Rangkaian Hujan
Aku sangat menyukai momen ini, saat kecil. Hujan. Adalah momen bahagiaku untuk bermain di setiap rintik-rintiknya. Entah sambil berlari-lari atau hanya sekadar berguyur di bawah deraiannya. Lain halnya dengan sekarang, paling tidak suka dengan hujan. Bukan, lebih tepatnya kehujanan,. Aku tak pernah menyalahkan Tuhan yang menurunkan hujan. Hanya saja aku tak menyukai kehujanan. Itu saja. Kalau hujan ya harus pakai jas hujan, tak boleh kehujanan nanti sakit. Begitu prinsipku.
Detik ini aku masih diluar. Bekerja serabutan harus bermodalkan kuat fisik. Harus menjaga kesehatan apalagi ditambah musim Pandemi. Selain menjadi.
“Mbak Admin” di suatu PT, aku juga menambah kesibukan di dunia bimbel (bimbingan belajar).
“Ra, nanti jadi sama aku pulangnya?”
“Jadi Syi, nanti turunkan saja aku di depan bimbel Syakir”
“Lalu, setelah itu kamu pulangnya gimana?”
“Gampang”, jawabku enteng.
“Gampang gimana? Kamu aja tidak bawa sepeda motor”
Aku hanya diam tak menjawab deretan pertanyaan Rosyita. Pasalnya hari ini aku memang tak membawa kendaraan. Sepeda motor kesayanganku itu dipinjam kakak sepupuku keluar kota selama seminggu. Mengingat jarak rumah dengan bimbel kurang lebih 1 jam perjalanan, aku tak mungkin untuk jalan kaki apalagi naik angkot, ah jangan aku tak menyukainya. Aha, aku minta jemput saja sama si kakak, batinku.
“Ra?”
“Hem”
“Gimana?”
“Iya, nanti dijemput kakak”
“Bukannya kakakmu keluar kota?”, kepo Rosyita yang kelewatan plus super bawel tapi perhatian.
“Engga, ini kakakkku, temenku, eh kakak kelasku”
“Ya sudah, hati-hati nanti”.
Dentingan jarum jam hari ini cukup bergerak cepat. Matahari sorepun sudah mulai mengintip di luaran sana. Pukul 16.00 WIB, aku segera bergegas pulang bersama sahabatku Rosyita. Menelurusi jejalanan yang ramainya seperti sedang mengantri bantuan covid nineteen. Huft!
Kurang lebih lima belas menitan perjalanan dari tempat kerjaku menuju tempat bimbel. Alhamdulillah masih ada waktu lima belas menit lagi untuk istirahat.
Done. Rasanya begitu melelahkan namun cukup membahagiakan. Nas! aku ingat sesuatu. Sedari tadi aku belum membuka benda kecilku, handphone. Segera kubuka, meneliti satu persatu chat WhatsApp yang masuk. Jari-jariku mulai aktif mencari nama “kakak” diruang chat WhatsAppku. What? Aku kan belum chat dia, auto ku klik tombol calling. Berdering. Sekali tidak ada jawaban, ku coba lagi. Kakak, nama di layar hpku masih berdering, tapi tak kunjung “hallo”. Sudah tiga kali namun masih nihil. Tak seperti biasanya dia seperti ini. Tiba-tiba perasaanku tak enak, entah perasaan apa ini. Dengan tangan gemetaran dan dada sesak, kududukkan lagi tubuhku di kursi depan. Sementara langit mulai menghitam, sepertinya akan turun hujan.
Klunting!
“Aku lagi sibuk, jangan telepon dulu”
Sejenak aku menghembuskan nafas pelan. Membuang perlahan, terpaksa harus naik angkot. Sepuluh, dua puluh hingga tiga puluh menit pun angkot tak kunjung lewat. Tak bisa dibiarkan, ini jam berapa?. Sudah jam sembilan malam. Nah, kan aku bahkan lupa kalau batas angkot lewat jalan sini hanya sampai pukul delapan malam.
Rupanya hujan semakin deras, ku genggam erat jaket yang menempel ditubuhku. Udara juga semakin dingin belum lagi jalanan yang mulai sepi. Dengan perasaan was-was aku beranikan menunggu jemputan di bawah derasnya air hujan. Barangkali kakak khawatir dan memikirkanku karena tak kunjung pulang. Baiklah aku akan sedikit bercerita tentang kakakku.
Kakak adalah orang yang cukup berarti dalam hidupku. Bersama dengannya layaknya seperti mempunyai kakak kandung sendiri. Selain orangnya friendly, ia juga humoris, ahli matematika dan bertanggungjawab. Bukan karena ia anak orang kaya aku berteman baik dengannya, melainkan ketulusan hatinya lah menjadi sebab musababnya. Sejak kecil memang rumah kami bersebelahan, hingga pada akhirnya berteman akrab layaknya adik kakak.
“Rera…temani kakak di warung sebelah ya”
Diam, bingung.
“Tidak masalah, hanya sebentar, tadi aku sudah ijin sama ibu kamu”, katanya sambil menggandeng tanganku.
