Kolom
MENGHIDUPKAN KEMBALI SPIRIT TRILOGI GERAKAN EMBRIO NU
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Dalam kaitan ini, NU memiliki dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab keagamaan, untuk melestarikan dan membumisasikan Islam paham Aswaja, dan tanggung jawab sosial, untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Dua tanggung jawab tersebut terejawantahkan dalam ranah pendidikan, ekonomi, kesehatan dan budaya, yang menjadi fokus gerakan dan garis perjuangan NU. Hal ini sebagaimana yang telah ditegaskan dan dikukuhkan pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 sebagai konsekwensi langkah kembali ke khittah 1926.[1]
Dua agenda NU tersebut saat ini menemui momentumnya. Di tengah-tengah gencarnya dan mengecambahnya gerakan transnasional[2]di berbagai belahan Indonesia, NU dapat berperan di tengah-tengah masyarakat dengan menghadirkan ajaran Aswaja yang mengajarkan kemoderatan, toleransi, dan anti kekerasan. Aswaja secara doktrinal menolak ekstrimisme dan radikalisme. Aswaja berada di tengah-tengah, tidak cenderung ke kanan dan juga tidak cenderung ke kiri. Antara teks dan rasionalitas dipadukan dalam satu sistem kerja istinbath hukum. Dalam hal ini, NU memiliki prinsip-prinsip moral sosial dan politik yang menjadi pandangan keagamaan dan kenegaraan NU, yaitu prinsip I’tidal (tegak lurus), Tawassuth (moderat),Tawazun (keseimbangan), Tasamuh (toleran),dan prinsip Maslahah Al-‘Ammah (kesejahteraan umum).[3]
Kehadiran NU juga memiliki peran signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di tengah-tengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang tidak menentu. Masalah kemiskinan hingga detik ini tak kunjung terselesaikan. Kenyataan demikian dapat disebabkan oleh pandangan hidup masyarakat yang fatalis dalam menyikapi urusan ekonomi, atau disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Dalam kenyataannya memang sistem ini menerapkan suatu mekanisme ekonomi yang menyebabkan meluwasnya kesenjangan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya. Kapitalisme tidak membawa perubahan yang menggembirakan bagi kehidupan masyarakat bawah, justru memperparah kemiskinan dan kesengsaraan mereka. Itu terjadi karena sistem kapitalisme berpihak pada pemodal dan para pengusaha. Akibatnya, masyarakat terbebani dengan berbagai masalah kehidupan, pendidikan, biaya hidup, kesehatan dan sebagainya.[4]
Namun peran NU dalam penguatan paham Aswaja akhir-akhir ini dirasa belum berjalan dan terorganisir secara profesional. Kenyataan di lapangan, tidak sedikit masyarakat dan kader NU yang terseret dalam paham aliran transnasional, misalnya paham Wahabi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Syi’ah, Jihadi dan sebagainya. Di antara penyebabnya adalah kontrol dan pengorganisasian NU yang belum berjalan dengan baik. NU selama ini cenderung membiarkan ajaran Aswaja berjalan secara jama’ah(kultural), sedangkan NU secara jam’iyah (organisasi) banyak disibukkan dengan persoalan politik praktis. Kelemahan NU inilah yang sering dimanfaatkan oleh aliran dan gerakan lain untuk menyusup ke dalam masyarakat Nahdliyindengan terorganisir secara profesional dan solid.
