Kolom
Rekontruksi Gerakan Santri Nahdlatul Ulama
PCNUPATI-online. Menyebut istilah santri, tidak bisa terlepas dari peran utamanya yang salah satunya dalam bidang politik. Santri dan politik adalah dua istilah yang berbeda akan tetapi dapat menyatu karena merupakan perwujudan dari system Negara yang membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemennya yang salah satunya adalah santri dalam mengusung perubahan. Hal tersebut dapat dijalankan salah satunya melalui elemen politik. Dalam sejarah, banyak sekali dipertontonkan bagaimana peran para santri dari upaya mengubah yang sebelumnya bangsa ini belum merdeka menjadi bisa merdeka seperti sekarang ini.Kita dapat melihat secara langsung baik dalam buku, maupun dalam bentuk film diantaranya film Sang Kiyai. Sosok-sosok seperti Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid, yang mereka bukan hanya menjadi tokoh bagi pondok pesantrennya akan tetapi juga menjadi tokoh bangsa yang karena kontribusinya secara serius memang telah benar-benar ditampilkan dalam wujud peran politik yang sempurna.
Praktik keterlibatan santri dalam politik nampaknya sangat wajib dilihat dari berbagai perspektif. Perspektif pertama adalah memposisikan santri bukan hanya sebagai ahli dalam bidang agama saja, akan tetapi ahli dalam bidang kepemimpinan. Kepemimpinan disini tidak berarti harus mendirikan Negara Islam tentunya, karena esensi dari Negara Islam adalah kemaslahatan maka sudah barang pasti kalau politik yang diperankan oleh para santri dalam institusi Negara RepublikIndonesia (bukan memakai system Negara Islam)adalah bertujuan kemaslahatan tentunya akan dibenarkan juga.
Perspektif kedua adalah politik santri menggambarkan bahwa peran dari santri menolak adanya system kejumudan.Artinya dengan melihat dari praktif politik yang tidak efektif, kemudian ada keterlibatan dari para santri dan pada akhirnya menampilkan system politik yang secara terus menerus mengupayakan adanya konsep yang berubah-ubah demi terciptanya system politik yang unggul dalam mengusung kesejahteraan ummat.Praktik politik santri yang demikian menampilkan sebuah panorama terhindarnya kelumpuhan, kemandekan, stagnasi, kebekuan dari pemikiran santri dalam melihat persoalan sosial. Bukan hanya mengkritik akan tetapi mengambil alih atas semua persoalan yang ada.
Perspektif ketiga adalah politik santri merupakan upaya mengembalikan ruh dari system dakwah nabi Muhammad, yang bukan hanya menempatkan ritus-ritus agama sebagai dengan sifat spiritual, namun tentunya harus dibelokkan pada wilayah aksi nyata sebuah ajaran spiritual.Dapat dicontohkan ketika Rasulullah menjadi pemimpin pemerintahan saat itu yang dalam praktiknya benar-benar menampilkan sebuah kisah nyata sikap kepemimpinan bernafaskan ajaran spiritual.
Dengan melihat ketiga perspektif tersebut tidak mustahil dapat dinyatakan bahwa politik santri sangatlah wajib dilakukan. Dalam konteks kewajiban, selain mengacu pada pandangan di atas, juga dalam segi kuantitas, jumlah yang sangat besar dari para santri diharapkan mampu menjadi motor rekayasa sosial kebaikan melalui institusi politik.
Kepala Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama H. Abdul Jamil mengatakan, jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren(republika.com, 19 juli 2011). Fakta tersebut sangat jelas bahwa harus ada pertaruhan santri dalam politik.
Dalam hal ini tentunya akan sangat berbeda sekali jika kita bandingkan antara politik santri dengan pemikiran liberal. Liberalisme menekankan kebebasan yang tidak bertujuan sedangkan politik santri sangat menekankan tujuannya yaitu KemaslahatanUmmat.
