Love Is Stupid Part 6
Oleh : Elin Khanin
(Aku pamit. Sampai jumpa lagi di pelaminan, Shanaya. Hahaha)
Sebuah pesan menyapa Shanaya pagi itu. Ia menatap layar berpendar itu dengan mata memicing. Lalu mengedarkan pandang sebentar ke setiap sudut kamar sambil mengumpulkan kesadaran. Tita sudah tak ada di kamar, mungkin gadis itu sudah duluan melakukan ritual di kamar mandi.
Shanaya membaca lagi sebaris pesan di layar ponselnya, memastikan bahwa pesan itu memang dari Nikhil. Sebuah nama menghiasi papan atas kolom chat-nya “Alien Nakhal.” Semalam mereka sempat bertukar nomor whatsapp sebelum tidur ke kamar masing-masing. Shanaya mempersilahkan Nikhil tidur di salah satu kamar inap dan dia sendiri kembali ke kamar jaga.
Segera ia merapikan diri dan memakai jilbab instan sebelum melangkah keluar. Lalu memeriksa kamar inap Edelweiss dimana Nikhil tidur semalam. Sudah kosong. Shanaya menghembuskan napas lega. Ternyata Nikhil menepati janjinya meninggalkan RB sebelum subuh, sebelum RB berubah menjadi ramai. Ia juga lega lantaran semalaman tak ada pasien melahirkan.
Ia sempatkan mengetik pesan balasan sebelum menyusul Tita melakukan ritual pagi.
(Hello … pelaminan itu nomor sekian. Ingat kamu udah janji nemui Juan untuk memberi tahu tentang pernikahan dadakan ini 😒😒😒) send.
“Dasar Nikhil nakhal. Nakhal udah paling pas deh. Atau kikhil kambing sekalian,” ceracaunya sambil menggulir layar ponsel. Jarinya beralih mengetik sebuah pesan untuk Juan. Ia ingat belum membuka dan membalas sama sekali puluhan chat dan missed call dari kekasihnya itu.
(Cinta, maafkan aku ya. Kemarin seharian hectic banget. Ntar kalau sudah selesai urusan aku kesitu buat masakin Cinta. Sementara nyuci baju sendiri, masak sendiri, sarapan sendiri ya?) send.
Shanaya segera meletakkan handphone-nya di kamar tanpa berniat mengecek lagi pesannya sudah terkirim atau belum, sudah terbaca atau belum. Ia hanya belum siap menerima balasan apapun dulu dari Juan. Untuk sementara ia mau menutup mata.
Ia tak mau kembali goyah jika nanti Juan memaksanya ke kos lagi saat ini juga. Sebab ia tahu hari ini mungkin akan lebih hectic dari hari kemarin. Tak mungkin insiden Partus Prosipitatus kemarin tidak membawa dampak besar. Semua harus ia selesaikan satu persatu.
Pertama, hari ini ia berencana akan menyempatkan ke rumah sakit Sultan Hasanudin untuk menjenguk Bu Kurniasih. Juga pulang ke rumah untuk meminta kejelasan pada orang tuanya mengenai pernikahan bagai tahu bulat digoreng dadakan itu. Ia mungkin juga akan mendapat panggilan dari kampus terkait kejadian kemarin. Kira-kira ganjaran apa yang akan dianugerahkan padanya? Di skors? Atau malah kemungkinan terpahit—di DO alias drop out? Membayangkan saja sudah membuat Shanaya gelisah tak keruan.
“Suamimu udah pulang, Mbak?”
Shanaya sedikit terlonjak oleh suara yang muncul tiba-tiba dari arah belakang. Ia tadi tak begitu fokus saat membubuhkan mosturizer pada wajahnya. Itu karena isi kepalanya sudah menyerupai benang kusut.
“U … udah, Mbak. Bu Kurniasih gimana, Mbak?” tanya Shanaya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Alhamdulillah, sampai rumah sakit semalam langsung ditangani, Mbak. Pendarahan sudah berhenti dan dipindahkan ke bangsal VIP.”
“Alhamdulillah. Bayinya gimana, Mbak?”
“Sudah mau asi.”
“Sudah nggak kejang?” tanya Shanaya diliputi perasaan khawatir.
“Alhamdulillah udah nggak. Lain kali jangan ditinggal ya kalau ada pasien. Apa jangan-jangan kemarin pulang ngurus mau akad itu?” tebak Tita sok tahu. Shanaya hanya meringis. Mungkin lebih baik membiarkan Tita berasumsi begitu daripada tahu yang sebenarnya—bahwa ia pacaran di kos Juan hingga lupa dengan tugas pokoknya di RB.
“Kok bisa sih nikah instan gitu, kayak indomie aja. Itu berarti akad dulu ya? gak ada rencana diresmikan kah? Semalam aku dan Bu Eko kaget banget waktu sampai RB udah ada cowok itu. Awalnya kami nggak percaya itu suamimu tapi dia nunjukin foto waktu ijab qobulnya dan minta izin nemui Mbak. Keren, Mbak suami jenengan.” Tita terus mengoceh panjang lebar—membalikkan percakapan ke topik semula. Membuat Shanaya bingung mana dulu yang harus dijawab, jadi ia hanya merespon kalimat yang paling akhir.
“Keren sebelah mananya?”
“Ya … kan rata-rata cowok itu penuh pertimbangan kalau urusan nikah. Ini sat set sat set. Ganteng lagi. Semoga saja nanti aku kebagian satu yang begitu.”
Seketika ujung bibir Shanaya tertarik ke atas.
Iyalah, sat set sat set. Dimana-mana orang putus asa karena putus cinta tuh gantung diri. Kendat. Eh, ini main ngawinin anak orang aja seenak jidat. Shanaya menggerutu dalam hati.
Tapi kemudian jeritan batinnya seolah membenarkan argumen Tita.
Seandainya Juan yang sat set sat set begitu. Dia kan juga pernah putus asa karena ekonomi dan kondisi keluarganya. Kenapa pelampiasannya bukan aku, tapi malah nge-game mulu. Blade sialan.
Mungkin kalau Tita adalah Magda, semua beban yang bertumpuk-tumpuk dalam dadanya sudah tersalurkan saat ini juga. Ia bisa dengan leluasa berkeluh kesah. Sayang, ia dan Magda, sahabatnya itu terpisah karena tempat PKL mereka berbeda. Magda beruntung kebagian jatah PKL di rumah sakit kampus mereka, sedangkan ia terpaksa menerima mandat PKL di RB Bidan Eko karena porsi PKL di rumah sakit sudah overload. Untung jarak rumah bersalin milik Bidan Eko dan kampus tidak terlalu jauh. Masih satu kota.
“Amin, Mbak. Insyallah ada rencana diramein kok. Tapi please rahasiakan ini dulu ya, Mbak,” jawab Shanaya dengan tampang memelas.
“Oke, ditunggu undangannya ya, Mbak Sufu. Jangan-jangan Mbak Sufu iri nih sama Mbak Ira.”
Shanaya mau menyanggah interupsi itu, tapi ia sudah tak sempat lantaran harus segera memenuhi sebuah panggilan. Bidan Eko memintanya menuju ke rumah depan. Entah ada apa. Tapi Shanaya seratus persen yakin ini ada kaitannya dengan kejadian kemarin.
“Duduk, Mbak Shanaya.” Bidan Eko menunjuk sofa di sebelahnya. Tapi Shanaya memilih duduk melantai di atas karpet. Rasa bersalah masih memenuhi rongga dadanya. Ia melirik sebentar perempuan yang sudah rapi dengan setelan dinasnya. Belum-belum Shanaya sudah gemetaran meski tak ada aura garang sedikitpun di wajah Bidan Eko.
“Sini saja lah, Bu,” ucapnya tertunduk dalam.
“Kemarin sampai ninggalin pasien karena pulang kah ngurus mau akad?”
Shanaya spontan mendongak. Ia tak menyangka Bidan Eko satu server dengan Tita. Jadi sebaiknya ia membenarkan saja atau menyanggahnya? Ia tak mau berbohong tapi juga enggan membeberkan yang sebenarnya. Bisa tambah runyam nanti. Dan bisa jadi, sikap Bidan Eko yang sudah melunak ini akan berubah galak. Jadi, Shanaya hanya ber-ehm-ehm, bingung jawaban mana yang tepat untuk saat ini.
“Tai eh, tadi bapakmu telepon ngasih kabar pernikahanmu itu. Beliau bilang penting akad dulu baru nanti rame-ramenya.” Bidan Eko tersenyum. Shanaya sedikit lega, tapi kelegaan itu segera sirna ketika Bidan Eko kembali meneruskan bicaranya.
“Maaf ya, Mbak. Insiden kemarin terpaksa saya laporkan kepada pihak kampus. Jam sembilan nanti jenengan disuruh ke ruang dekan. Semoga ini bisa jadi pelajaran berharga buat Mbak Shanaya ya, ke depannya jangan sampai terulang lagi.”
“Iya, Bu. Maafkan saya, Bu. Saya sangat menyesal.” Shanaya menunduk lebih dalam. Di antara rasa gugup yang semakin menjadi, ia terpaksa mendengar ceramah Bidan Eko lebih lanjut.
“Coba Mbak Shanaya pikir lagi. Kenapa persalinan tidak boleh ditinggal. Kenapa ibu hamil yang sudah mendekati persalinan harus menginap? Karena persalinan tidak bisa diprediksi. Ketika kita sudah terjun di bidang kesehatan, semua kepentingan pribadi harus dikesampingkan. Jiwa kita sebagai nakes harus menyatu dengan jiwa Florence Nightingale.”
Shanaya seperti mendapat tamparan keras berkali-kali.
Nama itu seperti berputar-putar dalam kepalanya bagai elang yang terbang mengintai seekor ular di daratan sana.
Florence Nightingale… Florence Nightingale.
Shanaya menghela napas sambil menghimpun kekuatan. Selepas dihujani ceramah oleh Bidan Eko, ia harus siap dengan konsekuensi dari pihak kampus.
Langkahnya lebar-lebar menyusuri jalan setapak yang diapit tanaman perdu di area kampus. Jantungnya semakin berdegup kencang ketika menjejakkan kaki di lantai fakultas.
Seharusnya ia urungkan saja merogoh ponsel dari tas jika tahu sebuah pesan dari aplikasi hijau membuat perasaannya semakin bertambah kacau. Entah kenapa kebiasaan buruknya tak hilang–men-scroll layar handphone jika sedang gugup. Shanaya pasti menyesali kebiasaan buruk ini.
Ternyata ia salah mengirim pesan. Pesan balasan yang seharusnya ia kirimkan pada Nikhil tertuju pada Juan. Sebaliknya, pesan yang seharusnya untuk Juan malah terkirim untuk Nikhil.
“Astaghfirullah… matilah aku.”
Shanaya serasa ingin pingsan saat membaca balasan itu.
Juan
(Cinta, ini gimana maksudnya? Siapa yang nikah dadakan? Kamu harus kesini sekarang juga. Aku nggak mau tau!!!).
—
Alien Nakhal
(Siap, Cinta. Aku udah biasa kok masak sendiri, nyuci baju sendiri dan sarapan sendiri. Cieee ada yang salah kirim 🤣🤣🤣)
Reflek Shanaya berteriak dan membuat semua orang yang berada di lobi menoleh ke arahnya.
“Aaaarrrrggggghhhhh… nyebelin bangeeeeettttttt… kenapa sih gue apes mulu. Kenapa bisa salah kirim sih? Huaaaaa … dasar Alien gila… sudah gilaaaaaa….”