Kolom
Hukum Menerima Amplop Pilkada
Amplop menjelang Pilkada adalah umumul balwa (realitas umum yang sulit dihindari) yang dilarang negara karena mencederai esensi demokrasi, mengharapkan pemimpin dipilih karena integritas dan kapabilitasnya.
Namun, bagaimana Pandangan agama, khususnya fiqh ?
Saya mengikuti dua forum yang hasilnya berbeda. Pertama, MWCNU Trangkil mengharamkan menerima amplop itu karena jelas-jelas suap (risywah) diharamkan dalam agama.
Suap adalah memberikan sesuatu kpd hakim (pemutus perkara) supaya menetapkan kebatilan dan menggugurkan kebenaran.
Dalam konteks ini, jika suap bertujuan menetapkan hak kebenaran dirampas seseorang hukumnya boleh, meskipun yang menerima dilarang.
Sesuai kaidah agama:
ما ادي اليالحرام حرام
Segala sesuatu yg menjurus kepada keharaman, maka sesuatu itu menjadi haram.
Menghramkan menerima amplop adalah bagian menutp pintu keharaman (سدا للباب).
Kedua, MWCNU Margoyoso, membolehkan menerima amplop tersebut sebagai hadiah. Masyarakat tidak meminta amplop tersebut, karena amplop tersebut datang dari tim sukses. Masyarakat yang menerima juga tidak ada keharusan mencoblos orang yang memberikan amplop tersebut.
Masalah ini termasuk khilafiyah dalam agama, sehingga produk hukumnya berbeda. Ada yang bercorak idealis dan ada yang bercorak realistik. Meskipun demikian, penulis lebih cenderung keputusan MWCNU Trangkil yang mengharamkan menerima amplop Pilkada.
Dalam konteks ini, ingat statement Imam Syafi’i:
راءينا صواب يحتملالخطاء وراءيغيرنا خطاءيحتمل الصواب
Pendapat kami benar, tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar. (Dr. Jamal Makmur, Wakil Ketua PCNU Pati)
Iklan