Selain itu, NU selama ini lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan keagamaan. Problem sosial-ekonomi masyarakat belum disentuh dalam porsi yang cukup. Program pemberdayaan ekonomi saat ini justru dimanfaatkan oleh ormas lain sebagai instrumen atau media da’wah dan untuk merayu masyarakat agar mengikuti ajarannya. Program pemberdayaan untuk mewujudkan kesejateraan masyarakat yang mereka lakukan meliputi sektor pendidikan, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas, sektor ekonomi, dengan mendirikan lembaga ekonomi seperti komparasi dengan manajemen dan pelayanan yang profesional, dan sektor kesehatan, dengan mendirikan rumah sakit. Benar, NU telah memiliki program pemberdayaan yang sama, seperti membangun lembaga pendidikan, koperasi dan rumah sakit, tapi secara kuantitas dengan jumlah masyarakat NU di Indonesia yang besar, kenyataan demikian belum dianggap cukup. Selain itu, permasalahan manajemen dan pelayanan lembaga-lembaga NU yang belum berjalan secara profesional, sehingga sering memunculkan berbagai permasalahan internal.
Merujuk penjelasan di atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa NU saat ini dihadapkan pada dua permasalahan krusial yang butuh untuk segera direspons dan digarap dengan merealisasikan program dan gerakan yang konkrit dan efektif. Pertama, menguatnya berbagai aliran transnasional yang menggempur benteng Islam Aswaja dan mengancam bubarnya NKRI. Kedua, semakin parahnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat nahdliyin dikarenakan pandangan hidup sebagian masyarakat yang fatalis dan sebab dampak sistem ekonomi kapitalis yang berujung pada pasar bebas.
Untuk sedikit menjawab permasalahan di atas dan merealisasikan pengembangan cakupan bidang da’wah dan pemberdayaan NU, baik di bidang ideologi keagamaan maupun bidang sosial-ekonomi, sebenarnya NU memiliki basis sejarah yang kuat, yang dapat dijadikan bahan pelajaran dan renungan dalam melakukan maksud tersebut. Basis sejarah munculnya NU tidak lepas dari tiga lembaga yang didirikan sebelum lahirnya NU dalam bentuk Jami’yah, yaitu Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan. Ketiga lembaga tersebut seharusnya menjadi landasan berpijak dan etos kerja NU saat ini dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai jam’iyah dan jama’ah Ahlus Sunnah wa Al-jama’ah.
Tashwirul Afkar: Spirit Gerakan Memperkuat Ideologi Aswaja
Di tengah-tengah muncul beragamnya aliran Islam radikal dan Islam liberal, dan melemahnya semangat keagamaan masyarakat dalam memperkuat paham Aswaja, mari sejenak kita hadirkan kembali dalam ingatan kita tentang spirit dan etos perjuangan organisasi Tashwirul Afkar (TA) dalam membentengi paham Aswaja dari berbagai gempuran pemikiran pada saat itu. Organisasi ini berdiri pada tahun 1918 yang diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah bersama KH. Achmad Dahlan pengasuh pondok pesantren Kebondalem Surabaya.[5] Pada awal mula berdirinya TA berupa forum diskusi yang beranggotakan para kiayi dan ustadz yang mempertahankan sistem bermadzhab, membahas berbagai masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Lambat laun TA berubah menjadi madrasah atau lembaga pendidikan yang memiliki reputasi intelektual tinggi. Melalui TA, KH. Wahab Hasbullah juga membuka program kursus “Masail Diniyah” yang ditujukan khusus untuk para kiayi dan ustadz muda dengan tujuan menggembleng kader muda agar mampu membentengi diri dari serangan kaum modernis yang anti bermadzhab dan anti tradisi.[6]
TAsecara etimologi berarti potret pemikiran atau representasi gagasan-gagasan. Organisasi ini bergerak di bidang pengembangan pemikiran keagamaan dan sosial kemasyarakatan para kiayi dan ustadz pembela sistem bermadzhab.[7]Terbentuknya TA ditujukan untuk menandingi gerakan reformis, Muhammadiyah (MD) dan Sarekat Islam (SI) yang berdiri pada tahun 1912. Pada awal tahun 1920, Muhammadiyah aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia. MD gerakannya lebih menekankan pada sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa, rumah sakit, panti asuhan. Selain itu, MD juga merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan akidah. Ia kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal dan menentang otoritas ulama tradisional. Sedangkan SI didirikan untuk membela kepentingan kelas pedagang muslim dalam persaingan dengan kalangan pedagang Cina. Pada awal berdirinya organisasi ini menjadi gerakan nasionalis, sehingga mendapat dukungan luas masyarakat pedesaan dan juga kelas pekerja. Namun pada awal tahun 1920, organisasi ini secara radikal berubah dan bergabung dengan partai komunis, sehingga pada perkembangan selanjutnya organisasi ini kehilangan daya hidup dan dukungan masyarakat.[8]