Kewajiban Terlibat dan Berpolitik Para Santri Pati
APatisme merupakan sikap yang tidak bijak dilakukan dalam melihat realitas politik. Memang benar, dalam kacamata agama kecenderungan politik itu kotor, rusuh dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, hal ini karena tampilan yang Nampak adalah tampilan luar politik yang sebenarnya. Namun yang menjadi esensi politik sebenarnya secara teori bukan demikian.
Politik merupakan sebagai alat pencapaian tujuan. Dalam siyasah IslamiyahpolitikIslam harus berwatak jelas dan tidak menggunakan sikap dan sifat menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud dalam hal ini tentunya bukan keburukan akan tetapi adalah kemaslahatan.
Dalam perspektif Islam sendiri, secara subtansial seluruh ajaran syariat Islam berorientasi pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia.Itulah sebabnya Ibnu Taimiyah mengatakan dimanapun ada kemaslahatan bagi umat manusia disitu pasti ada syariat Allah.Jadi, syariat Islam mengakomodasi segala hal yang menciptakan maslahat sebanyak-banyaknya bagi umat manusia.Oleh karena itu, Al Syatibi mengatakan inti politik Islam adalah mendatangkan maslahat sebanyak-banyaknya bagi manusia dan menolak madharat sebanyak-banyaknya dari manusia. Berangkat dari sinilah akan terbentuk kesimpulan bahwa kemaslahatan yang kemudian menentukan sikap dan keputusan politik (Anis Mata, Menikmati Demokrasi Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, 2007).
Hal inilah yang menjadi jurang pemisah antara politik Islam dengan politik kaum barat. Fungsi dan orientasi yang dituju dalam politik Islam cukup jelas akan tetapi politik barat masih kabur dalam hal utamanya landasannya.Sebagai acuan yang terjadi kemudian jika Indonesia menganut system politik barat maka nuansa kebebasan dengan meninggalkan kesan dan pesan moral akannampak membentuk karakter masyarakat.
Adanya bentuk dari politik Islam sebagai alternative untuk dijadikan acuan merupakan suatu bentuk tata kelola baru yang nantinya dapat diupayakan dan secara maksimal menjadi arah penentu pola yang diharapkan oleh bangsa.Dilain pihak system politik Islam juga bisa menjadi cermin untuk mengukur apakah bentuk yang diterapkan sudah sesuai dengan tatanan yang baik dan bijak.
Ketika suatu ajaran Islam memang telah menyiapkan bentuk diwajibkannya dan dibolehkannya tatanan Islam dalam berpolitik, tentunya masyarakat Islam yang salah satunya kaum santri harus mampu melaksanakannya. Salah satu perintah untuk menyebar benih kebaikan melalui institusi politik tersebut adalah
“Hendaknya ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru pada kebaikan, serta mengajak pada kema’rufan dan mencegah dari kemungkaran.” (Q.S. Ali Imran: 104)
Artinya, wahai kaum muslimin, hendaknya kalian membentuk sebuah jama’ah di antara kalian, yang memiliki kriteria sebagai sebuah jama’ah, yang melakukan dua tugas yaitu tugas menyeru kepada Islam dan tugas mengajak pada kema’rufan serta mencegah dari kemunkaran.
Perintah untuk mendirikan jama’ah itu merupakan perintah yang tegas. Sebab, tugas yang dijelaskan oleh ayat di atas, agar dilaksanakan oleh jama’ah itu adalah fardlu, yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam banyak ayat dan hadits. Dengan demikian, perintah yang tertuang di dalam ayat tersebut bermakna wajib, yaitu fardlu kifayah bagi seluruh kaum muslimin. Disini apabila tugas tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian orang hingga tuntas, maka yang lain telah gugur kewajibannya untuk melaksanakan tugas tersebut. Perintah ini bukan merupakan fardlu ain (yang berlaku bagi masing-masing individu muslim). Karena Allah meminta kepada kaum muslimin agar mereka mendirikan sebuah jama’ah dari kalangan mereka, yang bertugas menyeru pada kebaikan serta amar ma’ruf dan nahi munkar. Meskipun demikian kaum santri harus punya kepentingan yang sama.
