Sekolah sebagai Taman

Sekolah, bukanlah dan tak boleh menjadi ‘menara gading’. Begitulah kira-kira maunya seorang filsuf Spanyol, Jose Ortega y Gasset, yang kemudian menjadi ungkapan populer.
Orang tahu apa yang dimaksudnya. Sebagai suatu lembaga yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, dengan impian-impian terbaik bagi masa depan mereka, tentu saja, sekolah tak boleh menjadi terasing dan atau mengasingkan diri dengan dan dari kehidupan yang wujud di sekelilingnya. Dalam kata-kata Derek Bok, mantan Rektor Universitas Harvard, sekolah “…pertama kali harus memenuhi janji atas kontraknya dengan masyarakat.
Jadi, apa sekolah itu?
Sekolah, mestinya seperti suatu Oasis, tulis Gene Bylinsky. Seorang pewarta lepas, dalam salah satu laporannya. Suatu tempat teduh dan sumber air di tengah padang pasir kerontang, tempat melepas lelah dan dahaga. Dalam artian ini, Bylinsky ingin memaknakan sekolah sebagai suatu tempat di mana orang-orang memuaskan dahaga keingintahuannya, mewujudkan utopia-utopia dan imajinasi kekaryawaannya, agar tidak mubazir dan sekadar fatamorgana. Jika perlu, kata James Hirsch, pakar mikrobiologi yang pernah menjabat sebagai dekan mahasiswa di Universitas Rockefeller, sekolah mestinya justru menjadi “…oasis dalam artian yang sesungguhnya; elitis dan eksklusif untuk mencetak kader-kader terpilih di masa depan bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia. (hlm. 112).
Akan tetapi sekolah sebagaimana dijelaskan oleh bapak pendidikan kita, diibaratka sebagai taman, maksudnya adalah sebagai tempat bermain anak-anak yang menyenangkan dan menggembirakan. Itulah esensi dari sekolah.
Karena kalau kita mengkritisi lebih dalam sekolah formal pada umumnya lebih cenderung membagakan pada output peserta didik, sebagai baromater kesuksesan sebuah lembaga sekolah. Bukan pada nalar berfikir, budi pekerti, dan kemandirian anak. Akan tetapi kebanyakan lembaga sekolah justru berlomba-lomba mencetak peserta didiknya lebih pada bekerja. Sehingga sekolah pun bisa juga dikiaskan sebagai pabrik atau perusahaan pengelolah. Dituntut memenuhi kaidah-kaidah ekonomi pasar (market economy) tentang permintaan dan penawaran tenaga kerja. Dengan kata lain sekolah menjadi suatu bagian mekanisme pasar tenaga kerja (labour market). (hlm. 115).
Agar sekolah tidak hanya sebagai mesin pencetak tenaga kerja, maka harus ada perubahan-perubahan yang diimplikasikan dalam lembaga sekolah. Sebagaimana dijelaskan oleh bapak pendidik kita yakni, sekolah juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan (memanusiakan manusia) dan memerdekakan peserta didik dalam belajar. Dimana tujuan mulia ini bisa menciptakan nilai-nilai kemandirian anak dan membentuk karakter atau kepribadian anak. Sehingga ketika lulus anak tidak bingung, melainkan sudah memiliki pasion masing-masing untuk ditekuni lebih dalam.
Dengan demikian, buku yang ditulis oleh Roem Topatimasang yang berjudul sekolah itu candu bermkasud mengajak pembaca lebih kritis dalam menanggapi dunia pendidikan agar tidak terjebak dalam legalitas dan formalitas yang ada dalam lembaga sekolah. Melainkan Pak Roem mengajak pembaca lebih jeli dan cermat dalam menanggapai persoalan tentang dunia pendidikan yang acap kali salah dalam mengaplikasikannya.
Judul Buku : Sekolah itu Candu
Penulis : Roem Topatimasang
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : Cetakan Ketigabelas, 2018.
Tebal Halaman: 131
ISBN : 978-602-0857-55-8
Peresensi : Siswanto