“Jika kamu sudah besar nanti, kakak akan tetap di samping kamu kok. Kita selamanya bermain bersama. Tapi kamu harus rajin belajar dan wujudkan cita-citamu. Janji sama kakak, ya!”
“Permisi Mbak, boleh tanya alamat ini?”
“Mbak”
“Eh, iya mbak maaf. Gimana ?”
Wanita itu kembali mengulangi pertanyaannya. Telah berhasil membuyarkan lamunanku, ia memperlihatkan tulisan yang dibawanya. Jln. Mawar Indah. Alamat yang tidak asing bagiku, sudah barang tentu itu alamat daerah sekitaran rumahku. Setelah kuberi tahu dan malahan aku diberi tumpangan dengan cuma-cuma.
Hujan sudah mulai reda, kini tingal gerimis-gerimis syahdu. Tak ada lagi yang ku khawatirkan, di sini aku aman sama temannya kakakku. Pertanyaan ringan-ringan pun kami lontarkan untuk saling mengakrabkan. Sebentar, sebentar, bukannya kakak tak memiliki teman perempuan yang bernama Lisya? Lalu, dia siapa? Apa aku dibohongi? Atau dia pacarnya? Selama ini kakak tak pernah cerita. Ah atau pacar barunya kali. Bodo amat, itu kan hak kakak, toh dia hanya sekedar kakakku dan aku adiknya, selamanya tak mungkin bersama.
Mendengar penuturan kak Lisya aku semakin tidak suka. Ada perasaan yang tak bisa kudefinisikan, apa itu? Aku tidak mengerti. Mungkin hanya iri atau tidak rela jika kakak bersama wanita lain.
Sesampai di rumah. Aku dan kak Lisya pun turun. “Kak, nanti tinggal lurus saja, rumah yang berdinding hijau, nah itu rumahnya”, kataku menjelaskan ketika hendak perpisahan.
“Assalamu’alaikum”
Sepi, tidak ada sahutan, bak rumah tak berpenghuni, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sudahlah, mungkin sudah tidur.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birth day, happy birthday, Rera. Barokallah Rera”
“Selamat ulang tahun, Nak, semoga panjang umur dan disukseskan semua hajatmu”, ucap bapak dan ibu kemudian.
“Semoga di usia ke-25 mu ini menjadikanmu tambah dewasa dan sehat selalu”, lanjut kakak kemudian dibelakangku tiba-tiba sambil membawa kue.
Seketika itu aku pecah, bulir-bulir putih mengalir begitu saja. Aku sendiri lupa akan umurku sekarang. Sudah disibukkan dengan pekerjaan hingga umur saja aku sempat melupakannya. Pulang disambut dengan kejutan begitu membahagiakan.
“Selamat ulang tahun ya, Rera, semoga kamu segera dipertemukan dengan pasangannmu”
“Lho kak kok masih disini?”
“Iya dong kan mau ketemu denganku”, kata kakak dengan merangkul pundak wanita itu.
Manyun, aku tak menanggapi candaannya. Terselip rasa cemburu. Tunggu bilang apa aku tadi. Cemburu ? Apa-apaan.
“Rera, ibu, bapak, di sini Adit hendak meminang putri panjenengan. Jika sekiranya bapak ibu merestui, Adit akan segera menghalalkannya”
What? Drama apalagi ini. Apa dia tidak takut pacarnya cemburu. Sudahlah aku pergi ke kamar saja.
Baru kaki hendak melangkah satu langkah, “Rera, nak Adit belum selesai bicara.”, kata ibu mencegahku.
“Adit serius bu, pak. Selama ini Adit hanya mencintai Rera. Wanita satu-satunya yang bisa membuat Adit nyaman.
“Gimana Ra, kalau bapak sangat setuju”
“Ibu juga merestui”
“Terima saja Ra, kalian cocok”, kak Lisya ikut menimbrung.
“Ga usah kaget, aku ini adik sepupunya yang sudah berpisah sejak kecil. Cerita tentangku nanti saja. Ayo gimana jawabnya. Kasihan tuh abangku mukanya jadi kusut”
Tuhan kejutan apa lagi ini. Tesss, aku pun menangis semakin menjadi-jadi. Tangis haru bahagia tak dapat lagi kubendung. Dengan mengucapkan.
“Bismillah aku siap dan menerima” yang kemudian disusul pelukan Ibu dan bapak, juka kak Lisya. Hari itu adalah hari bahagiaku. Akan kurekam hingga anak cucu nanti. Kenapa tidak. Di sisi lain memang aku mengaggumi kakak dan ternyata ia pun memiliki perasaan yang sama.
Bersamaan dengan itu hujan menjatuhkan dengan butiran kecil, paket komplit, hujan dan kejutan yang terurai menjadi rangkaian hujan. Kini, aku menyukainya kembali, karenanya hujan banyak kejutan indah yang membentuk rangkaian cerita. Terimakasih Tuhan sudah menurunkan hujan dan merangkai menjadi kebahagiaan.
Biodata Penulis
Namaku Laili Nur Azizah. Untuk komunikasi denganku bisa melalui akun instagram “sekecap_rasa”.