Kolom
QUO VADIS PENDIDIKAN NAHDLATUL ‘ULAMA; Membaca Problematika Pesantren dan Madrasah

Dalam perjalanannya, NU telah banyak memberikan warna terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Keberadaan pesantren misalnya, yang menjadi basis pendidikan dan kultural NU,[2]merupakan cikal bakal sistem pendidikan di Indonesia dengan corak dan karakter yang khas dan dianggap telah menjadi ikon masyarakat pribumi dalam memancangkan ideologi pendidikan di Indonesia.[3]Hal ini bisa kita lihat dari sejarah lahirnya pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan madrasah sebagai pola pengembangan pendidikan Islam.
KeterdekatanNahdlatul ‘Ulama dengan pesantren bisa kita lihat dari warna khas dan pola pendidikan yang kental dengan nilai nilai-nilai cultural teologis dan praktik keagamaan (amaliyah ubudiyah). Meskipun dalam perkembangannya pesantren sendiri banyak mengalami pasang surut akibat adanya kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa.[4]
Realitas historis tersebut di atas sampai saat ini masih sebatas mitos dan belum mampu menjadi sebuah gerakan nyatabaik secara kultural (jama’ah) maupun secara struktural (jam’iyyah) NU. Maka perlu kiranya dilakukan sebuah kajian yang komprehensif untuk mencari solusi atas problematikapendidikan NU, baik terkait filosofis-paradigmatik, ideologis-normatif, maupun tataran praktik-pragmatis.
Problematika Pendidikan NU
Secara historis sosiologis, paradigma pendidikan Nahdlatul ‘Ulama, tidak akan terlepas dari paradigma teologi yang mendasarinya, karena pendidikan bagi organisasi memiliki multifungsi sebagai sarana transfer of value, transfer of religious character, sekaligus sebagai media kaderisasiorganisasi. Sehingga model pendidikan pesantren yang kemudian berkembang menjadi madrasah ini dianggap oleh sebagian pakar pendidikan sudah “out of date”, “the second education” dan tidak lagi mempresentasikan pendidikan modernkarenacenderung mempertahankan nilai-nilai “tradisional”, “konservativ”dan “ortodok”.SebagaimanaCliffordGeertz yang memberikan atribut sangat negative terhadap kaum tradisionalis sebagai anti modernisme dan contra-reformist organization.[5]
Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, paling tidak menyebutkan ada 4 tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan,[6]yaitu ; 1) Tahap rekonstruksi,pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan 2) Tahap Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli), 3) Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi, 4) Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi pengembangan.
Secara umum problematika yang dihadapi lembaga pendidikan pada umumnya termasuk oleh lembaga pendidikan NU memiliki beberapa kesamaan sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Philip H. Coombs di atas, antara lain[7]; Pertama, lemahnya management penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola management “alon-alon asal kelakon”.
Kedua,BidangSumberDayaManusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan –terutama profesionalisme guru- masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan. Menurut hasil penelitian dari KementerianAgamaRI, bahwa semakin nampak persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang Miss-match dan underqualified.[8]Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar BahasaInggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.
Ketiga, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan target kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia kerja.Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.
Keempat, BidangSarana dan Prasarana, keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dsb.
Kelima, masalah Networking/pengembangan jaringan.Secara kuantitas, jumlah warga NU sangat besar dan tersebar dalam berbagai bidang kehidupan. Namun sangat disayangkan, potensi yang sangat luar biasa ini belum bisa dikelola secara baik dalam sebuah networking atau jaringan organisatoris.
Dalam pandangan H.A.R.Tilaar, kondisi di atas diperparah lagi dengan peninggalanpolitik pendidikan kolonial yang menimbulkan dampak serius bagi pendidikan Islam termasuk madrasah dalam menghadapi arus modernisasi. Dampak tersebut antara lain :
1. termarginalisasi dari arus modernisasi dan cenderung kepada sifat ketertutupan dan ortodoksi.
2. karena sikap yang diskriminatif dari pemerintah kolonial maka pendidikan Islam terdorong menjadi milik rakyat pinggiran/pedesaan.
