Pahala
Oleh : Niam At Majha
Bulan puasa sudah memasuki pekan kedua. Tentu kita sudah merasakan tentang dahaga dan lapar; menahan emosi dan lain seterusnya. Bulan penuh berkah katanya para pemuka agama; bulan penuh pahala yang mengalahkan seribu bulan. Dan pada bulan ini semua orang telah menobatkan apabila dirinya adalah yang mendapatkan banyak pahala. Bahkan banyak yang mengemukakan untuk berlomba-lomba mencari pahala. Sehingga lupa sebagai manusia yang hidup di bumi akan tetapi telah berubah menjadi Tuhan yang bisa mengatur si A akan ke neraka dan si B akan masuk surga. Begitulah adanya.
Tentang pahala tentu bukan kita yang menentukan akan tetapi Tuhan semesta alam yang menentukan semua yang akan kita jalani lakukan akan mendapatkan pahala kelak setelah kehidupan di dunia ini. Sehingga tugas kita ketika berada di dunia ini yaitu berusaha menjadi manusia seutuhnya. Berlaku sewajarnya ketika puasa dan menghadapi berbuka pun seadanya; toh kapasitas perut kita pun cukup satu piring saja.
Sedangkan yang selama ini yang telah saya dan teman saya lakukan yaitu ketika menghadapi berbuka semua menu makanan dikupulkan menjadi satu; ada es ada sayur ada lauk dan pauk beraneka ragam; bahkan ketika akan berbuka saja pun bingung karena banyaknya menu. Itu berbuka puasa apakah balas dendam karena seharian telah di tahan dahaga dan laparnya.
Padahal untuk mendapat sebuah pahala di bulan puasa ini sangatlah mudah. Dan amat sederhana yaitu salah satu diantaranya adalah mengurangi keinginan meminum dan memakan apa saja saat berbuka puasa. Mengurangi mengupload aneka menu makanan di media sosial kita baik di Whatsapp. Dengan maksud dan tujuan bahwa dibelahan sana ada saudara kita sebagai manusia ada yang kurang beruntung dengan apa yang kita punyai saat ini.
“Media-media sosial saya sendiri kenapa banyak yang sewot”
Saya pernah membaca postingan tersebut di salah satu media sosialnya seseorang. Saya kira orang tersebut lupa apabila media sosial adalah ruang pribadi yang publik. Dari situ kita bisa mendapatkan beragam pahala apabila kita bijak dalam mengggunakan jari kita ketika dipergunakan untuk menulis sesuatu. Begitu pula sebaliknya.
“Mas…mas sebenarnya Anda ini mau nulis pahala dari sudut pandang siapa? Pemuka agama yang ketika habis selesai menjelaskan surga dan neraka serta pahala dan dosa harus terselip paperline ketika bersalaman dan mengucapakn terima kasih”
Saat mendapatkan pernyataan tersebut saya hanya diam sesaat. Yang saya tulis ini merupakan bagian sedikit bagaimana kita menjadi manusia seutuhnya saling menghargai dan saling berbagi meskipun sekuatnya. Kalau bahasa kerennya adalah menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
“Memang bisa mas…….?”