Curah
Uang bukanlah segala-galanya, tapi segalanya butuh uang. Siapa yang tidak tergiur dengan uang. Apalagi gratisan. Kali ini pemerintah kita kembali menggelontorkan uang BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat pada situasi pandemi Covid-19.
Sedikit cerita di desa tempat saya tinggal, ada salah satu warga yang mendapat bantuan. Sebut saja namanya Mbah Rah, sudah sepuh berjalan saja susah. Si Mbah mendapatkan bantuan BLT dengan pencairannya harus datang ke Kantor Pos Kecamatan tak boleh diwakilkan dengan syarat membawa KTP/KK asli serta kartu yang berlogo Pos.
Malam itu saya mendengar dari cerita ibu dan ibu-ibu tetangga yang lain ketika sedang berkumpul setelah mengikuti tahlil. Mereka terus membicarakan dan membandingkan pemberian BLT sekarang dan sebelumnya. Jika dulu terlihat tertib dengan berbaris rapi antri satu per satu, namun kini terlihat carut marut. Bisa jadi sebab waktu pencairan mendekati lebaran; jadi semua orang membutuhkan.
Waktu pengambilan untuk yang sekarang dimulai pukul 15.00, serbat cepat dan singkat. Dengan waktu 3 jam sampai adzan magrib berkumandang, tak akan kuat untuk melayani sekitar 700 an penerima bantuan. Pelayanan dan pemohon tak seimbang. Apalagi ada syarat ketentuan berlaku yaitu jika uang diberikan dan dicairkan harus vaksinasi terlebih dahulu bagi yang belum.
Desak-desakan dan saling dorong tak dapat terhindarkan mengingat waktu singkat dan lagi yang dapat jatah adalah kebanyakan para Ibu. Setelah asar adalah waktu dimana para Ibu memasak untuk menyajikan menu berbuka untuk keluarga. Maka seandainya bisa diwakili oleh anggota keluarga yang lain, tentu sangat berterima kasih, apalagi pemerintah desa mempunyai insiatif mengordinir warganya untuk dibantu mengambilkan. Jadi tak ada acara desak-desakan dan tergesa-gesa. Begitulah curahan hati mereka.
Selepas mengikuti kegiatan tahlil tersebut saya diajak Ibu menjenguk salah satu tetangga yang katanya mengalami musibah saat pengambilan BLT. Saya mendengarkan ceritanya dengan seksama. Singkat cerita ia ikut mengantri dan berdesakan di depan pintu pos. Ia tersungkur ke lantai dan naasnya tangannya terinjak oleh warga yang lain.
Awalnya ia menghiraukan rasa sakit karena dalam angannya mengira hanya terkilir sedikit. Sesampainya dirumah ia pergi ke tukang pijat, namun ia baru tau bahwa tangannya patah segera ia periksakan ke dokter. Uang bantuan yang didapatkan lalu lenyap begitu saja hanya untuk biaya pengobatan tangannya. Kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab.
Saya pernah berpikir, seandainya bantuan-bantuan semacam ini dikelola oleh pemerintah desa pasti akan lebih efisien. Selain hemat waktu dan tenaga, pun menghindarkan dari yang namanya berdesakan dan saling dorong antar warga. Bukan semacam ini, warga yang harus mengurus dan mengambil haknya sendiri dengan cara berdesakan. Saya melihatnya miris, namun saya tak bisa berbuat apapun.
Seharusnya segala macam hal yang menyangkut warga desa, pemerintah desa punya kewenangan untuk tahu dan membantu mengurus. Bukankah tugas seorang pemerintah adalah untuk melayani warganya. Itulah sekelumit cerita dari Curah (Curahan Hati Rakyat).
(Inayatun Najikah, Pembaca Segala)