Dilihat dari catatan sejarah, lahirnya dua organisasi ini kiranya yang menjadi faktor utama lahirnya TA, sebagai gerakan tandingan terhadap gagasan-gagasan dan praktik-praktik sosial keagamaan yang lebih dahulu digalakkan oleh kaum reformis. Lahirnya TA merupakan gerakan para kiayi pada waktu itu melalui organisasi untuk melawan serangan kalangan reformis yang begitu besar. Para kiayi sadar betul, hanya dengan gerakan kultural tanpa diimbangi gerakan melalui organisasi, kekuatan Islam Aswaja pada saat itu akan mengalami keterpudaran, dan masyarakat akan terbawa arus pemikiran kaum reformis. Etos perjuangan, militansi, sikap responsif dan kepedulian pada urusan agama dan sosial umat inilah yang seharusnya menjadi uswah bagi NU dan pengurusnya saat ini dalam mengawal, memperkuat dan memperkokoh benteng Islam Aswaja.
Nahdlatul Wathan: Spirit Gerakan Membela NKRI
Selang empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1916, KH. Abdul Wahab Hasbullah juga memprakarsai lahirnya organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) (NW) sebagai respons terhadap semakin kejamnya kebijakan penjajah Belanda kepada masyarakat. Berdirinya organisasi ini menjadi modal pertama dalam mengorganisasi kelompok Ahlussunah Waljama’ah dalam agenda politik kebangsaan, dan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme melalui pendidikan.[9]Menurut Martin van Bruinessen NW bukan madrasah, melainkan lembaga pendidikan sekolah yang nasionalis moderat.[10]Berbeda dengan pendapat H. Umar Burhan, ia berpendapat NW adalah madrasah yang menempati gedung besar di Surabaya.[11]
Pada tahun-tahun awal, madrasah NW diasuh oleh para ulama terkenal, di antaranya Kiayi H. Mas Mansur, Kiayi Ridwan Abdullah, dan Kiayi H. Abdul Kahar seorang saudagar terkenal di Surabaya yang menjabat sebagai pemimpin sekolah. Namun, lambat laun gedung tersebut menjadi markas tempat penggemblengan para remaja dan pemuda untuk kegiatan da’wah.[12]
Kemudian pada tahun KH. Abdul Wahab Hasbullah 1926 juga memprakarsai terbentuknya Syubbanul Wathan, pemuda patriot, yang beranggotakan 65 guru madrasah NW, untuk membahas masalah keagamaan, program da’wah, peningkatan pengetahuan bagi anggotanya,dan sebagainya[13].
Secara khusus anggota Syubbanul Wathan terdiri dari perkumpulan pemuda pesantren. Pada saat yang sama pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Cilebes, Pemuda Betawi, dan organisasi kepemudaan lainnya. Namun, pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di Surabaya mendirikan organisasi pemuda yang berbeda dengan yang lainnya, Mereka menyebut dirinya Syubbanul Wathan yang berarti Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) menyatu dengan pasukan non reguler Hizbullah yang dikomandoi oleh para kiayi, serta berada di garda depan untuk merebut kembali kemerdekaan Indonesia.[14]
Dari apa yang telah disampaikan, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, NW merupakan organisasi atau madrasah yang sengaja didirikan untuk media pendidikan dan kaderisasi dalam menyebarluaskan cakupan lahan da’wah dan dalam menandingi gerakan kaum reformis. Kedua, NW sebagai gerakan Cinta Tanah Air (Hubbul Wathan), suatu upaya menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran nasionalisme kepada para kiayi, ustadz dan masyarakat untuk melawan kolonialisme Belanda. Ketiga, peran pemuda adalah kekuatan penting dalam membantu perjuangan melawan penjajah dan meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, para kiayi pada saat itu menyadari betul peran dan keberadaan kaum muda sebagai kekuatan dan sebagai generasi penerus yang harus dididik, dipersiapkan dan diberi ruang untuk serta aktif dalam kegiatan keagamaan dan agenda kemerdekaan.
