Iblis Berjubah Malaikat
Oleh : Elin Khanin
Ya, seandainya calon suaminya adalah Faris bukan kakek tua itu, mungkin ia perlu berpikir ulang.
Gadis itu menggeleng. Menepis pikiran konyol yang tiba-tiba melintas.
Ternyata tak semua lelaki bersarung terlihat kolot. Melihat Faris kenapa lelaki justru tampak berkharisma dengan outfit begitu?
“Den Faris itu pemilik sekaligus pengelola panti. Setiap hari berkunjung ke sini melihat perkembangan anak-anak. Beliau juga yang mengajar ngaji mereka. Beruntung ya yang dapat suami seperti Den Faris?” Bik Misih seolah tahu pertanyaan yang bergelayut di benak tamunya. Perempuan tambun itu tersenyum lebar.
“Non, tolong antar teh panas ini ke aula untuk Den Faris ya?” Bujuk Bik Misih sambil mengulurkan nampan berisi cangkir teh.
“S-saya?”
Gadis itu membeliak. Baru saja tadi imajinasi tentang dirinya menyuguhkan secangkir teh panas untuk suaminya yang berwujud Faris melintas. Lalu ini? Haruskah? Gadis itu tampak tercenung. Ia seperti mengalami dejavu.
“Iya. Tolong ya, Non.”
Bik Misik pergi begitu saja setelah berhasil memaksa tamunya mengambil alih nampan dari tangannya. Tamu cantik panti Albana menghela napas. Lalu dengan terpaksa melangkah menuju aula.
“Heh, jantung. Gak usah deg-deggan napa? Kamu hanya boleh deg-deggan kalau ketemu dokter Samuel. Tau?” racau gadis itu pada diri sendiri.
Dengan perasaan canggung, tamu cantik Faris yang dipanggil anak-anak panti “Kak Jiya” itu meletakkan nampan berisi teh panas di samping tempat duduk Faris. Adegan yang sama persis seperti dalam imajinasi absurdnya. Bedanya beberapa anak yang tersebar di aula tidak memanggilnya mama.
Mereka hanya menatap gadis itu sekilas dan menyapanya dengan ceria. Gadis berjilbab coklat susu yang ternyata bernama lengkap Najiya Faradisa membalas sapaan mereka dengan senyum ramah dan sebuah anggukan. Dia juga sempat mengacungkan jempol memberi semangat pada anak-anak. Tanpa gadis itu sadari Faris sempat melirik sekilas dan tersenyum kilat. Mungkin ia merasa impresi sejak gadis mantan pelaku bunuh diri itu memakai pakaian muslimah. Penampilannya jauh berbeda dengan ketika ia ingin bermigrasi ke alam baka kemarin. Kulit seputih susu itu tampak kontras dengan warna jilbab dan tunik yang dikenakannya. Seperti es salju dengan toping coklat. Manis dan segar.
“Kak Najiya….” Talita memanggil sambil melambaikan tangan. Najiya membalas lambaian tangan itu dan tersenyum lebar.
Nadia tak mau kalah, dia juga ingin mendapat perhatian Najiya. Gadis chubby itu bahkan memanggil perempuan di samping Faris dengan suara lebih keras. Disusul anak-anak yang lain. Mereka tetiba menjelma fans dadakan Najiya. Aula menjadi sedikit gaduh dan mereka tak lagi fokus berlatih membaca Al-Quran. Hal itu membuat Faris angkat suara. Suara ketusnya membuat anak-anak menjadi jeri dan aula kembali senyap.
Detik kemudian hanya suara bacaan Al-Quran yang mendominasi ruangan. Meski sedikit tersinggung dengan sikap Faris, Najiya berusaha memaklumi bahwa dialah sumber kegaduhan acara mengaji di aula. Namun kabar baiknya dia jadi ingat tugas utamanya yaitu mengantar teh. Masih dengan bermuka masam ia mengangkat cangkir itu dari talam.
“Ini tehnya,” ucapnya kikuk pada lelaki yang duduk bersila di depan meja kecil. Tak lupa ia menyertakan lapik kecil di bawah cangkir. Faris hanya melirik sekilas cangkir di sampingnya lalu fokus lagi membenarkan bacaan Al-Quran bocah di hadapannya.
Karena tak ada tanggapan, Najiya mengulangi lagi perkataannya. “Maaf, ini tehnya.”
Faris tetap terdiam. Jangankan berterimakasih, menoleh ke arah tamunya yang bersusah payah membawakan teh itu pun tidak. Lelaki itu tetap fokus pada mushaf di atas meja seolah Najiya tak pernah ada di sana.
Gadis itu bangkit dengan muka tertekuk. Kedua alisnya hampir menyatu dan bibirnya manyun. Mirip burung hantu yang bertengger di ranting pohon perdu.
Siapa yang tidak kesal jika tak dianggap. Lebih malu lagi, ia dicuekin di depan puluhan anak-anak kecil. Sungguh memalukan. Seharusnya tadi ia letakkan saja tanpa harus berbasa basi.
“Uuh, nyebelin banget itu cowok. Sok sibuk. Bagaimanapun aku ini kan tamu. Harusnya aku yang dilayani bukan melayani,” gerutunya begitu berhasil keluar dari aula.
Dengan wajah dongkol ia berjalan tak tentu arah dan sampai di sebuah billboard yang diletakkan di langkan sebelah taman panti.
Sepasang matanya langsung terpaku pada beberapa karya anak yang terpasang di papan berlapis kaca itu. Ada puisi, cerpen, pantun, handcrafted dan karya kreatif lain yang terpajang di sisi kiri. Sedangkan sisi kanan billboard, khusus untuk info penting dan berita terkini mirip kliping yang ditempel dan ditata sedemikian rupa.