Sedangkan sebuah jama’ah, hingga menjadi sebuah jama’ah yang secara langsung mampu melaksanakan tugas tersebut, dalam kapasitasnya sebagai sebuah jama’ah itu harus memiliki syarat-syarat tertentu sehingga menjadi sebuah jama’ah, yaitu harus melaksanakan tugas tersebut. Sedangkan syarat-syarat yang menjadikan jama’ah itu menjadi sebuah jama’ah adalah adanya ikatan yang mengikat semua anggotanya agar menjadi satu tubuh atau sebuah kelompok. Dimana tanpa adanya ikatan itu, niscaya jama’ah yang harus didirikan sebagai sebuah jama’ah yang bertugas sebagaimana layaknya sebuah jama’ah itu tidak akan pernah terwujud.
Jamaah disini tentunya tidak bisa kita samakan dengan jamaah yang menggunakan pendekatan kekerasan. Namun jamaah disini berorientasi sesuai nilai-nilai penyebaran kemaslahatan bukan sebaliknya dan jamaah disini juga mengedepankan sense of crisis, sense of belonging dan mengedepankan kepentingan nasional atau umum saat mengambil keputusan.
Sense of crisisyaitu kepekaan terhadap permasalahan.Makna dari Sense of crisis adalah semua Ilmu dan sikap yang dimiliki dicurahkan untuk kepentingan mengatasi masalah.Upaya mencurahkan tersebut karena dimotori dari masalah yang selama ini ada dan berkembang yang kemudian harus direspon secara cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan penyelesaianya.
Sense of belonging secara harfiah berarti rasa memiliki akan sesuatu. Sense of belonging ditampilkan dalam sikap mampu memiliki bangsa ini ditengah kemajemukan.Hal ini seperti halnya yang pernah dipraktikkan oleh KH Abdurrahman Wahid yang menjadi bapak Pluralisme.Beliau sebagai bapak bangsa bukan hanya bicara Indonesia dengan mengatasnamakan NU.Akan tetapi beliau bicara Indonesia mengatasnamakan sebuah institusi yang utuh yaitu dari sabang sampai merauke.
Sedangkan mengedepankan kepentingan nasional adalah sifat dimana keutuhan suatu bangsa harus menjadi prioritas utama, dan dalam membuat langkah tentunya aspek kepentingan semua kalangan selalu diutamakan dan dikedepankan.
Seni Politik Para Santri Pati
Dilema yang bermunculan dalam kondisi social masyarakat Pati utamanya adalah masalah kerusakan moral karena kebijakan yang diciptakan kurang mengakomodir kepentingan masyarakat.Salah satu diantara kebijakan tersebut adalah masalah karaoke.
Kebijakan atas penertiban karaoke selayaknya menjadi bagian dari upaya mengefektifkannya sebagai langkah pengendalian masalah social yang ada akibat efek negative yang ditimbulkan. Namun perkara efektifitas pengendaliannya tidak mudah mengingat cara pandang suatu daerah banyak dititiktekankan dalam kerangka otonomi fiskal.
Otonomi fiscal dalam hal ini efek yang ditimbulkan akibat dari cara pandang yang melihat prioritas tersebut hanya ditempatkan sebagai upaya pengoptimalan pendapatan daerah. Tentunya kebijakan yang hanya berlandaskan otonomi fiscal tersebut tidak sesuai mengingat barangkali dampak yang ditimbulkan seperti diantaranya adalah kerusakan moral, perilaku criminal akan menjadi imbas dari kebijakan yang tidak bernuansa keadilan antar generasi tersebut.
Melihat salah satu dilema saja tentunya sudah harus meresponnya dengan bertindak seobjektif mungkin yaitu dengan melakukan serangkaian cara yang nantinya dapat memaksimalkan peran kebijakan disuatu daerah tentunya yang pro kepentingan rakyat. Pada dataran teoritis sudah dikemukakan semua kalangan harus terlibat utamanya kaum santri untuk mempengaruhi suatu bentuk kebijakan yang ada.