Nahdlatut Tujjar: Spirit Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Setelah terbentuknya dua organisaasi, Tashwirul Afkar (1912) dan Nahdlatul Wathan (1916), KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan kiayi-kiayi lainnya memprakarsai berdirinya Nahdlatut Tujjar (NT) pada tahun 1918 dalam bentuk koperasi pedagang. Organisasi ini mencerminkan kesadaran akan kepentingan ekonomi warga.[15]Nahdlatut Tujjar berarti kebangkitan para pedagang yang bergerak di bidang usaha perdagangan dalam bentuk kegiatan koperasi atau syirkah dengan istilah syirkah al-inan.[16]
Menurut Greg Fealy, terbentuknya organisasi ini didorong oleh terjadinya ekspansi yang cepat oleh organisasi-organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pesantren dan ekonomi keluarga kiayi yang mengendalikannya. Kaum modernis berhasil merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya telah menjadi pendukung material dan keuangan kiayi. Dalam kaitan ini, serangan kaum modernis tidak saja menyangkut isu agama, seperti tuduhan praktik TBC (Takhayul–Bid’ah-Churafat) dalam laku keagamaan muslim tradisional, tapi juga menyangkut gugatan atas otoritas dan kompetensi kiayi, dan yang paling penting adalah serangan kaum modernis terhadap kepentingan ekonomi para kiayi.[17]
Pendirian NT sebenarnya lebih banyak ditujukan untuk membangkitkan kepedulian Boemi Poetra terhadap merosotnya bangsa yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah penuntut ilmu, pudarnya bermacam-macam ikatan dan sebagian mereka telah membebaskan diri menjadi orang bebas sehingga tidak dapat melaksanakan shalat berjama’ah. Di lain pihak, sekolah-sekolah Belanda ramai peminat, sedangkan mereka sama sekali tidak menghargai umat beragama dan di tangan mereka ada kemegahan, kecendikiawanan dan kekuasaan di segala penjuru, di darat, laut dan setiap pelosok.
Kekuranngpedulian masyarakat terhadap permasalahan di atas dapat dilihat dengan empat hal. Pertama, masyarakat muslim cenderung melakukan tajarrud (sikap mengisolir diri), dan membebaskan diri dari upaya mencari nafkah. Sebagian besar mereka meminta-minta bantuan orang kaya yang bodoh atau penguasa yang durhaka. Kedua,masyarakat muslim aghniya’ cenderung tidak peduli terhadap tetangganya yang belum mengetahui rukun shalat, bahkan belum bisa melafalkan syahadat. Mereka tidak mendapati seseorang yang mengajarkan agamanya, dan tidak mendapati sesorang yang membimbing dalam urusan mencari rezeki. Ketiga, masyarakat muslim cenderung puas dengan ilmu yang telah dimilikinya, tidak ada keinginan untuk belajar lagi, karena tidak adanya media musyawarah (komunikasi) atau suatu organisasi yang khusus untuk para ulama membahas tentang hal-hal yang dapat menunjang kokohnya ajaran agama Islam dan terurainya benang kusut problem ekonomi kemasyarakatan. Keempat, para kiayi tidak berdaya dalam melakukan da’wah karena tidak ada kekuatan ekonomi yang mendukungnya. Oleh karena itu, Nahdlatut Tujjar mendeklarasikan diri agar para ulama segera berdagang sambil berda’wah [18]
Paparan di atas menunjukkan bahwa pendirian NT sebenarnya dilatarbelakangi empat kondisi penting. Pertama, dominasi ekonomi kaum modernis yang merenggut basis ekonomi masyarakat nahdliyin dan pesantren. Kedua, sekolah-sekolah yang didominasi Belanda dan untuk melawan politik ekonomi kolonialisme Belanda. Ketiga, masalah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap ekonominya sendiri (pandangan hidup yang tajarrud) sehingga timbulnya mental ketergantungan kepada orang lain, dan rendahnya penuntut ilmu, ditandai dengan banyaknya di antara mereka yang mengabaikan pendidikan. Keempat, para ulama tidak berdaya dalam melakukan da’wah karena tidak ada kekuatan ekonomi yang menopangnya. Dampaknya, banyak masyarakat yang tidak mematuhi nasihat-nasihat ulama.[19]Dari sini tampak sekali, bahwa permasalahan ekonomi merupan hal penting yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Dan pada saat itu para kiayi menjawab kondisi ini dengan mengorganisir ekonomi masyarakat melalui Nahdlatut Tujjar.
