Emergency Couple
Oleh : Elin Khanin
Sejak Faris berubah wujud dari lelaki bersarung menjadi lelaki berdasi, Najiya terus berpikir siapa sebenarnya Faris. Sepertinya Mr. Bunglon itu bukan orang sembarangan. Sejak awal bertemu, ia punya firasat sendiri mengenai lelaki pemilik panti tersebut. Ia punya aroma bangsawan. Wajahnya penuh misteri memendam sekam.
Wajah tirus dengan hidung mancung, bibir berbentuk lambang hati dan mata sejernih telaga komplit dengan irit bicara dan sikap dinginnya, Faris memang terkesan elusif tapi mampu memenjarakan perasaan perempuan mana saja. Auranya elit berwibawa dan beretika.
Najiya mencoba menerka-nerka dan mengaitkan hasil pengamatan dengan sikap Bik Misih. Perempuan itu selalu memanggilnya “Den” dan panggilan itu familiar untuk kalangan kasta tinggi seperti bangsawan, juragan besar atau seorang Tuan Muda bergelimang harta.
Mata Najiya kini menumbuk pada kedua sepatu hitam mengkilat Faris, terus menyusuri penampilan lelaki yang berjalan dengan tegap berwibawa di depannya dari bawah ke atas. Ia yakin semua atribut yang dikenakan Faris tidak kaleng-kaleng.
Sebagai mantan mahasiswi kedokteran dengan pergaulan luas dari berbagai kalangan orang-orang berkelas dan borjuis, ia tahu brand barang-barang terkenal dan bergengsi seperti Gucci, Christian Louboutin, Jimmy Chou, sampai yang teratas Balenciaga. Dan jas itu, ia tahu harga jas yang dikenakan Faris dan Vicky adalah harga langit.
“Dia memang bunglon. Mr. Bunglon,” gumam Najiya.
Suara lirihnya beradu dengan suara sepatu Faris dan Vicky yang berdekak-dekak menghantam lantai. Namun sayangnya masih tertangkap di telinga Faris. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke belakang. Membuat Najiya terkesiap dan dahinya hampir membentur dada Faris. Gadis itu mendongak lalu menemukan sepotong wajah yang menatapnya tajam.
“Kau bilang apa?” Tanya Faris dengan tatapan penuh selidik. Vicky memandang Najiya dan Faris bergantian. Dua pasang insan manusia itu saling beradu tatap. Najiya merasa kesulitan bernapas berada begitu dekat dengan Faris. Bau Parfum Jo Malone semakin tajam merajami hidungnya. Membuat bicaranya tak tertata dengan baik.
“Emmm… saya nggak apa-apa. Maksud saya, saya nggak bilang apa-apa,” jawab Najiya dengan ekspresi grogi.
“Tapi saya yakin kamu tadi mengatakan sesuatu.” Faris tetap menuntut.
“Em, kita mau kemana? Tolong antarkan saya pulang,” sahut Najiya cepat–mengalihkan pembicaraan.
“Apa kau sudah memutuskan hendak pulang kemana?”
“Ke.. Ke rumah saja.”
“Good. Saya akan mengantarmu sampai rumah.” Faris segera berbalik. Memasukkan kedua tangan pada saku celananya.
“Ah, bagaimana kalau antarkan saya saja ke tempat dimana mobil saya berada? Saya bisa pulang sendiri,” seru Najiya dengan mata berbinar. Kenapa tidak dari tadi ia meminta seperti itu. Mengapa ia tadi loading dan menurut saja saat diminta mengikuti Faris?
“Tidak! Aku takut nanti kamu akan bunuh diri lagi,” tampik Faris tanpa menatap Najiya.
“Bunuh diri?” Vicky terkejut. Lelaki berambut ikal itu menatap Najiya lagi dengan tatapan yang lebih intens.
Tiba-tiba saja sebuah suara milik seorang perempuan paruh baya hinggap lagi di benaknya. “Ini loh, Vick calonnya Faris. Dokter Najiya. Cantik ya? Dia anak sahabatku. Kami sudah lama ingin jadi besan.” Nyonya Kamelia dengan bangga memperlihatkan sebuah foto seorang dokter muda dengan outer sebuah jas putih kebanggaan dipadu inner blouse katun hijau tua menyunggingkan senyum manis di sana. Rambut gadis itu bergelung indah kecoklatan dengan stetoskop melingkar di dadanya. Tangan kiri tenggelam dalam saku kiri, sedang tangan kanan membawa sebuah buku kesehatan bersampul hitam.
Kedua mata Vicky melebar, ia berhasil menumpas rasa penasarannya. Dalam kacamata Vicky Najiya sama-sama cantik dengan atau tanpa hijab. Namun berpenampilan tertutup begini membuat gadis itu terlihat jauh memesona.
“Saya janji nggak akan melakukannya lagi, please? Please, biarkan saya pulang sendiri saja,” bujuk Najiya dengan suara memelas.
“Ah, sekarang saya ingat. Apa kamu Najiya dokter itu?” sela Vicky membuat Faris menatapnya tajam. Namun sayang, Vicky tak menyadari kode itu. Ia tetap mengoceh. Najiya sendiri heran kenapa lelaki yang baru saja melihatnya bisa tahu tentangnya.
Ah, mungkin lelaki ini sudah tahu tentangku berkat video jahanam yang sedang viral itu, terka Najiya pada dirinya sendiri.
“Jadi kalian sudah sepakat dan memutuskan untuk meni….”
