Dear, Zaujiy
Aku tidak akan mengatakan kisahku ini adalah kisah langka, lain daripada yang lain, atau extraordinary. Karena kenyataannya begitu banyak perempuan di dunia ini yang dibebat takdir menyedihkan sepertiku. Menikah bertahun-tahun tapi tak kunjung dianugerahi rejeki berupa keturunan. Menjadi pihak yang harus mau tidak mau memaklumi perasaan mertua dan suami yang ingin sekali menimang bayi. Apalagi suami adalah anak sulung dan memiliki adik janda yang tak kunjung terlepas dari belitan status sosialnya itu. Lalu pada siapa lagi harapan ibunya memiliki cucu harus bermuara kalau bukan pada suamiku?
Perempuan semacamku harus rela perasaannya terabaikan dan tidak perlu dicemaskan sebab memang vonis dokter adalah takdir ilahi. Jika bersuara keras di depan suami bukanlah sebuah dosa, aku juga ingin menyuarakan hak asasiku. Aku ingin menumpahkan semua kesedihanku. Seperti; siapa sih yang tidak ingin punya anak, Mas? Istri mana yang tidak ingin mengandung benih suaminya? kamu pikir aku tidak hancur dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa memberi keturunan? Kamu pikir kamu saja yang ingin mendengar suara tangis bayi dari darah daging sendiri? Atau kalimat bantahan lainnya. Sungguh sudah lama aku ingin menyembur muka suamiku dengan kalimat-kalimat itu. Begitu pula malam ini, saat tubuh kami berada di atas peraduan kasih kami selama berpuluh tahun. Kucoba untuk berbicara dari hati ke hati. Kuturunkan egoku dan kulirihkan suaraku. Kutekan rasa perih yang mengonggok dalam sukma sekuat tenaga. Berharap tanda-tanda suami ingin berpoligami hanyalah kekhawatiran belaka.
“Mas.”
“Hem?”
Hening sebentar. Tubuh Mas Naufal telentang dengan mata terpejam. Kedua tangannya dilipat di atas dada. Aku tahu dia belum tidur karena bulu matanya masih bergerak-gerak. Sedangkan aku nyata-nyata menatap suamiku dengan poisisi menghadapnya dan pipi bertumpu pada telapak tangan kanan.
“Mas.”
“Apa, Dek Husna?”
“Jangan tinggalkan aku ya, Mas?” suaraku lirih dan berat, seberat beban dalam dadaku.
“Maksudmu?” tanya Mas Naufal. Kini matanya terbuka. Menatap langit-langit kamar yang remang-remang.
“Ya, Mas Naufal jangan ada pikiran menikah lagi. Aku tidak siap diduakan.”
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Dek. Tak pernah ada dalam kamus hidupku menceraikanmu. Kamu adalah cinta pertamaku dan akan selamanya begitu.”
Mawar-mawar di hatiku bermekaran. Rasanya begitu membahagiakan. Aku semakin menatapnya lekat.
“Tapi Mas Naufal nggak ada akan berpoligami kan?”
Aku sudah bersiap memasang senyum lalu sigap memeluknya karena yakin Mas Naufal akan menjawab dengan kalimat manis yang menenangkan seperti; jangan khawatir, Dek meskipun kita tidak memiliki anak toh kita sudah punya banyak santri yang kita sayangi seperti anak kita sendiri dan menyayangi kita seperti orang tua mereka sendiri. Tidak memiliki keturunan bukanlah pencapaian tertinggi. Pencapaian tertinggi adalah bisa dekat dengan Allah dan mati dalam keadaan khusnul khotimah. Kiai Sahal Mahfudz yang merupakan ulama besar dan jelas-jelas butuh kader untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan pesantren saja tidak berpoligami. Kiai Sahal memilih setia meski beliau dan istrinya, Bu Nyai Nafisah belum dikaruniai keturunan seperti kita. Masa aku yang mantan preman begini berani-beraninya menikung prinsip beliau. Anak memanglah sebuah pengikat yang menjadikan tali pernikahan semakin erat. Tapi banyak pula di luar sana yang memiliki banyak anak akhirnya bercerai juga. Atau punya banyak anak tapi anaknya nakal-nakal, suka membangkang dan menyakiti hati orang tuanya. Anak bukanlah jaminan bahagia.
