80/20
Oleh: M. Iqbal Dawami
Minggu pagi biasanya saya sepedahan ke sawah atau tambak. Atau keliling kampung. Tapi minggu pagi itu saya tidak kemana-mana. Saya ingin membaca dan menikmati secangkir kopi. Pilihan saya jatuh pada buku Strawberry Generation karya Rhenald Kasali.
Saya membeli buku ini sebulan sebelumnya. Baru beberapa bab saja saya baca pas ada waktu senggang. Dan kali itu adalah waktu yang cocok untuk saya khatamkan. Ternyata belum bisa mengkhatamkannya juga. Saya memang bukan pembaca cepat saat ini. Lain halnya dengan masa lalu, masa-masa rajin menulis resensi.
Apa yang saya dapatkan dari hasil bacaan tadi?
Ada beberapa kata kunci yang menarik untuk saya bahas. Tapi saya hanya akan membahas satu kata kunci saja.
Rhenald Kasali mengutip Vilfredo Pareto, seorang ekonom dan sosiolog berkebangsaan Italia, bahwa “Sebanyak 80 persen hasil ternyata diperoleh hanya dari 20 persen usaha.” Hal ini berlaku dalam bidang apapun.
Lantas, Rhenald memberi contohnya. Dia mengatakan bahwa dari seluruh pemakai gawai, ternyata hanya 20 persen di antara kita yang mampu memanfaatan 80 persen dari fungsi-fungsi yang tersedia pada gawainya. Sebaliknya, sebanyak 80 persen pemakai gawai ternyata haya bisa memakai 20 persen dari seluruh fungsi yang tersedia dalam peranti tersebut. Banyak aplikasi lain yang menunjang dirinya tidak dimanfaatkan dengan baik.
Dalam kasus lain, hanya 20 persen pegawai dan staf yang mendukung proses transformasi. Selebihnya menolak, diam saja, tidak mengerti, atau ikut arus. Soal distribusi kekayaan juga sama, ternyata sebanyak 80 persen dikuasai hanya oleh 20 persen warga dunia. Sebaliknya 80 persen masyarakat dunia memperebutkan 20 persen kekayaan yang tersisa. Dan masih banyak lagi contoh lain.
Dari sudut pandang lain yang agak bermiripan dengan pernyataan Pareto adalah pernyataan George Bernard Shaw, seorang sastrawan, yang mengatakan, “Two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety-five percent of the people would rather die than think.”
Dalam hal ini Rhenald memberi contoh dalam dunia pendidikan, bahwa hanya dua persen dari seluruh tenaga pendidik yang betul-betul menjalankan perannya sebagai pendidik. Mereka ini adalah orang- orang yang tidak sekadar memindahkan isi buku ke kepala murid-murid, tetapi juga memperbaiki cara berpikirnya dan menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, hanya sedikit yang punya karya besar, bukan?
Dari dua teori di atas membuktikan bahwa kita punya kecenderungan menjadi passenger ketimbang driver (meminjam istilah Rhenald Kasali). Kita tidak mau bersusah payah melakukan sesuatu yang berbeda yang tentunya harus lebih baik dari yang sudah ada. Singkatnya, kita tidak ingin keluar dari zona nyaman. Nyaman yang sebenarnya melenakan. Bagaimana bisa?