Merealisasikan Trilogi Spirit Gerakan Embrio NU
Catatan sejarah di atas cukup jelas menggambarkan kepada kita, begitu kuatnya etos dan spirit perjuangan para pendahulu dalam membela dan mempertahankan Islam Aswaja, menumbuhkan kesadaran ekonomi masyarakat dari pandangan hidup yang tajarrudmenuju kesadaran kemandirian ekonomi, dan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari kolonialisme Belanda yang dzolim. Para pendahulu mendirikan NU di atas kekuatan yang telah terbentuk sebelumnya, melalui berbagai gerakan masyarakat. Hal ini senada dengan pandapat MM Billah, bahwa unsur-unsur pra organisasi NU yang merupakan cikal bakal dan yang dalam proses kemudian bermuara menjadi organisasi NU pada tahun 1926 adalah Nahdlatul Wathan (yang mewakili sisi kesadaran berbangsa atau kesadaran berpolitik), Nahdlatut Tujjar (yang dianggap sebagai awal perwujudan kesadaran akan kepentingan ekonomi) dan Tashwirul Afkar (yang mencerminkan kesadaran budaya/pikir).[20]
Setiap zaman, dalam pemperjuangkan ajaran Islam dan mempertahankan eksistensi atau kemajuan suatu bangsa tantangan dan rintangan merupakan suatu keniscayaan. Tantangan dan rintangan pada zaman awal berdirinya NU adalah kolonialisme,di samping mengancam kemerdekaan juga mengancam kebebasan dalam menda’wahkan ajaran Islam. Rintangan kolonialisme dapat dilalui oleh pendahulu kita dengan semangat juang keagamaan dan kemerdekaan melalui berbagai gerakan dan upaya, sehingga kemerdekaan dapat diraih dan Islam dapat eksis di bumi Nusantara. Semangat dan etos perjuangan itu tersirat dalam tiga gerakan Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar.
Tantangan NU saat ini berbeda dengan ketika zaman penjajahan, namun secara esensi sebenarnya sama. Jika dulu musuh NU adalah kolonialisme dalam bentuk perang fisik, maka sekarang kolonianisme dalam bentuk perang ideologi, pemikiran, ekonomi dan budaya. Dewasa ini NU dan bangsa Indonesia dihadapkan dengan kolonialisme ideologi, ilmu pengetahuan yang positivistik, ekonomi kapitalisme dan budaya Barat yang tak humanis.