Sebuah potongan koran dengan judul “Pendiri Perusahaan Albana Tuan Zabir Malik Akan Segera Membangun Gedung Baru untuk Panti Asuhan Albana” menyita perhatiannya. Di tengah-tengah tulisan itu tersemat foto seorang lelaki tua tersenyum lebar bersama anak-anak panti yang ceria.
Najiya melebarkan kedua matanya. Memastikan penglihatannya tidak salah. Nama Albana terdengar tak asing di telinganya. Ibunya sempat menyebutkan nama itu beberapa kali. Lalu kakek dengan jas harga selangit, Dormeuil Vanquish I itu membuat Najiya mendadak gagu. Mulutnya menganga ketika ingatan video viral itu berkelebat. Tak salah lagi, dia adalah konglomerat yang berjasa memberi hutangan pada keluarganya. Lalu hutang-hutang yang disinyalir untuk biaya pendidikan kedokteran itu dianggap lunas jika Najiya bersedia menikah dengan Tuan Zabir Malik. Ya, Zabir Malik Albana.
“Jadi… panti asuhan ini juga milik si tua bangka itu? Albana. Atau dia hanya sebagai donatur?,” gumamnya sambil mengamati lebih seksama tulisan yang terpasang di billboard. Ia hanya tak habis pikir, kemanapun pergi kenapa tetap saja bertemu dengan nama Albana.
“Ehem.”
Suara deheman membuat Najiya tergemap sesaat. Ia menoleh dan menemukan lelaki yang membuatnya jengkel berdiri di ambang pintu.
“Kau kenal dia?” Tanya Najiya tanpa basa basi sambil menunjuk gambar konglomerat sang donatur utama panti asuhan Albana.
Faris mengikuti telunjuk Najiya dan menatap potongan koran di atas billboard.
“Dialah biang kerok insiden bunuh diriku.”
Faris mengernyit. Ada ekspresi terkejut tergambar jelas di wajah tampan itu. “Ka… Tuan Zabir Malik?” Hampir saja ia kelepasan memanggil Owner Albana Group itu dengan sebutan kakek.
“Ya. Dia.” Najiya menunjuk lagi foto itu dengan sorot mata penuh dengki.
“Bagaimana bisa? Dia adalah konglomerat paling dermawan di Indonesia.”
“Hahaha.” Najiya tertawa sarkas.
“Dia iblis berjubah malaikat,” lanjut Najiya terus terang dengan nada ketus.
“Hei….” Faris tak terima kakeknya dikatai iblis berjubah malaikat. Tapi kalimatnya segera dipotong oleh gadis itu.
“Orang tuaku terpaksa berhutang padanya demi melunasi biaya pendidikan dokterku. Jika saja mereka cerita dari awal jika bangkrut dan tak lagi bisa membiayai kami. Aku rela drop out dan bekerja di mana saja. Asal tidak menikah dengan tua bangka itu demi melunasi hutang-hutang kami.” Najiya menghembuskan napas setelah mengeluarkan unek-uneknya. Ada kelegaan tersendiri setelah beban itu keluar dari rongga dada. Namun pandangan matanya tetap menyorot tajam pada sepotong kertas di hadapannya.
Tua bangka? Mendengar itu membuat darah Faris menggelegak. Berkali-kali gadis itu mencaci maki kakeknya. Tapi ia berusaha tetap tenang sebab ia mencium bau kesalahpahaman dari gadis itu. Sebab tak mungkin kakeknya yang sudah uzur itu punya keinginan menikah lagi. Apalagi dengan perempuan yang jauh lebih muda.
Dari saat menemukan Najiya kemarin, ia terus berpikir keras bagaimana gadis itu bisa berada di sana dengan pakaian pengantin dan ingin bunuh diri. Ia sendiri tak menduga bisa menemukan Najiya di dekat panti dengan kondisi frustasi.
Malam tadi usai shalat isya’ ia mengecek melalui galeri ponselnya dan menemukan sebuah foto kiriman dari sahabat maminya. Tak salah lagi, Najiya adalah dokter muda itu. Gadis yang telah lama merenggut hati maminya.
“Ris, cantik ya? Sebentar lagi jadi dokter lagi. Mami sudah lama naksir. Gimana kalau jadi mantunya mami?”
Memori obrolan beberapa bulan yang lalu terputar lagi.
“Terserah mami aja. Asal mami bahagia aku juga akan bahagia,” ucap Faris enteng. Baginya tak ada yang lebih berarti di dunia ini kecuali melihat ibunya bahagia.
“Jadi kamu setuju?”
Faris tersenyum sambil menatap lekat wajah maminya. Hingga membuat perempuan itu berkaca-kaca.
“Alhamdulillah, kakekmu pasti seneng dengar ini.”
Faris mengerjap. Kembali fokus pada gadis di sebelahnya. Sebuah tanda tanya besar bergelayut dalam benaknya. “Apa mungkin gadis ini salah paham? Mengira yang akan menikah dengannya adalah kakek, bukan aku? Maka dia frustasi dan mau bunuh diri. Lalu apa itu? Keluarganya berhutang pada mami? Kenapa mami tak pernah cerita? Konyol sekali kalau memang begitu kenyataannya,” omelnya sendiri dalam hati. Setelah pikiran itu mengendap dan berputar-putar dalam kepala sambil meneliti ekspresi Najiya yang seperti orang kesurupan, entah kenapa ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak.