Hanya Se Tinggi Lutut tapi Membunuh Harapan
Oleh : Maulana Karim Sholikhin*
“Halah, cuma banjir ndak sampai se lutut,” celetuk seorang kawan di antara riuh hujan. Seketika telinga penulis memanas. Belum usai gemuruh dalam dada akibat ungkapan nyelekit itu, ternyata masih berlanjut.
“Media terlalu membesar-besarkan.”
Nah, kalau yang ini sudah ndak bisa di biarkan. Uraian ‘khotbah’ unfaedah itu harus segera di sliding tackle sebelum meluas ke mana-mana.
Kebanyakan orang hanya melihat sisi visual. Toh, korban banjir masih bisa haha hihi sambil ngopi ditengah genangan air. Bukankah mereka tidak apa-apa?.
Itu bukan bagian dari adegan kebahagiaan hidup, kawan. Justru dengan cara itulah mereka mencoba melepas kesemrawutan fikiran akibat hektaran sawah yang berubah jadi ‘lautan’. Setidaknya teror gagal panen yang terus menghinggapi fikiran bisa absen sejenak hingga teguk kopi terakhir.
Sekarang bayangkan! Sawah yang (ketika panen nanti) rencananya akan digunakan untuk bayar kuliah anak, transfer orang tua yang ada di luar kota, bangun rumah, ngangsur BRI dan bayar ini itu.
Sawah yang menyimpan harapan mereka satu atau dua bulan mendatang. Sawah yang ditimang-timang, diruwat sampai mandi keringat, everyday sejak terbit fajar hingga nyaris tenggelam matahari, sawah yang… habis sudah di telan air bah.
Bagi mereka, para korban, banjir yang hanya se bawah lutut adalah belati yang mencabik-cabik harapan, membunuh cita-cita. Tunai sudah penderitaan dan rasa perih para korban bencana, jangan ditambah lagi dengan olokan nol makna.[]
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam