Memahami Bahasa Anak
Oleh : Inayatun Najikah
Pada minggu yang lalu, saya membantu ibu mempersiapkan hidangan untuk menyambut teman-teman bapak yang hendak singgah ke rumah. Mereka datang dari kota seribu candi, berniat ziarah ke makam salah satu wali yang ada di kota kelahiran saya ini. Dibalik kesibukan didapur, keponakan saya Tsania tiba-tiba merengek minta ditemani belajar membaca. Maklum semenjak saya perkenalkan pada buku yang diberikan cuma-cuma oleh seseorang yang saya cintai, ia lebih sering datang ke rumah untuk sekedar dibacakan cerita. Ia begitu antusias dan sesekali ia akan menirukan apa yang saya baca.
Namun berbeda dengan minggu kemarin. Saya telah mengecewakannya. Saya dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya sama-sama penting. Janji saya untuk senantiasa sigap saat ia menginginkan sesuatu, telah saya ingkari. Saya mengesampingkan keinginannya dengan memilih membantu ibu. Tampak raut kekecewaan pada wajah mungilnya. Sebab tak hanya sekali ia menghampiri saya dengan maksud untuk dibacakan sebuah cerita.
Sampai tulisan ini dibuat, saya menyadari pada saat itu saya telah melupakan satu hal. Bahwa anak kecil berbeda dengan orang dewasa. Tsania tak seharusnya saya paksa untuk memahami kondisi dan situasi yang sedang terjadi. Andai saya punya mesin waktu seperti miliknya doraemon, pasti saya akan memutar waktu itu kembali. Mengiyakan ajakannya dan menemaninya belajar. Meski saya menolak dengan memberikannya alasan yang sangat logis, tetapi baginya penolakan adalah sebuah penolakan.
Setelah kesibukan didapur selesai, saya mendekatinya dengan maksud ingin meminta maaf dan mengajaknya bercerita. Namun diluar dugaan saya, ia mengalihkan pandangan dan memilih untuk tetap bermain dengan sepupu yang lain. Saya memaklumi sikapnya yang berubah menjadi dingin itu. Lantas saya membiarkannya terlebih dahulu agar kembali pulih pada kondisi normal. Kemudian setelah ia selesai bermain, saya mengajaknya kembali berbicara.
Saya menjabarkan perihal kesibukan tadi dan ia hanya berdiam diri. Setelah saya selesai berbicara, rupanya ia tertidur. Barangkali apa yang telah saya sampaikan baginya adalah sebuah dongeng pengantar menuju alam mimpi. Bagi saya semua anak-anak memang begitu. Jika ia menginginkan sesuatu, maka hal itu akan selalu diutamakan. Hanya setelah ia merasa jenuh dan bosan, maka sesuatu itu akan dilepaskannya. Tak melulu soal mainan. Makanan dan berbagai hal lainnya pun juga begitu.
Kita yang dianggap sudah dewasa sebaiknya mampu menempatkan posisi sebagai teman sekaligus orang tua untuk anak. Menjadi teman saat anak butuh lawan main untuk bermain dan belajar, sedang menjadi orang tua saat anak butuh bimbingan dan pendampingan. Sebab dari kedua hal ini bukanlah menjadi sebuah pilihan yang harus dipilih salah satu dan meninggalkan yang satunya.