Memilih Diam
Oleh: Inayatun Najikah
Beberapa waktu yang lalu kawan baik saya tengah berkeluh kesah pada saya. Ia membagikan kisah perjalanan cintanya yang begitu rumit. Saat ia bercerita sesekali ia meneteskan air mata. Barangkali terlalu berat kisah yang dihadapinya ini. Saya hanya mendengarkannya dengan seksama, tanpa ingin mengintervensi atau semacamnya. Barangkali dengan begitu ia akan sedikit lega karena telah mencurahkan isi hatinya kepada saya.
Ia menjalin asmara dengan laki-laki yang begitu mencintainya. Begitu juga dengan dirinya. Sekilas memang tak ada masalah dalam hal ini. Dua sejoli yang saling mencintai dan berbagi kebahagiaan. Cinta mereka saling berbalas. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika si laki-laki tak kunjung menyatakan niatnya untuk maju ke jenjang serius ataukah berhenti cukup sampai disini.
Seperti yang kita ketahui bahwa menjadi perempuan itu tak mudah. Saat usianya sudah menginjak kepala dua betapa kalang kabutnya orang tua ingin segera menikahkannya. Entah dengan dalih ingin segera melepas tanggungjawab anaknya untuk diserahkan kepada sang suami atau dengan alasan ikut-ikutan seperti yang lainnya atau karena alasan apa, saya hanya bisa menerka.
Seperti yang dialami kawan saya. Ia merasa dilema. Dengan usianya yang telah menginjak kepala dua, ia selalu didorong untuk segera menikah. Meski ia sebenarnya mudah untuk mengambil keputusan itu karena statusnya yang telah memiliki pasangan. Namun pada realitanya tak demikian. Kekasih hatinya masih saja stag alias mandek. Tak ada perubahan dan perkembangan. Namun anehnya mereka merasa bahagia atas cinta tersebut.
Dari cerita yang disampaikan kawan saya, sebenarnya saya bisa saja memberikan komentar dan tanggapan mengenai masalahnya tersebut. Saya bisa saja berkata,
“Ngapain capek-capek menunggu yang tak pasti. Mending cari yang lain yang memberikan kepastian.”
Namun saya memilih untuk diam dan menjadi pendengar setianya saja. Bagi saya jika ia tak menginginkan saran atau tanggapan, sebaiknya hal itu tak usah saya lakukan. Karena menurut saya tak elok jika ikut mencampuri privasinya.
Saya percaya kisah ini bisa terjadi pada siapapun. Dan yang saya garis bawahi adalah siapapun bisa menjadi saya sebagai tempat yang dipercaya seseorang untuk berbagi keluh kesah. Saya cuma bisa berpesan, apa yang kita anggap baik belum tentu akan baik bagi orang lain. Begitu juga apa yang kita anggap buruk bisa jadi malah menjadi hal baik untuk orang lain.