Jodoh Buat Bu Bidan Cantik
Oleh : Elin Khanin
Chapter 4
“Suami?”
“Iya, dengar, Shanaya. Aku ….”
“Stop! Jangan berani mendekat!”
Kepala Shanaya tetiba terasa berdenyar. Tangannya terkulai lemas bagai pelepah daun pisang yang layu. Kakinya terasa meleot seperti karet gelang dan jantungnya menggelosor sampai ke ujung kaki. Wajahnya yang sepucat kapas masih beradu dengan wajah kusut dan kaku di depannya.
Sebentar … aku seperti tidak asing dengan lelaki ini. Nikhil?
Benak Shanaya berkecamuk. Hippocampus—bagian otak yang bekerja menyimpan memori dalam kepalanya segera bekerja cepat menemukan sebuah informasi. Informasi yang berhubungan dengan nama dan wajah yang tampak tak asing itu. Nikhil. Nikhil Kautsar. Kedua mata Shanaya melebar. Ia tak menyangka akan bertemu lelaki itu di sini. Parahnya lelaki itu mengaku sebagai suaminya. Berbagai pertanyaan terasa tumpang tindih dalam benaknya.
Apakah Ayahnya tak main-main ketika memintanya menikah segera?
Kenapa secepat ini?
Kenapa bisa lelaki ini yang menjadi suaminya?
Apakah ini mimpi?
Shanaya memegangi kepalanya yang terasa berputar seperti Bianglala.
“Apa kamu Nikhil Kautsar?” tanyanya dengan sisa-sisa kekuatan.
Dahi lelaki itu sedikit berkerut sebelum bertanya balik, “Kamu sudah tahu aku sebelumnya?”
Shanaya masih mampu mengamati wajah itu beberapa detik dengan mulut menganga dan sklera membulat sempurna sebelum akhirnya tumbang. Stok kesadaran dan kekuatan itu akhirnya habis. Shanaya pingsan. Untung kedua tangan kokoh itu segera menangkapnya.
“Shanaya ….”
“Nduk Shanaya ….”
“Kenapa Mbak Sufu?”
————–
“Guanteng buanget, Sha. Dapet aja sih yang bening-bening.”
“Gue gitu loh,” sahut Shanaya jumawa. Tangannya bergerak lincah mengedit sebuah foto di salah satu aplikasi di handphonnya.
“Emang kamu dah izin nyomot foto orang begitu? Nanti kalau dia gak ikhlas kamu jadikan visual ceritamu gimana?”
Ya, selain sibuk sebagai mahasiswi semester akhir di Akademi Kebidanan, Shanaya juga sibuk sebagai penulis. Penulis wattpad dan facebook misterius dengan nama pena Princess Shiny—yang sudah menelurkan banyak novel bergenre romance. Dan sekarang merambah ke berbagai platform berbayar dengan puluhan ribu followers dan unlock minim seribu per buku setiap bulannya.
Menulis sudah menjadi passion yang tak bisa ia tinggalkan begitu saja. Buah dari menekuni hobi kecil itu, ia mendapat penghasilan sampingan untuk menambah uang saku. Dengan uang hasil menulis itu juga Shanaya bisa membantu keperluan sehari-hari Juan, pacarnya. Tak heran, jika Juan begitu berat melepas Shanaya meskipun ia sendiri tak tahu kapan akan menikahi gadis itu.
“Udah izin kok. Dan dia bolehin,” jawab Shanaya.
“Beneran?”
Shanaya mengangguk mantap.
“Dia bahkan udah folback aku.”
“Hah? Serius? Kok bisa? Siapa nama aslinya?”
“Kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea? Ini rahasia yea?” jawab Shanaya tengil.
Bibir Magda mengerucut. Tapi antusiasnya tetap meletup-letup. Selain sebagai sahabat, ia juga menjabat sebagai reader militan setia Shanaya.
Senyum Shanaya tak henti-hentinya merekah. Ia yakin lelaki dalam foto yang ia download dari aplikasi Instagram akan senang melihat hasil editannya. Ia mengetuk-ngetukkan jari tak sabar menunggu aplikasi bernama “Cancut” itu bekerja.
Mengekspor.
Garis putih itu berjalan di satu persen hingga seratus persen. Lalu sebuah notif muncul. Siap untuk dibagikan. Shanaya beralih pada icon orange keunguan di pojok kiri. Lalu klik stories. Finish.
Dengan segera ratusan viewers nampang di story IG-nya. Ia memekik ketika sebuah nama muncul di sana.
“Dia lihat story aku, Daaaa.” Ia mengguncang bahu Magda. Shanaya histeris. Magda tak kalah histeris ketika melihat sebuah foto dengan sederet nama itu. Nikhil Kautsar. Ingin rasanya Shanaya melonjak-lonjak seperti anak Tk kalau tidak ingat sedang berada di serambi masjid kampus. Shanaya merasa ingin pingsan saat Nikhil mengomentari story-nya.