Dalam menghadapi badai budaya globalisasi dan ilmu pengetahuan yang berwatak positivistik, NU harus benar-benar mengaplikasikan adagium al-Muhafadzah ‘ala al-Qodim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah, dalam rumusan konsep, strategi dan kegiatan yang jelas, bukan hanya sekadar dilafadhkan. Sedangkan dalam melawan semakin merebaknya gerakan dan aliran transnasional yang menginginkan berdirinya negara Islam, NU harus segera membuat gerakan semacam Nahdlantul Wathan dan Taswirul Afkar untuk melakukan perlawanan melalui ghazwul fikr dan menyuarakan Islam rahmatanli al-‘Alamin yang berdasarkan pada mabadi’ al-khamsah, yaitu I’tidal, Tawassuth, Tawazun,Tasamuh, dan prinsip Maslahah Al-‘Ammah. Mungkin dari segi nama dan bentuk tidak harus sama, tapi secara substansi dan semangat tentu harus sama. Saya kira NU sudah memiliki wadah itu, tinggal menghidupkan, mengefektifkan dan mengelolanya kembali secara profesional, misalnya NU memiliki LDNU, LAKPESDAM, LP Ma’arif, RMI, LESBUMI, ISNU, LTM, LTNU, ANSHOR dan lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut perlu mendapat suntikan, pembenahan dan reorioentasi, mulai dari kaderisasi, program, strategi dakwah atau ghozwul fikr sampai dengan pendanaaan secara mandiri, untuk dapat memaksimalkan peran dan tugasnya.
Di samping ada tantangan, dalam perjalanan da’wah dan berbangsa NU harus punya kepekaan dan sikap responsif terhadapa segala perkembangan dan perubahan sosial masyarakat. [21]Kiayi Sahal Mahfud mengutip pendapat imam Ghazali bahwa seorang ulama selain harus menguasasi seperangkat sarana keilmuan dan berkepribadian unggul, haruslah menjadi seorang yang peka dan memahami benar kemaslahatan makhluk dalam kehidupan dunia (faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya). Karena dengan syarat itulah seorang ulama mampu mengambil kebijakan dan bersikap terbuka dalam lingkup kemaslahatan.[22]Menarik untuk diperhatikan bagaimana KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama kiayi-kiayi lainnya cerdas membaca perkembangan dan perubahan sosial kaitannya dengan kolonialisme dan gerakan Islam reformis pada waktu itu, sehingga beliau dan koleganya berhasil mendirikan tiga organisasi tersebut sebagai langkah antisipasi, perlawanan dan tandingan. Beliau tidak hanya pasrah dan duduk manis di singgasana kerajaannya. Beliau selalu resah dan mengamati peristiwa dan perkembangan yang ada. NU saat ini juga seyogyanya melakukan seperti yang dicontohkan kiayi Wahab dan kiayi-kiayi pada masa itu. Harus selalu bersedia mengamati, dan membuat gerakan atau langkah-langkah antisipatif, perlawanan dan tandingan, sehingga masyarakat Aswaja dapat diselamatkan dari godaan dan ajakan aliran yang bertentangan dengan Aswaja. Tentu dengan menghidupkan semua wadah dan lembaga yang sudah tersusun dengan rapi dan komplit. Kader NU harus melaksanakan betul khittah 1926 untuk tidak sibuk dalam masalah partai praktis yang menyita banyak tenaga, pikiran dan biaya, bahkan tak jarang terjadi perpecahan antar pengurus atau kader.
Wadah atau media saja tak cukup, perlu adanya gerakan kaderisasi yang efektif dan berkualitas dengan disertai aturan yang jelas dan sistem rekrutmen pengurus yang selektif berdasarkan kompetensi dan integritas yang tinggi. Pengurus dan kader NU harus memiliki etos perjuangan, pengabdian dan pengorbanan yang tinggi. Kader NU harus memiliki SDM, spirit dan etos pengabdian terhadap agama yang tinggi, karena NU adalah wasilah untuk memperjuangkan agama yang hanafiyah samhah maka secara otomatis pengabdian kepada NU juga berarti pengabdian terhadap agama, dengan harapan NU ke depan dapat memaksimalkan tugas dan perannya sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan sebagai partai praktis. Penulis merasa cukup gembira karena saat ini sudah dimulainya gerakan kaderisasi melalui PKPNU baik yang diselenggarakan oleh PBNU, PW, maupun PC di beberapa daerah. Ini merupakan kabar gembira dan indikasi kebangkitan NU, akhirnya NU mau berbenah untuk mengevaluasi berbagai permasalahan internal maupun ancaman eksternal. Gerakan PKPNU ini perlu diintensifkan secara massif di berbagai daerah se Indonesia agar perubahan dan kebangkitan NU segera terwujud kembali, akhirnya NU mampu berkibar di negeri sendiri dan di dunia internasional.
Semua itu tak akan berhasil tanpa adanya dana, maka di sinilah perlunya pemberdayaan ekonomi, baik pengurus maupun masyarakat nahdliyinsecara umum. Finansial saat ini adalah masalah krusial NU, bahkan sejak berdirinya NU. Selama ini NU dalam kegiatannya banyak dibantu oleh partai politik, bantuan pemerintah, CSR perusahaan atau lembaga ekonomi dan bantuan pribadi baik yang mengikat atau tidak. Hal ini perlu kita akui dan sadari. Artinya, NU dalam menjalankan program dan kegiatannya masih mengandalkan dan tergantung pada orang atau lembaga lain. NU secara jam’iyah belum mampu secara mandiri dan terhormat dapat membiayai segala kebutuhan operasionalnya mulai dari tingkat ranting sampai pusat. Tentu hal ini menjadi kendala yang berkepanjangan selama ini yang menghambat gerak laju program NU, baik yang berkaitan program keagamaan, mapun program sosial pemberdayaan masyarakat. Memang saat ini NU telah memiliki beberapa lembaga yang mengurusi masalah ekonomi, seperti LAZIZNU, LPNU, LP2NU, LWPNU, LKNU dan sebagainya, namun juga belum berjalan secara maksimal, disebabkan berbagai masalah SDM dan integritas pengelola ataupun masalah manajemennya. Menurut hemat penulis apa yang dilakukan oleh kiayi Wahab dan koleganya melalui organisasi Nahdlatut Tujjar perlu menjadi pelajaran, bukan hanya wadahnya tetapi yang terpenting adalah kepekaan, sikap responsif, kepedulian dan perjuangan beliau dalam melawan dan mengurai problem ekonomi pada waktu itu. Satu sisi beliau melawan dan membendung gerakan kolonialisme, dan di sisi lain beliau membuat tandingan gerakan Islam reformis.
Terakhir, yang perlu kita jadikan pelajaran melalui organisasi Nahdlatul Wathan adalah kecintaan diri pada tanah air NKRI dan rasa memiliki bangsa ini (hubbub al-Wathan min al-Iman), di mana akhir-akhir ini muncul kelompok-kelompok radikalisme yang menginginkan berdirinya Negara Islam. Hal tersebut dapat kita tunjukkan dengan penerimaan kita terhadap asas negara, yaitu pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara. Negara Islam dalam konteks heterogenitas Indonesia tidak wajib diwujudkan, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Karena apabila diwujudkan akan memperoleh tentangan dan melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga Negara untuk mengatur kehidupan mereka. [23]
Dalam konteks ini, NU tercatat dalam sejarah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang pertama kali menerima Pancasila dan merumuskan secara komprehensif dalil-dalil keagamaan yang menopang pandangan itu. NU menegaskan bahwa bagi umat Islam, Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah final, dan oleh sebab itu tidak boleh dipersoalkan.[24]Dan gerakan cinta tanah air sudah seharusnya digalakan oleh NU saat ini, melalui kegiatan lembaga-lembaga dan Banom dalam bentuk kajian, diskusi, bedah buku, penguatan ghazwul fikr melalui media ataupun partisipasi personal kader NU dalam pemerintahan untuk ikut merumuskan dan mengawal kebijakan yang menjaga dan mendukung eksistensi NKRI di bumi Nusantara.