Tak kusangka jawaban suamiku di luar prediksi. Setelah menarik napas panjang ia dengan tega melontarkan kalimat serupa pisau tajam, “Lha emang kamu nggak pengen aku punya anak?”
Lalu dengan bodohnya aku menjawab, “Ya, pengen lah, Mas.” Karena aku memang ingin memiliki anak. Tapi anak yang hidup sembilan bulan di perutku, anak yang lahir dari rahimku. Bukan anak dari benih suamiku tapi lahir dari rahim perempuan lain. Bukan. Aku tidak bisa seperti Siti Sarah rela yang Nabi Ibrahim menikah lagi. Aku tidak mampu menerima kehadiran Siti Hajar yang lain di kehidupanku.
“Emang kamu nggak pengen emakku punya cucu? Kamu nggak kasihan?” tanyanya lagi. Seolah memberi penegasan bahwa dia dan ibunya lah yang paling nelangsa di muka bumi.
“Iya, Mas. Pengen.”
“Kamu tidak usah khawatir, Dek. Ketahuilah! yang pertama tidak akan tergantikan sampai kapanpun.”
Setelah itu aku tak mampu bersuara lagi. Sambil menekan dada aku berguling memunggungi. Kami saling beradu punggung setelah percakapan singkat tadi. Ternyata ide menikah lagi suamiku adalah nyata. Bukan sebuah mimpi buruk atau kekhawatiranku saja. Jawabannya tadi sudah cukup menjadi bukti bahwa dia menginginkan kehadiran bayi dari rahim perempuan lain. Cairan bening yang sejak tadi menggelayut di ujung mataku berubah hujan deras yang membasahi pipi serta bantalku. Namun aku bertekad dalam bisu tak akan membiarkan suamiku tahu bahwa aku sedang menangis dan tergugu. Aku takkan membiarkan dia atau bahkan diriku sendiri menilai lemah hati ini.
Apapun yang akan terjadi di masa depan, siap tidak siap harus kuhadapi. Beruntung aku adalah seorang santri yang punya bekal cukup untuk mengarungi lautan pahit kehidupan. Salah satunya nasehat ini.
“Kunci kebahagiaan hidup itu ada tiga; sabar, ikhlas dan syukur.”
Jika aku tidak bisa ikhlas jika kenyataannya suamiku menikah lagi, aku masih punya sabar dan syukur. Karena aku tahu, bersyukur itu lebih baik dan bersabar itu lebih didamba. Aku yakin jika kita menitipkan urusan pada Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari apa yang kita harapkan. Semakin kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya, tapi jika kita mengkufuri nikmat itu, azab Allah sangat pedih. Di tengah kepungan ujian ini, Allah masih mempercayakan sebuah pesantren yang kurintis dari nol, majlis ta’lim Al-quran, Jami’iyah Tartilan, Bimbel AnNaufal Children. Semua itu adalah keberuntungan dan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli apapun.
“Husna … kamu kuat, Husna. Allah tidak akan menguji diluar kemampuan hamba-Nya.”
Saat ini siapa yang akan menguatkan aku jika bukan diriku sendiri. Bukan Mas Naufal yang kini sudah terdengar dengkur halusnya. Bukan adekku Yasalil yang sudah jauh di mata, hidup bahagia bersama suami dan ketiga anaknya. Bukan bapak yang sudah senja, bukan pula jangrik dan katak yang berdendang bersahutan di luar sana, apalagi ibuku yang sudah kembali pada Yang Maha Esa.
Kuambil mushaf di atas nakas dan mendekapnya erat. Daripada tak bisa tidur dan menangis seperti anak kecil, lebih baik aku menderas. Teman yang kubutuhkan dan bisa mengobati lukaku hanyalah Al-quran. Ayat yang berbunyi والذ ين اوتوالعلم درجات bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan beberapa derajat berhasil menyertetku ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku. (Elin Khanin)
yasalil orang tayu pati yang dimaksud bahagia dengan suami dan ketiga anaknya, faktanya sekarang sudah cerai dengan suaminya. tanpa ada yg tau
cerita dalam cerpen kebanyakan adalah fiktif, terima kasih sudah membaca
yasalil sairoh sudah cerai dengan suaminya. bukan hidup bahagia.
terima kasih atas apresiasinya
terima kasih