Kiai Sahal, Pesantren, dan Mitigasi Bencana

KH. Sahal Mahfudh, ulama karismatik asal Kajen Pati ini pada akhir tahun 80an pernah menulis sebuah makalah yang dengan eksplisit menunjuk pesantren sebagai tempat membina (mengajar dan mendidik) para santri agar peduli terhadap lingkungan. Kiai Sahal optimis pesantren dapat melakukan pembinaan lingkungan hidup agar tidak menyulitkan generasi masa depan.
Saat ini, bencana alam yang melanda di berbagai daerah terjadi secara tiba-tiba bahkan tidak sesuai musimnya. Yang terbaru tentu saja bencana banjir yang melanda Kabupaten Pati di musim kemarau. Ketidaksiapan masyarakat menghadapi bencana alam menjadi bukti bahwa kita masih tidak mampu memahami alam dengan baik, padahal ketergantungan kita terhadap alam sangat tinggi. Dibutuhkan langkah nyata dalam mengelola alam dan lingkungan dengan baik dan tidak sekadar mengeksploitasinya demi keuntungan manusia semata.
Salah satu pendekatan yang ditawarkan Kiai Sahal dalam mengelola lingkungan hidup di pesantren ialah pendekatan motivasi. Pendekatan motivasi dilakukan melalui pengajaran dan pendidikan lingkungan hidup, yakni proses internalisasi hingga transformasi nilai kelestarian lingkungan. Pendekatan motivasi ini –dijelaskan Kiai Sahal- walaupun akan memerlukan waktu relatif panjang, akan berdampak lebih positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan perilaku secara persuasif. Pendekatan yang demikian itu dapat disebut sebagai mitigasi bencana, yakni upaya pengurangan risiko bencana melalui pesantren.
Pemikiran Ekologis Kiai Sahal
Dalam buku Nuansa Fiqh Sosial (2012, cet. 11), Kiai Sahal menjelaskan bahwa perhatian terhadap kelestarian alam merupakan bagian dari jalan mencapai tujuan utama dalam hidup umat manusia yaitu sa’adatuddarain (bahagia dunia dan akhirat). Agar tujuan tersebut dapat dicapai, manusia harus menjalankan dua fungsi pokok, yaitu ibadatullah (ibadah kepada Allah) dan imaratul ardli (mengelola dan memelihara bumi). Dua fungsi ini dapat dengan jelas dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Misalnya bagaimana mungkin seorang muslim dapat beribadah dengan nyaman apabila bumi tempat berpijak dalam keadaan bencana? Contohnya apabila sholat hukumnya wajib, maka keberadaan tempat sholat yang suci dan aman menjadi wajib pula.
Mengenai kerusakan alam, menurut Kiai Sahal disebabkan salah satunya perilaku dan sikap acuh tak acuh pada lingkungan hidup. Seperti kita ketahui bersama, pembangunan yang dilakukan manusia hanya untuk kepentingan diri sendiri. Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, tidak dibarengi dengan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup. Akibatnya terjadi apa yang disebut Kiai Sahal sebagai pergeseran keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan.
Keseimbangan dan keserasian sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk. Sayangnya, kemaslahatan tersebut lebih cenderung bahkan dominan pada keinginan dan kepuasan manusia sendiri. Sebagai ulama Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja), Kiai Sahal mendorong pengikutnya melakukan aktualisasi nilai-nilai aswaja dalam pelestarian lingkungan hidup agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan.
Mitigasi Bencana di Pesantren
Model dakwah Kiai Sahal kita kenal dengan model dakwah bil haal yaitu dakwah dengan tindakan nyata. Pemikiran fiqh beliau yang kontekstual (fiqh sosial) menjangkau seluruh bidang kehidupan, baik ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, budaya, hingga lingkungan hidup. Di tangan Kiai Sahal fiqh tidak lagi kaku, hitam atau putih, halal atau haram, namun kontekstual sehingga mampu menjawab permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat. Dalam dakwahnya, pesantren selalu dijadikan semacam laboratorium sosial agar mampu berkiprah dalam masyarakat, selain menjadi tempat menuntut ilmu agama Islam tentunya.
Pesantren dalam konteks mitigasi bencana sangat potensial dijadikan tempat menyemai dan menumbuhkan mitigasi bencana. Karena selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren sekaligus berperan sebagai lembaga sosial yang memiliki peran sosial dan bisa menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat. Di Jawa Tengah terdapat 5.850 pesantren dengan jumlah santri mencapai 500 ribu lebih (BPS, 2015) dan merupakan propinsi dengan jumlah pesantren terbanyak ketiga di Indonesia. Maka pendidikan mitigasi bencana melalui pesantren akan berdampak signifikan karena pesantren ada di tiap kabupaten di Jawa Tengah.
Upaya mitigasi bencana di pesantren dalam tulisan Kiai Sahal bisa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan proyek, pendekatan motivasi, dan pendekatan kolaboratif antara proyek dan motivasi. Saat bencana telah datang dan menimbulkan kerusakan, maka pendekatan proyek paling tepat. Meskipun idealnya pendekatan ini digunakan sebagai langkah antisipasi sebelum bencana terjadi. Misalnya proyek naturalisasi sungai, pembuatan waduk, sumur resapan, tanggul, reboisasi, atau proyek lainnya. Pemerintah dapat menggandeng dan bekerja bersama pesantren sesuai dengan kondisi geografisnya.
Pendekatan motivasi seperti dijelaskan sebelumnya adalah langkah mitigasi bencana melalui pengajaran dan pendidikan. Jika dimungkinkan, pesantren dalam peran mitigasi bencana bisa dengan pendekatan motivasi dan proyek sekaligus. Berbagai pengetahuan tentang lingkungan dan mitigasi bencana diajarkan dengan terintegrasi dalam kurikulum pesantren. Kemudian ditindaklanjuti dengan proyek yang dikerjakan bersama pesantren untuk melestarikan alam dan mitigasi bencana.
Pada bagian akhir, Kiai Sahal menjelaskan kemungkinan proyeksi pesantren pada pembinaan lingkungan hidup itu perlu perumusan matang –agar memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi-. Apakah pesantren bertindak sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator, dan fasilitator? Semua disesuaikan dengan ketersiapan pesantren dan kondisi geografis di mana pesantren itu berada. Demikianlah Kiai Sahal, pemikirannya visioner melebihi zamannya. (M. Sofyan Alnashr, Ketua LPPM IPMAFA Pati)