“Wuih Kompak Amat”
Oleh : M Iqbal Dawami
Cerita lucu ini berawal ketika menjelang Isya beberapa warga bergegas ke masjid untuk azan. Belum lagi sampai masjid terlihat seorang pemuda dengan tampang klimis dan dihiasi jenggot sedang menyapu di lantai masjid. Azan dimulai, jamaah pun berdatangan dan siap mendirikan shalat Isya berjamaah.
Sang pemuda yang tadi menyapu segera saja mendapat tempat terhormat di shaf terdepan, alasannya karena dia datang lebih awal dari jamaah yang lain. Penghargaan warga kampung terhadap sang pemuda tidak berhenti sampai di situ. Meskipun mereka tidak begitu mengenal sang pemuda, karena bukan warga kampung tersebut, tetapi sikapnya yang kalem dan kelihatan khusuk membuat warga tak ragu meminta sang pemuda menjadi imam shalat.
Di sinilah cerita lucu dimulai. Saat dimulai takbir tidak ada masalah, aman-aman saja. Baca Al-fatihah juga lancar, no problem. Setelah bacaan Al-fatihah selesai, jamaah pun menyambut dengan “Amin”, layaknya memang kewajiban makmum. Namun saat mendengar “amin” tersebut tiba-tiba sang imam berkomentar keras, “Wuihh kompak baaaanget”.
Jamaah yang berjumlah puluhan orang tersebut terkaget-kaget dan sontak menghentikan shalatnya. Mereka memandangi sang imam yang masih cengar-cengir. Dan dari deretan makmum paling belakang tiba-tiba terdengar suara, “Oh, itu pemuda kampung sebelah, dia memang kena gangguan jiwa, durung mari tiba’e (ternyata belum sembuh).”
Gemuruh tawa jamaah pun memecah, dan sang imam pun segera “dievakuasi” pulang.[1] Mendengar kisah di atas kita semua mungkin bisa tersenyum bahkan sampai tertawa. Bisa kita bayangkan betapa lucunya apabila ada jamaah yang hendak mendirikan shalat di sebuah masjid ternyata diimami oleh orang yang majnun, alias gila. Hal itu sebagaimana kisah di atas. Mengapa orang gila tersebut bisa menjadi imam? Rupanya jamaah di situ tertipu oleh penampilan orang tersebut yang terlihat alim dan pintar. Dan ternyata orang itu mempunyai pikiran yang tidak waras dan mengalami gangguan jiwa.
Kisah di atas seolah menyentil kita yang sering kali terpesona secara “buta” kepada seseorang lantaran penampilannya yang meyakinkan. Penampilan itu bisa berupa wajah yang artistik, pakaian yang simpatik, pembawaan yang menarik, maupun kata-kata yang menukik (ke dalam jiwa). Dan masih banyak lagi penampilan lainnya yang sungguh menggugah rasa keterpesonaan kita. Nahasnya, seringkali kita kecele gara-gara akibat keterpesonaan kita itu.
Tentu saja kita menilai sesuatu atau seseorang memulai dari penampilannya, dari luarnya. Karena itu yang paling dekat untuk kita percayai atau tidak. Misalnya saja ada orang yang belum kita kenal hendak meminta atau pun memberi bantuan kepada kita, apa respons kita? Kemungkinan kita akan melihat dulu orangnya seperti apa. Kita akan menilainya terlebih dahulu penampilannya meyakinkan atau tidak. Setelah kita menganggap orang tersebut meyakinkan (secara penampilan) maka barulah kita memberi respons positif. Nah, di sinilah, banyak di antara kita yang tertipu gara-gara penampilan tersebut.
Seseorang pernah menuliskan:
Rumah yang megah nan mewah bukan jaminan keluarga hidup bahagia
Makanan yang enak dan kemasan menarik, belum tentu bernilai gizi tinggi
Jabatan tinggi belum tentu mempunyai pengabdian dan etos kerja yang sesuai dengan jabatan tersebut
Kasur mewah yang empuk, tidak menjamin kita bisa tidur nyenyak
***
Mungkin Anda pernah mendengar penipuan berkedok investasi dengan iming-iming keuntungan per bulan yang menggiurkan. Tidak sekali-dua kali saya mendengar penipuan model ini. Banyak terpedaya dengan bisnis semacam ini. Betapa tidak, kita “hanya” memberikan modal berupa uang—tidak perlu bekerja—tapi setiap bulannya uang dari hasil investasi itu akan mengalir ke kita dengan berlipat-lipat. Iming-iming itu sungguh menggiurkan dan meninabobokan naluri kesadaran kita.
Satu hal yang membuat saya terperangah dan “kagum” adalah betapa hebatnya orang yang bisa membujuk sekian banyak manusia untuk menginvestasikan uangnya ke dalam perusahaan si pemiliknya. Betapa dahsyatnya ia bisa meyakinkan orang. Betapa mumpuninya ia membujuk orang agar menggelontorkan sekian banyak uangnya untuk diinvestasikan. Sungguh hebat. Pasti kata-kata maupun perilakunya sangat simpatik dan mempunyai daya gugah, karena buktinya banyak orang tergugah. Di sinilah, sekali lagi, banyak di antara kita yang tertipu gara-gara penampilan tersebut.
Tentu tidak salah untuk mengikuti bisnis semacam itu. Namun, sebelum kita melangkah ada baiknya kita melakukan cross-check terlebih dahulu, mencari informasi sebanyak-banyaknya, bertanya kepada orang yang dianggap kompeten soal itu, dan seterusnya. Dari situ kita akan mendapat pandangan secara menyeluruh perihal tersebut.
Hal ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam hal agama. Kita kerap kali mudah terpesona oleh simbol-simbol agama yang dikenakan seseorang, padahal simbol-simbol tersebut tidak secara otomatis melekat begitu saja kepada si pemakai simbol. Simbol jubah, jenggot, dan dahi hitam, bukanlah simbol ketaatan, kesalehan, apalagi kepintaran. Siapa saja bisa melakukannya. Orang gila yang menjadi imam shalat isya dalam kisah di atas sungguh pas dalam menggambarkan hal ini.
Seperti halnya dalam kasus investasi di atas, persoalan agama pun demikian. Banyak sekali fenomena keberagamaan yang kita jumpai dalam keseharian kita. Sebelum kita menilai seseorang—bahkan menerima mentah-mentah—berpendapat soal agama, kita harus melakukan cross-check terlebih dahulu, atau dalam agama diistilahkan dengan tabayyun. Tabayyun artinya mencari kejelasan suatu masalah hingga tersingkap dengan jelas kondisi yang sebenarnya, atau sikap hati-hati terhadap sesuatu dan tidak tergesa-gesa.
Tabayyun merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan agar tidak dihinggapi prasangka-prasangka yang tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan fitnah bahkan kekerasan. Dikatakan penting, karena seringkali kita melihat orang berprasangka tanpa men-tabayyun terlebih dahulu. Mereka malas untuk melakukannya, tidak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, sehingga yang timbul adalah apriori dan mencap dengan stempel keburukan.
Hal ini sudah diterangkan dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat: 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam surat lainnya, An-Nisa 94 sebutkan pula perihal tabayyun, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi di jalan Allah, maka lakukanlah tabayyun.” Jelas dalam kedua ayat ini bahwa tabayyun adalah perintah Allah untuk kita lakukan dalam laku kehidupan sehari-hari, agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang merugikan dan membuat kita menyesal di kemudian hari. Kita tidak boleh tergesa-gesa menilai orang lain dengan menuduh dengan tuduhan buruk, apalagi disertai dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan.
Mari kita biasakan ber-tabayyun dalam segala hal.
[1] Dikutip dari http://blog-syariah.blogspot.com/2012/08/cerita-humor-ramadhan.html