerjaan. Teman-teman yang lain hanya berbisik-bisik mengenai surat itu. Sedang dia, yang belum pernah mengenalku sudah berani bertanya sesuatu yang menjengkelkan bagiku.
Setelah kejadian itu, Sheril tak pernah menanyakan lagi perihal surat itu. Dia lebih banyak bercanda dengan teman-teman dan sering mengikuti ekstrakurikuler di sekolah. Dia sering berkeliling ke penjuru kelas. Menyapa teman-teman di kelas yang gak ke kantin. Terkadang dia mengajakku. Entah hanya basa basi atau sungguhan. Karena dia bilang sambil lalu.
Dan entah sejak kapan, aku pun mulai berani menyapanya. Lebih tepatnya dia yang sering menyapa. Sekali dua kali berpapasan di koridor sekolah, di jalan mau masuk, pulang sekolah yang tak sengaja ku lihat dia berjalan sendirian. Hingga suatu hari, aku mencoba meminjam buku catatannya. Aku beralasan lupa mencatat atau lupa bukunya ketinggalan. Dia senang hati meminjamkan sambil menggodaku,” belum tua kok sudah lupa.”
Aku hanya tertawa. Dan ku bawa catatannya. Sebenarnya pula, aku tak lupa mencatat. Aku hanya ingin sering-sering mengobrol dengannya. Sepertinya, dia punya jadwal sendiri berbincang dengan semua teman di kelas. Hampir semua teman menyukainya. Dan tentu saja, Syahdu.
Aku tak tahu bila mereka berpacaran. Sebagai seseorang yang mengenal Sheril. Walau tak begitu dekat, aku selalu memperhatikan Sheril bahkan tak pernah terlihat bersama Syahdu. Yang aku perhatikan, mereka beraktifitas sendiri-sendiri. Tapi, teman sekelas berpendapat mereka berpacaran. Mereka sama-sama mengikuti ekstrakurikuler seni peran. Mereka juga suka pergi ke perpustakaan. Teman-teman sering melihat mereka di perpustakaan.
Aku belum pernah melihat mereka berinteraksi seperti teman-teman lain. Hingga hari itu, Syahdu memanggilnya saat dia hendak menemuiku. Aku ingin menanyakan sesuatu pada Sheril. Namun belum sempat dia sampai di tempat aku menunggu, Syahdu menghampirinya dengan tatapan tajam. Saat itu, pertama kali aku melihat senyum Sheril yang berbeda dari biasanya. Matanya berbinar dan tersipu. Kemudian dia melambaikan tangan,” aku ke ruang guru dulu ya.”
Aku mengangguk dan melihatnya berlalu. Syahdu sejenak memperhatikanku dan kemudian menyusul Sheril ke ruang guru. Aku terduduk lesu. Aku kemudian teringat beberapa kali Sheril mendapat hukuman karena tidak membawa catatan. Padahal waktu itu aku yakin, dia membawa. Sheril tak pernah lupa dengan jadwal pelajaran. Aku pun menyadari ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Sheril ke Syahdu.
Aku masih menganggap mereka tak berpacaran. Hingga teman-teman heboh mendengar, Sheril dan Syahdu akan memerankan pentas sebagai Pranacitra dan Rara Mendut. Mereka pun bercerita, Sheril pernah dibacakan puisi oleh Syahdu. Aku tak tahu, bila puisi yang dibacakan Syahdu kala itu untuk Sheril. Aku pikir Fio hanya membuat candaan saat itu. Dan aku juga berpikir bahwa saat itu hanya rumor. Aku tak pernah tahu, bila rumor itu, membuat benih-benih perasaan pada Sheril dan Syahdu.