Jangan Bandingkan Anak
Oleh : Inayatun Najikah
Apakah kalian pernah merasa dibandingkan dengan saudara sendiri atau anak tetangga? Bagaimana rasanya? Tak perlu dijawab. Cukup kalian simpan rasa itu. Sebab saya juga merasakannya kok. Dibanding-bandingkan dengan pencapaian saudara dan anak tetangga yang bisa itu dan ini, sedangkan kita masih begini-begini saja.
Orang tua bahkan paman dan bibi kita, melakukan hal itu semata untuk memotivasi kita agar mau bergerak dan lebih progresif. Tentu hal ini tak salah. Niatnya sudah bagus, hanya saja pengimplementasinya yang terkadang perlu dibenahi. Coba ingat kembali, bagaimana cara orang tua kita menyampaikan maksudnya tersebut. Apakah dengan kemarahan atau dengan tutur kata yang lembut?
Disini saya ingin menggarisbawahi terlebih dahulu, bahwa kita pasti sepakat bahwa anak berhak atas pilihannya sendiri. Tanpa adanya intervensi dan campur tangan orang lain termasuk orang tuanya. Bukan berarti lantas orang tuanya membiarkan begitu saja? Bukan. Posisi orang tua yang tepat adalah senantiasa disamping dan dibelakang anak-anak, agar tetap bisa mendukung dan memberikan arahan yang baik untuknya.
Saya teringat semasa kecil saat sudah masuk kelas 3 MI, ibu selalu membandingkan dan membicarakan pencapaian anak tetangga kami dengan penuh semangat. Bukan hanya itu, terkadang ia juga sedikit memaksa agar saya mau mengikuti jejaknya. Hati saya pernah memberontak dan bertanya. Mengapa ibu bisa begitu, apakah semua orang tua juga akan melakukan hal yang sama jika anaknya tak segera menurut perintahnya?
Ibu termasuk tipikal orang tua yang ingin anaknya sempurna. Baik dalam bidang pendidikan ataupun yang lainnya. Sejak kecil saya dituntut ibu untuk bisa mendapat peringkat teratas dikelas, agar bisa meniru anak tetangga kami yang selalu juara. Siang dan malam saya tak pernah berhenti belajar agar mampu mendapat ranking teratas. Untung saja zaman dulu gadget belum masif seperti sekarang. Jadi saya lebih bisa fokus.
Hasil tak mengkhianati usaha. Dari kelas 1 sampai kelas 4 MI saya selalu mandapat ranking pertama. Suatu ketika saat saya masuk di kelas lima, ranking saya turun. Betapa marahnya ibu mengetahui hal itu. Saat itu saya merasa sangat bersalah. Lantas, untuk mempertanggungjawabkan apa yang terjadi, saya kembali giat belajar. Untungnya dewi fortuna masih menghampiri, dan saya kembali meraih ranking pertama hingga jenjang MI saya lewati.
Itu adalah salah satu pengalaman yang pernah saya alami. Waktu itu, saya sebagai anak hanya bisa menurut apa yang dikatakan oleh orang tua saya. Berbeda dengan sekarang, jika itu tak sesuai dengan kehendak dan keinginan saya, maka saya akan berbicara dan mendiskusikannya terlebih dahulu. Dan seiring berjalannya waktu itu pula, kini kedua orang tua saya tak pernah lagi memaksa dan menuntut saya ataupun saudara saya.