Walhasil,pengurus dan kader NU Pati saat ini perlu menghadirkan kembali spirit dan etos perjuangan Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar dalam menggerakkan dan memajukan NU. Permasalahan NU saat ini bukan terletak pada konsep organisasi dan kelengkapannya, namun problem NU saat ini yang krusial adalah melemahnya (untuk tidak mengatakan hilang) spirit perjuangan dan ketulusan pengabdian untuk membesarkan NU sebagaimana tergambar pada sosok para pendahulu kita. Semoga ruh perjuang itu dapat merasuk di dalam jiwa para kader NU Pati saat ini. Wallahu a’lam bi al-Showaab.( R. Andi Irawan
Ketua Lakpesdam PCNU Pati )
Iklan
[1]Mahrus El-Mawa dkk, Memberdayakan Warga NU: 20 Perjalanan Lakpesdam, cetakan ke 1, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2005), hal.7.
[2]Berdasarkan hasil penelitian yang di-release dan diedarkan oleh Badan Intelejen Nasional (BIN), ideologi Islam berhaluan neo-fundamentalis kini populer disebut dengan ideologi Islam transnasional tersebut dapat dicirikan sebagai berikut: 1. Bersifat antar-negara (Transnasional). 2. Konsep gerakan tidak lagi bertumpu pada nation-state, melainkan konsep ummah. 3. Didominasi oleh corak pemikiran skripturalis, fundamentalisme atau radikal. 4. Secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern. Beberapa ideologi dan organisasi Islam yang masuk dalam kelompok ini adalah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jihadi, Salafi Dakwah dan Salafi Sururi, Jama’ah Tabligh serta Syi’ah. Ach. Syaikhu, Pergulatan Organisasi Islam Dalam Membendung Gerakan Ideologi Islam Transnasional, hal. 119.
[3]M. Nur Hasan, Ijtihad Politik NU, Cetakan ke 1, (Yogyakarta: Penerbit Manhaj, 2010), hal 7.
[4]Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam Al-Muftaraa ‘alaihi baina Syuyu’iyin wa Ra’sumaliyin, Cetakan I, (Kairo:Nahdlah Misr, 2003), hal. 146.
[6] Sumanto Al Qurtuby, Nahdlatul Ulama: Dari Polotik Kekuasaan sampai Pemikiran Keagamaan, cetakan pertama, (Semarang: eLsa Press, 2014), hal. 14.
[7] Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hal. 29.
[8]Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, cetakan keempat, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 13.
[11]Andree Feillard, NU vis-a-vis NEGARA: Pancasila, Bentuk dan Makna, cetakan ke tiga, (Yogyakarta, LkiS, 2009), hal. 8.
[14]Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, ……………hal.7. Untuk mendapatkan penjelasan tentang gerakan laskar hizbullah baca buku Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad, Cetakan ke I, (Jakarta: Pustaka Compass, 2014).
[16]Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, ……………hal. 30. Syirkah ‘inaan adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungannya dibagi di antara mereka, salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak dari pada rekannya.
[17]Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, Cetakan Ke 1, (Yogyakarta: Lkis, 2004), Hal. 10-11.
[18] Ingin tahu lebih jelas tetang Nahdlatut Tujjar baca buku Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, ………….. hal. 17-18.
[19]Tashwirul Afkar, Edisi No. 28 tahun 2009, (Jakarta: LAKPSEDAM NU), hal 8.
[21]Menurut Yudistira K. Garna, perubahan sosial adalah perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau berkaitan dengan lingkungan kehidupannya berupa fisik, alam, dan sosial. Sedangkan menurut Robert H. Lauer, perubahan sosial adalah menyangkut perubahan pada level individu, interaksi sosial, institusi, komunitas, masyarakat, kebudayaan, peradaban dan global. Baca karya Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, Cetakan I, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 103.
[22]MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial, Cetakan II, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 184.
[23]Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Cetakan ke II, (Jakarta: The WAHID Institute, 2006), hal. 104.
[24]Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan: Pergumulan dan Paham Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hal. 86.