Mempertahankan Tradisi Nilai
Oleh: Maulana Karim Sholikhin
Ngumbah keris atau gaman (mencuci benda pusaka) menjadi tradisi malam 1 Muharrom di Pulau Jawa. Ritual ini digunakan sebagai ajang untuk menyambung ‘silaturrahim’ antara pemilik keris dan benda keramatnya setidaknya setahun sekali.
Hanya saja, kultur yang telah melegenda ini, terancam punah akibat pengkultusan terhadap benda-benda semacam itu sudah mulai langka. Benda pusaka hanya dianggap sebagai besi tua dengan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Padahal, bagi Orang Jawa, keris adalah partner of life, bisa dikatakan isteri ke dua setelah isteri sungguhan. Maka pengkormatan terhadap keris murni dilakukan atas dasar cinta.
Meski seperti penulis katakan tadi, tradisi ini secara praktis sudah mulai memudar, namun kita masih bisa mempertahankan nilai yang ada dalam ngumbah keris. Salah satunya ya, dengan mengubah mindset.
Caranya begini, katanlah keris adalah sesuatu yang memiliki tugas penting dalam hidup kita. Dia juga menjadi simbol strata sosial. Maka, tinggal analogikan saja, apa ‘keris’ kita di era modern ini. Apakah objek yang kita keris-kan memang layak mendapat posisi itu? Atau kita hanya mengeriskan sesuatu yang omong kosong?
Pertama, tentukan dulu keris kita. Misalnya, keris itu adalah pemikiran kita, maka kedua, berikanlah penghormatan padanya meski hanya satu tahun sekali. Rehatkanlah dia, manjakanlah dia dengan liburan atau jalan-jalan.
Jika keris itu berupa iman, berilah somethings spesial padanya meski setahun sekali. Hilangkan tendensi dunia barang sehari untuk mendekat pada-Nya. Yang ada hanya Dia, tanpa ada yang lain.
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam