Iklan
Kolom

Lihatlah Siapa yang Bertanya

Oleh : M. Iqbal Dawami

Suatu hari, seorang anak muda yang baru menikah mendatangi Abdullah bin Abbas. Anak muda itu mengajukan pertanyaan, “’Wahai sepupu Rasulullah, bolehkah aku mencium istriku saat sedang berpuasa?”

“’Tidak boleh!” jawab Abdullah bin Abbas dengan tegas.

Konten Terkait
Iklan

Pemuda itu tampak kecewa, karena jawabannya bukan yang diinginkannya. Ketika hendak bertanya kembali untuk mencari alasan logis dengan maksud agar Ibn Abbas membolehkannya, tiba-tiba ada seorang lelaki tua mendatangi Abdullah bin Abbas pula. Pemuda itu menunggu sejenak. Sang pemuda itu mendengarkan percakapan mereka.

 “’Wahai Ibn Abbas, apakah aku boleh mencium istriku ketika aku sedang berpuasa?” Tanya lelaki tua.

“Boleh,” jawab Abdullah bin Abbas.

Rupanya pertanyaan lelaki tua sama dengan pertanyaan sang pemuda itu. Mendengar jawaban tersebut, si pemuda itu langsung melabrak dan memprotes, “’Wahai sepupu Rasulullah! Bagaimana Anda ini, Anda halalkan buat dia sesuatu yang Anda haramkan buat saya?” Dengan nada kesal dan menahan marah.

Ibn Abbas tersenyum.

“Begini saudaraku, kau masih terlalu muda, nafsu birahimu masih bergejolak. Sedangkan bapak ini sudah tua,” jawab Abdullah bin Abbas sembari tersenyum.

Pemuda itu akhirnya mengerti maksudnya. Dia paham kalau dirinya belum tentu bisa menahan nafsunya tatkala mencium istrinya. Tidak ada jaminan kalau dirinya untuk bisa menahan gejolak keinginan berhubungan dengan istrinya. Dengan hati yang tenang pemuda itu mengucapkan terima kasih kepada Ibn Abbas.

Aduhai, bijak sekali Ibn Abbas memberikan “fatwa”-nya kepada orang yang bertanya. Dia mampu memberikan jawaban cerdas dan bernas tanpa melanggar ketentuan syariat. Dia tidak semena-mena menjawab secara serampangan, halal-haram, atau pun hitam-putih. Ibn Abbas menjawab sesuai dengan konteks dan situasi si penanya. Lihatlah, si pemuda tadi, pada awalnya dia tidak puas dengan jawaban Ibn Abbas, lantaran jawaban Ibn Abbas terkesan “tidak adil” terhadap dirinya, namun pada saat mendapat penjelasan, barulah dia mengerti dan mengakuinya. 

Saya menduga apa yang dilakukan oleh Ibn Abbas itu terinspirasi dari pribadi Rasulullah Saw. sendiri yang seringkali memberikan jawaban sesuai dengan kapasitas para penanya. Oleh karenanya jawaban Nabi seringkali berbeda-beda, padahal pertanyaannya tetap sama. Misalnya, suatu ketika seseorang bertanya, “Wahai Rasul, apa barometer seseorang dikatakan beriman?”

Nabi menjawab, “Orang yang beriman adalah orang yang dapat menahan amarahnya.” Pada kesempatan lain ada pertanyaan yang sama yang diajukan kepada Rasulullah. Namun beliau menjawab sedikit berbeda, “Orang yang beriman adalah yang dapat menjaga tangan dan lisannya.” Pada waktu yang lain juga ada yang bertanya soal iman, dan beliau menjawab, “Belum bisa dikatakan seseorang beriman, sampai dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”

Mengapa Nabi memberikan jawaban yang berbeda-beda padahal pertanyaannya sama? Karena Nabi melihat kondisi sang penanya. Nabi menjawab bahwa orang yang beriman adalah yang dapat menahan amarah, karena sang penanya mempunyai tabiat pemarah. Jawaban lainnya bahwa orang yang beriman adalah yang dapat menjaga tangan dan lisannya, karena sang penanya selalu memukul, berkata-kata kotor, menyakiti hati orang, dan segala keburukan lainnya yang berasal dari mulut dan tangannya. Yang terakhir, sang penanya lantaran mempunyai perangai buruk yakni selalu menyakiti saudaranya, baik itu tetangga, teman, maupun yang tidak dikenalnya.

Barangkali Nabi akan menjawab lain manakala sang penanya, misalnya, seorang yang berilmu, katakanlah terpelajar. Mungkin Nabi akan menjawab, “Orang yang beriman adalah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya.” Karena, boleh jadi si terpelajar tidak pernah melakukan apa yang sudah diketahuinya, alias sekadar wacana belaka, tapi tidak pernah dipraktikkannya.    

Begitulah seharusnya kita memberikan respons terhadap keadaan. Kondisi menentukan jawaban. Kita tidak bisa saklek memberikan respons tanpa melihat situasi dan kondisi sekelilingnya. Ada hal yang harus dilihat terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban. Dengan kata lain, ada yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan matang-matang sebelum kita memberikan wejangan, fatwa, nasihat, masukan, anjuran, dan lain sebagainya.

Mengapa harus dipertimbangkan dan dipikirkan? Tak lain agar kita tidak salah memberikannya. Sebuah teori terkadang tidak bisa diterapkan dalam semua kasus. Ada elemen-elemen yang hanya ditemukan dalam satu tempat dan tidak ditemukan di tempat lainnya. Inilah mengapa teori tidak bisa diberlakukan di sepanjang waktu dan tempat. Bahkan, sebuah teori bisa saja benar dalam satu waktu, tapi tidak ada jaminan teori tersebut bisa berlaku pada waktu lainnya.

Dalam hal ini sangat tepat kita mengambil teladan dari Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab besar yang mempunyai banyak pengikut. Dalam fiqih beliau terdapat istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Istilah Qaul Qadim adalah pandangan fiqih Imam Asy-Syafi’i versi masa lalu, yakni pada masa beliau tinggal di Baghdad Irak. Sedang Qaul Jadid adalah pandangan fiqih Imam Asy-syafi’i menurut versi yang terbaru setelah beliau tinggal Mesir.

Mengapa Syafi’i mengubah fatwanya pada saat tinggal di Mesir? Karena di sana beliau menemukan banyak hal baru yang belum pernah ditemukannya, baik tambahan jumlah hadits atau pun logika fiqih. Di Mesir itulah beliau melakukan revisi ulang atas pendapat-pendapatnya selama di Irak. Revisinya begitu banyak sesuai dengan perkembangan terakhir ilmu dan informasi yang beliau dapatkan di Mesir, sehingga terkumpul menjadi semacam kumpulan fatwa baru. Beliau merevisi fatwanya sendiri karena tidak relevan untuk diterapkan di Mesir.

Dari situ kita dapat mengambil intisari karakter Imam Syafi’i bahwa beliau begitu fleksibelnya dalam ber-fiqih. Beliau begitu paham bahwa fiqih adalah sebuah produk hukum yang boleh saja penerapannya akan berbeda di dalam masing-masing daerah. Tentu saja, baik Qaul Qadim maupun Qaul Jadid yang dibuatnya keduanya bersumber dari Alquran dan hadis.

Pengetahuan sejatinya harus disertai sikap bijak. Kita sering mendengar perkataan bahwa bijak itu maqam (tingkatan)-nya di atas ilmu. agaknya tidak berlebihan, karena orang yang bijak itu adalah orang yang bisa memahami keadaan, dimana kemudian bagaimana ia harus bersikap, berpikir, dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya.[] 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button