3. isi pendidikan Islam cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. mengalami berbagai kelemahan manajemen.[9]
Revitalisasi Peran LP Ma’arif NU
Peran NU dalam perkembangan pendidikan di Indonesia semakin nyata dengan dibentuknya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU).[10]Pembentukan lembaga ini disamping untuk mengembangkan sumber daya manusia juga sebagai upaya untuk mngembangkan sekaligus meneguhkan komitmen pada prinsip keagamaan ahlu sunnah wa al-jama’ah.[11]Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena dalam konteks pendidikan, lembaga pendidikan mempunyai peran yang besar dalam menyampaikan misi-misi politik dan ideologi. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi dan misi dakwah.[12]
LP Ma’arif mempunyai tugas utama melaksanakan kebijakan NU di bidang pendidikan dan pengajaran baik formal maupun non formal, selain pondok pesantren. Melalui Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama , Nahdlatul ‘Ulama merekomendasikan kebijakan, tugas dan tanggung jawab di bidang pendidikan kepada lembaga ini untuk mengelola lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama di seluruh Indonesia. Di dalam mengelola lembaga pendidikan, ada beberapa prinsip dasar, orientasi dan identitas pendidikan di lingkungan NU, yaitu ; Pertama, Komitmen pada paham keagamaan Ahlusunnah wal Jama’ah. Kedua,Kebijakan pendidikan NU didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Ketiga, Mengutamakan perpaduan antara pergerakan jiwa dan tugas untuk mengelola diri sendiri. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, pondok pesantren, madrasah, dan sekolah Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat, diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat. Sejak awal masyarakat mendirikan madrasah dilandasi oleh mental al it’timad alannafsi.[13]
Bagi Lembaga Pendidikan Ma’arif, pendidikan dipahami sebagai usaha sadar, terencana dan terarah untuk mengembangkan potensi anak didik baik intelektual, emosional, praktek, sosial, moral dan spiritual sehingga mereka mampu mengelola fungsi mereka sebagai khalifatullah fil ‘ard, penggerak dan pemelihara kesatuan bangsa serta pengembang nilai-nilai dan prinsip Ahlusunnah wal Jama’ah.[14]
Pengelolaan lembaga pendidikan yang ditangani oleh LP Ma’arif NU pada pelaksanaan ternyata banyak sekali menghadapi kendala. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,[15]lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU banyak dihadapkan pada banyak persoalan, mulai dari padatnya kurikulum, lemahnya input madrasah, tenaga pendidikan yang kurang berkualitas, kurangnya infrastruktur pendidikan, pendanaan yang terbatas dan juga proses evaluasi terhadap siswa yang kurang terkontrol. Disamping persoalan-persoalan lain yang bersifat eksternal seperti kurangya perhatian, pengakuan dan pengawasan dari pemerintah terhadap madrasah sehingga menjadi lembaga pendidikan yang selalu tertinggal dari sekolah umum.[16]
Persoalan-persoalan tersebut tentu saja menjadi “pekerjaan rumah” yang harus mendapat perhatian dari LP Ma’arif NU sebagai bagian dari upaya pemberdayaan madrasah yang dikelolanya. Sebagai cerminan kondisi pengelolaan madrasah, apa yang dilakukan oleh LP Ma’arif pusat juga dapat dilihat pada pengelolan di tingkat daerah (wilayah atau cabang).
Secara historis, upaya peningkatan mutu pendidikan pesantren dan madrasah telah dilakukan oleh tokoh-tokoh pendidikan NU, antara lain kita bisa bercermin pada pembaharuan pendidikan di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama yang dilakukan oleh K.H.A. Wahid Hasyim ketika menjabat sebagai Menteri Agama dan ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama telah melakukan beberapa upaya pembaharuan pendidikan pesantren dan madrasah melalui beberapa paradigma pengembangan,[17]antara lain:
1. Pembaharuan paradigma dari teosentris ke anthroposentris dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran di pesantren, yang semula santri diarahkan untuk mencetak ahli agam (ulama), dengan menyarankan agar tidak semua santri menjadi ulama, namun tetap memahami ajaran agama sebagaimana di pelajari di pesantren. Santri harus memperkuat diri dengan berbagai macam keahlian yang dalam dunia pendidikan sekarang dikenal dengan life skill education.
2. Perubahan paradigma dikotomik kepada non-dikotomik antara ilmu agama dan non agama. Menurut Wahid Hasyim, bahwa materi yang diajarkan di pesantren dan madrasah haruslah merupakan ilmu-ilmu yang komprehensif yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik saja.
3. Perubahan paradigma teoritik ke praktis. Dalam konsep ini Wahid Hasyim menekankan pentingnya pengamalan ilmu yang dipelajari di pesantren. Orientasi dari paradigma ini adalah terciptanya insane yang berakhlakul karimah dan tujuan pendidikan bukan semata-mata transfer of knowledge namun juga transfer of values.
Untuk mewujudkan konsep pembaharuan di atas, maka pendidikan pesantren maupun madrasah harus melakukan paling tidak empat bentuk pembaharuan, yaitu pembaharuan pada aspek institusi pendidikan, aspek isi kurikulum, aspek metodologi dan aspek fungsi kelembagaan. Pembaharuan tersebut dilakukan agar pendidikan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia mampu menjawab tantangan dan tuntutan perubahan zaman. (Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I, naskah ini pernah di muat di Jurnal Khittah Lakpesdam edisi I)
[1]Endang Turmudi (ed), Nahdlatul Ulama: Ideology, Politics and The Formulation of Khaira Ummah (Jakarta: PP Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, 2004) hlm. 125. Sekalipun pada awal berdirinya, K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU belum berani memasukkan sekolah dalam AD/ART NU. Lihat H.M. Rofangi, “Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama (Analisis Kritis Terhadap Sekolahan NU di DIY)” dalam AN-NUR Vol. II No. 4, Februari 2006 hlm. 142.
[2]Dalam sejarahnya, NU tidak bisa dilepaskan dengan pesantren, karena pesantren merupakan bagian integral darinya. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 25.
[3]Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (t.k: Listafariska Putra, 2005) hlm. 2. Corak dan karakter pesantren yang khas inilah barangkali yang menjadikan pesantren menjadi lembaga pendidikan yang dianggap indigenous Indonesia, karena lembaga sejenis ini telah ada sejak masa Hindu-Budha, sedang pesantren tinggal meneruskan dan mengislamkan saja. Lihat Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008) hlm 166.
[4]Kebijakan diskriminatif terhadap pendidikan Islam di Indonesia terutama pesantren telah ada semenjak jaman penjajahan Belanda yang menerapkan program Westernisasi sistem pendidikan sebagai upaya untuk melemahkan umat Islam. Lebih jauh lihat Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989 (Jakarta: INIS, 2004) hlm. 18-29. Di samping kebijakan pemerintah, sesungguhnya tantangan terbesar pesantren adalah penetrasi kehidupan modern melalui percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebyah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997) hlm. 88-89.
[5]CliffordGeertz, Abangan, SantriPriyayi dalam MasyarakatJawa ,PustakaJaya, (Jakarta, 1981), p. 461.
[6]Lebih jelas baca : PhilipH.Coombs, What is Educational Planning?, (Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 1970), hal. 20.
[7]YusufHasyim, “MengapaKurikulum jadi KambingHitam? Mencari Akar Masalah Pendidikan di Indonesia”, disampaikan dalam Workshop Peningkatan Mutu Madrasah, Pati, 20 Nopember 2006.
[8]Masyhuri AM, dkk., ProblematikaMadrasah, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001), hal. 18
[9]H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal. 169-170
[10]Pembentukan LP Ma’arif merupakan kelanjutan dari lembaga yang menangani pendidikan NU sebelumnya yaitu Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama (HBNO). Lembaga ini merupakan respon terhadap peningkatan baik kualitas maupun kuantitas lembaga di pesantren (madrasah). LP Ma’arif dibentuk pada Muktamar NU ke 20 (1959) di Jakarta. Endang Turmudi (ed), Nahdlatul Ulama, hlm. 126.
[11]Achmad Siddiq, “Khittah Nahdliyyah” dalam KHALISTA Cet. 3 (Surabaya: 2005) hlm. 87.
[12]M. Sirozi, Politik Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 4.
[13]AchmadSiddiq, KhittahNahdliyyah,“Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005), p. 87-90.
[14]Endang Turmudi, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta, 2003), p. 137-145.
[15]Meskipun sebagai lembaga pendidikan LP Ma’arif merupakan sub sistem dari sisitem pendidikan nasional, namun lembaga ini (sebagaimana lembaga pendidikan lainnya harus memilki kekhasan dan identitasnya sendir. Jika tidak maka hanya akan menjadi suplemen sistem yang ada tanpa nilai tambah. Lihat H. A. R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992) hlm. 86.
[16]Endang Turmudi (ed), Nahdlatul Ulama, hlm. 130. Tentang persoalan-persoalan yang dihadapi madrasah lebih jauh lihat Agus Sholeh, “Posisi Madrasah di tengah Tuntutan Kualitas” dalam Suwito et.al. (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005) hlm. 223-224.
[17]RuchmanBasori, The Founding Father Pesantren Modern Indonesia, Jejak Langkah K.H.A. Wahid Hasyim, Penerbit iNCeis, (TangerangBanten, 2006), p. 101-143.