Disini kemudian urgensinya dalam memunculkan tokoh-tokoh santri yang mampu mengemban amanah dan punya konsep yang jelas terhadap arah politik Pati seharusnya. Diharapkan dengan keterlibatan santri dalam mengubah cara pandang arah politik akan memberikan suatu gambaran yang jelas dan jernih terhadap politik sebenarnya seperti apa?.Sehingga Pati bukan hanya terkenal sebagai kota karaoke akan tetapi juga kota gerakan politik santri NU.
Dalam menggagas gerakan politik santri nanti bukan hanya diarahkan untuk memberantas amar ma’ruf nahi munkar.Namun yang lebih penting lagi perlu dilakukan gerakan santri dalam memberdayakan ummat. Seperti halnya memperbanyak Baitul Maal disetiap desa, lembaga waqaf, pembuatan LSM dan masih banyak lagi bentunya yang diarahkan secara khusus untuk memaksimalkan peran dalam mendesain NU bukan sebagai lembaga pengamat dalam politik, akan tetapi ikut terlibat dalam gerakan politik yang lebih mengedepankan perjuangan penyebar kemaslahatan ummat seperti halnya yang pernah diajarkan Abah Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid.
Gerakan politik santri NU secara lahiriyah telah memiliki modal besar dalam membuat gerakan.Modal pertama adalah secara jumlah.Dalam hal jumlah terdapat angka yang signifikan kaum santri yang ada di Pati.Kita lihat saja dibeberpa desa atau kecamatan terdapat kantong-kantong santri yang secara kuantitatif jumlahnya sangat banyak. Seperti halnya di daerah Kajen Margoyoso, Guyangan, serta daerah-daerah lain. Disini kemudian upaya menunjang adanya gerakan dapat dimotori atas jumlah.Semakin jumlah besar, maka semakin pula potensi pencapaian dapat secara mudah dijalankan.
Modal kedua adalah ketokohan.Tidak usah menjadi pertanyaan lagi jika Pati memiliki tokoh-tokoh besar dalam membeckup para santri dalam membuat gerakan politiknya.Hal ini mengasumsikan bahwa gerakan ini arahnya jelas, karena mudah sekali mendapatkan bimbingan yang secara tidak langsung dapat memperkuat dan meluruskan atas tujuan yang nantinya mau diinginkan. Persoalan kemudian mampukan antara para tokoh dan santri ini saling menguatkan???.Tentunya kita tidak hanya selalu larut dalam pertanyaan yang acapkali membuat kita tidak kokoh dalam berorientasi kedepan. Hal-hal yang bersifat pertanyaan dan berkarakter melemahkan tersebut tentunya harus dikesampingkan karena akan memperberat perjuangan. Yang harus dilakukan adalah selalu maju dan berorientasi ke depan untuk mewujudkan kebaikan.
Modal ketiga adalah sejarah.Sejarah mencatat kemajuan Pati tidak terlepas dari adanya gerakan dakwah yang salah satunya dilakukan oleh KH Ahmad Mutamakin Kajen. Gerakan dakwah yang dilakukan KH Ahmad Mutamakin Kajen ini kemudian yang mengilhami banyak tokoh-tokoh NU Pati yang bukan hanya terlibat dakwah pada kawasan local, akan tetapi nasional seperti yang pernah dilakukan oleh KH Sahal yang menjadi sesepuh NU Pusat.
Sejarah disini berfungsi sebagai petunjuk dan rujukan untuk berjalannya suatau gerakan nantinya dan sebagai sarana untuk mengobarkan semangat bagi para santri terlibat dalam gerakan politik.Tentunya antara sejarah sebagai rujukan dan sejarah sebagai modal semangat seperti halnya yang dikobarkan oleh para pahlawan menjadi sangat penting untuk dimiliki. Keempat adalah modal penerimaan.Modal penerimaan masyarakat sudah dimiliki oleh kalangan santri.Santri di Pati sangat dianggap kaum terpelajar dan mereka dapat menjadi panutan di masyarakat.Keempat modal tersebut menjadi bagian yang telah ada dan nantinya dapat diefektifkan, sehingga gerakan politik santri menjadi contoh gerakan politik santri diseluruh Indonesia dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.(oleh Muhammad Junaidi. Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Khittah Lakpesdam PCNU Pati)