“Vicky… kau mau aku bunuh?” sembur Faris tak sabar. Vicky segera menutup mulut. Wajahnya bingung. Kenapa Faris justru memarahinya. Bukankah Tuan Muda Faris dan Najiya sudah mendengar kabar perjodohan itu dan saling tahu lewat orang tua masing-masing? Rasa penasaran bercokol dalam benak Vicky setelah yakin perempuan yang berdiri didekatnya adalah calon istri atasan sekaligus sahabatnya Faris. Dokter Najiya.
Najiya lebih bingung lagi. Apakah dua lelaki ini sedang berdebat gara-gara aku? Tanyanya dalam hati.
“Loh … loh, Den. Mau kemana? Non?” Bik Misih muncul dan langsung berseru sambil lari tergopoh-gopoh menghampiri majikan serta dua orang yang berdiri di langkan aula. Mereka telah rapi dan bersiap pergi.
“Kami mau ke kantor lalu bersiap menghadiri acara di Bali, Bik,” jawab Vicky mewakili.
“Lha Non… em siapa namanya? Oh ya, anak-anak manggilnya Kak Najiya ya? Ya Allah sampai ndak sempet kenalan secara resmi sudah mau pergi,” sesal Bik Misih. Perempuan berpipi chubby itu meraih tangan Najiya.
“Kami akan mengantarnya pulang,” lanjut Vicky lagi.
“Besok-besok mampir lagi ya, Non? Oh ya baju pengantinnya belum kering,” tukas Bik Misih mengingat pakaian Najiya awal datang ke panti kemarin. Itu membuat alis Vicky naik sebelah. Dugaannya semakin kuat tentang Faris dan Najiya.
“Apa mereka sudah meni….” Vicky menyela. Menatap Bik Misih sungguh-sungguh. Ia yakin perempuan tambun pengasuh panti tahu sesuatu tentang mereka berdua. Tapi lagi-lagi kalimatnya dipotong oleh Faris. “Ya sudah kami pergi dulu, Bik. Jaga anak-anak.”
Faris segera melangkah cepat menuju halaman. Bik Misih hanya manggut-manggut seperti burung beo. Najiya dan Vicky menyusul setelah menganggukkan kepala pada Bik Misih.
“Maaf, Bik baju ini nanti saya kembalikan. Saya pamit dulu,” ujar Najiya sambil menunjuk pakaian yang melekat di tubuhnya.
“Ah, nggak usah, Non. Non pakai aja. Cocok dan cantik.”
Bik Misih tertawa lebar. Sekali lagi Najiya menganggukkan kepala dan berterima kasih.
Beberapa anak kecil berebut mencium tangan Najiya. Mereka sedih saat tahu Najiya harus pulang dan hanya sebentar saja singgah.
“InsyaAllah kapan-kapan kakak mampir lagi ya. Nanti tak bawakan coklat dan boneka yang banyak,” ucap Najiya sambil mengusap satu persatu anak-anak yang berdiri mengelilinginya. Mereka bertampik sorak dan tak sabar Najiya akan mampir lagi.
Sebuah mobil Lexus LX 570 terparkir gagah di halaman luas panti. Mata Najiya terbuka lebar dengan mulut sedikit menganga. Itu adalah mobil impiannya. Salah satu impian yang pupus sebab beberapa tahun ke depan ia harus melunasi hutang-hutang dulu. Bahkan mobil merah jazznya terancam musnah.
“Mr. Bunglon memang bukan orang sembarangan,” gumam Najiya sebelum melangkah menuju mobil mengikuti Faris dan Vicky.
Najiya merasa diperlakukan layaknya seorang putri begitu Vicky membukakan pintu mobil untuknya. Dia duduk di tengah, sedang Faris di depan menemani Vicky menyetir. Beberapa anak melambaikan tangan dan bersorak hingga mobil lenyap dibalik pintu gerbang.
“Mobilmu sudah diambil pegawaiku untuk diantar ke rumahmu.”
Suara Faris memecah kebekuan. Setelah beberapa detik yang lalu ia berbicara seseorang lewat telepon.
“Bisakah saya mengambil ponsel sebentar di mobil itu?” Tanya Najiya. Ia perlu mengecek beberapa hal. Namun sebuah nada dering dari ponsel Faris membuat gadis itu urung mendapat jawaban. Faris memang tampak sibuk sejak Vicky muncul. Lelaki itu juga sempat mengingatkan rangkaian acara dalam jadwal harian Vicky. Sepertinya Vicky adalah jam weker hidup bagi Faris.
“Iya, Mi?”
Sebuah suara panik menyerang telinga Faris. Najiya bisa melihat bagaimana Faris beberapa kali menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Ris, kakekmu drop lagi. Bisa pulang sekarang tidak? Mami khawatir.”
“Kenapa tidak langsung dibawa ke RS saja, Mi?”
“Beliau nggak mau. Kekeh dirawat di rumah saja. Mana Dokter Damar keluar kota. Kakek pengen ketemu sama kamu.”
“Baik, saya pulang sekarang. Mami tak usah khawatir.” Faris menutup teleponnya. Tanpa perintah Vicky memutar setir dengan ligat.
Lexus berwarna silver mengkilat segera berbalik arah menuju Royal Residence di mana kediaman Albana berada. Faris sempat menoleh ke arah Najiya sekilas. Ada debur ombak dalam dadanya.
“Loh, antarkan saya pulang dulu, Mister,” ucap Najiya panik saat mendengar kalimat terakhir Faris tentang pulang.
“Tak ada waktu. Kakek butuh pertolongan.”
Najiya menghela napas. Ia tak mampu lagi berkata-kata.
Jadi aku akan ke rumah Mr. Bunglon? Sebuah pertanyaan mengusik ketenangannya.