(Apa nih maksudnya?) tanya lelaki itu.
Jari Shanaya bergetar. Dahinya berkerut.
(Maaf, Kak. Ini supaya halunya readers saya makin lancar. Kakak kan visual tokoh utama saya. Hehe. Kemarin udah izin kan?) send. Tak lama jawaban Shanaya terbaca tapi tak sudah tak ada respon.
“Dia barusan komen. Aaaaaa ….”
“Aaaaaaa … Waaah … dia kepo sama kamu, Sha. Ayo dong kasih tahu aku siapa dia. Mau follow juga nih,” rayu Magda.
“Namanya Nikhil Kaustar. Bentar.”
Jari Shanaya dengan lincah menggulir layar handphone-nya. Lalu mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Ada yang aneh. Nama itu tak juga ia temukan. Nikhil Kautsar. Seorang selebgram dengan puluhan ribu followers yang ia daulat sebagai visual tokoh utama dalam cerita yang ia tulis seperti lenyap ditelan bumi. Kemana dia? Shanaya mendadak disergap perasaan tak enak. Sudah berkali-kali ia ketik nama itu tapi tetap saja tak kunjung ketemu. Ia beranikan mengirim pesan DM seperti sebelumnya.
(Kak Nikhil … gimana dengan kesediaan Kakak mengendorse novel saya?) send.
Tak ada tanda-tanda kehidupan. Shanaya semakin cemas. Benaknya diliputi berbagai syak wasangka.
“Kenapa? akunnya hilang?” tanya Magda seperti mengerti kebingungan sahabatnya. Shanaya mengangguk ragu.
“Coba aku pinjam handphone kamu.”
Shanaya menyambar ponsel milik Magda dan dengan cepat mencari akun sang selebgram di Instagram sahabatnya. Tak menunggu lama akun itu muncul. Foto-foto aesthetic Nikhil Kautsar segera terpampang di sana. Sederet foto terbaru dengan berbagai produk kosmetik ternama memenuhi beranda. Wajah rupawan dengan senyum mengembang saat memamerkan Lightening Series B Erl dengan caption “Jagalah hati, jangan kau kotori. Jagalah wajah dengan rangkaian terbaik ini. Bersama B Erl, Mengkilap di wajah dan hati” menyita perhatian Shanaya. Terjawab sudah prasangka buruk yang sejak tadi menggayuti pikirannya. Tangan Shanaya lunglai. Darahnya serasa mendidih.
“Gue di blokir, Da,” desahnya kesal.
“Ha? Kok bisa? Apa gara-gara llihat foto di story kamu? Bukankah dia udah kasih izin?”
“Itulah, Da. Apa dia sebetulnya nggak paham dengan visual? Nyebelin banget tau. Dia kira aku nggak bisa bayar dia mahal kali ya untuk endorse novel aku kayak B Erl.”
“Emang nggak bisa, ‘kan?”
Magda segera menampar mulutnya sendiri ketika wajah Shanaya berubah murung.
“Aaaarrrggghhh … nyebelin! Dasar belagu. Selebgram sombong bin songong. Aku sumpahin di dapet istri bawel dan bego,” omel Shanaya.
“Amiiiin, Sha. Udah jangan sedih. Ntar ku bantuin download foto-fotonya. Oke?” hibur Magda.
“Bodo ah.”
“Udah ah, Bestieeee. Jangan hanya gara-gara di blokir selebgram itu mood menulismu jadi hancur. Aku sedih nanti kalau update bab-nya jadi lama.” Magda masih tak menyerah.
“Yuk makan siang. Laper nih,” ajaknya sambil memegangi perut yang sejak tadi sudah riuh berdendang. Dengan langkah gontai dan wajah tertekuk, Shanaya akhirnya menerima ajakan sahabatnya menuju Pumanisa.
———
Aroma therapy segera mengerubuti hidung Shanaya begitu matanya terbuka. Kesadarannya mulai terkumpul satu-satu. Awalnya hanya langit-langit berwarna putih yang menyapanya saat mata itu terbuka sempurna. Ia merayap lamban dari balik selimut lalu menemukan sosok itu. Ah, dia—yang tiba-tiba muncul bagai Alien dari luar angkasa.
“Sudah siuman?” Lelaki itu mendekat.
Shanaya reflek meraba kepalanya. Kemana mukenanya? Untung saja Tita meninggalkan mukena Shanaya di atas meja samping tempat tidurnya. Lalu dengan cepat ia memakainya kembali.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya kesal.
Shanaya masih jengkel lantaran pernah di blokir Nikhil. Ingin rasanya menendang lelaki itu keluar. Ia juga kesal kenapa Bidan Eko membiarkan Alien itu masuk ke RB begitu saja.
Dasar Alien! Ayah, kenapa kau jadikan Alien ini suamiku? Huaaaa … aku benci diaaaa ….