Bagai Pungguk Menjerat Bulan Part 5
Oleh : Elin Khanin
“Jadi orang tuamu juga terinspirasi dengan tokoh Salman Al-Farisi?” Tanya Abah Thoyfur setelah menjelaskan alasan kenapa kucing Nyai Maryam punya kesamaan nama dengannya.
“I … ya, Yai. Mommy saya nge-fans dengan Salman Al-Farisi,” jawab Salman jujur. Abah Thoyfur manggut-manggut.
“Salman Al-Farisi itu hebat banget. Dia punya pengalaman yang sangat luas tentang teknik dan sarana perang. Dia pencetus penggalian parit perlindungan daerah terbuka di sekeliling kota Madinah saat terjadi perang khandaq. Sehingga adanya parit itu para Quraisy tidak bisa menerobos kota begitu saja dan gagal menyerang Rasulullah. Mommy ngefans orang yang pintar bersiasat seperti Salman.” Salman tiba-tiba teringat lagi penjelasan Mommy-nya. Dia yakin, Nyai Maryam juga punya alasan yang sama dengan Mommy-nya, yaitu ngefans dengan orang yang pintar bersiasat seperti Salman Al-Farisi.
Salman Al-Farisi yang ini juga pintar bersiasat kok. Siasat dalam mencari perhatian. Buktinya sekarang ekor matanya terus saja mencuri pandang ke arah perempuan yang kini fokus pada layar handphone. Sulit memang mengabaikan sekejap saja pesona Nyai Maryam. Dan anehnya, setiap kali Salman melirik, detik selanjutnya, Nyai Maryam juga menatapnya. Seolah-olah ada magnet di antara keduanya. Bloody hell, jangan sampai ada Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha part dua ya?
“Jadi gimana tadi?” tanya Yai Thoyfur. Salman yang tadinya terbengong karena terjebak oleh tatap tak sengaja dengan Nyai Maryam, langsung mengerjap. “Gimana … gimana, Yai?”
Abah Yai terkekeh. Nyai Maryam geleng-geleng. Berusaha masa bodoh dengan pertanyaan santai Yai Thoyfur dan kedunguan Salman. Dia kembali menatap ponselnya dan tampak mengetikkan sesuatu di sana. Tapi perhatiannya segera teralihkan saat seekor kucing masuk dari arah pintu yang terletak di pojok ruangan. Kucing berbulu lebat warna abu dan hitam yang sempat membuat Salman salah paham itu kembali menghampiri majikannya.
“Hey, Salmaaan,” sapa Nyai Maryam pada kucingnya. Tapi saat ini tidak hanya hewan peliharaannya yang merasa terpanggil. Melainkan ….
“Bukan Salman kamu!” sentak Nyai Maryam pada Salman. Lelaki itu kembali menunduk. Ingin rasanya ia mengumpat, “Anjiiiir.”
“Yang tadi sore itu. Kamu kok berani nembak Zoeya?” tanya Abah Thoyfur membuat Salman kembali fokus pada percakapan.
“Zoeya?” Dahi Salman mengernyit.
“Itu … Zoeya Maryam.” Abah Thoyfur menunjuk Nyai Maryam dengan dagunya sebelum kembali menatap Salman.
“Oh, em ….” Zoeya? Bagus sekali namanya. Salman reflek menatap iri pada kembarannya yang kini bergelayut manja di pangkuan Nyai Maryam. Betapa beruntungnya kucing berbulu hitam itu. Kanapa bukan Salman yang berkemeja hitam saja yang dielus?
“Saya hanya menjalankan tantangan MOS, Yai, Bah,” jawab Salman sesuai fakta. Awalnya. Karena selanjutnya tiba-tiba saja dia merasa tidak sedang menjalani tantangan. Melainkan apa yang dilakukannya tadi sore seolah murni sebuah panggilan jiwa, akibat efek dari rasa kagum yang berlebihan sejak objeknya adalah Nyai Maryam.
“Oh, tantangan MOS?” Tanya Abah Thoyfur.
“Iya, Yai.” Lalu melirik lagi kea rah Nyai Maryam.
“Mana pengurus yang lain? Mereka juga bertanggun jawab menjelaskan insiden tadi sore,” sambar Nyai Maryam dengan nada ketus. Pasang matanya yang sekilas menyorot wajah Salman serasa seperti sebilah pedang yang terayun ke udara dengan cepat. Aduh. Sakit. Nyeri.
“Itu di ruang tamu, Nya … i.” Ronggeng. Salman hanya meneruskannya dalam hati. Entah mengapa ada rasa tak rela saat menyebut julukan itu. Di matanya, Nyai Maryam amat sangat belum pantas mendapat gelar tersebut. Dia seharusnya masih dipanggil “Dek.” Dedek Maryam. Dedek Zoeya. Wow, kiwoyo.
“Oh ya? Suruh sini, suruh sini,” pinta Abah Yai sambil mengangkat tangannya. Setelah mengangguk, Salman beringsut mundur untuk memanggil para pengurus yang mungkin sudah bergelempangan di ruang tamu karena terlalu lama menunggu.
Tapi, perkiraan Salman ternyata salah. Keempat lelaki yang mengerjainya tadi masih segar bugar dengan duduk bersila seperti arca candi Borobudur di atas karpet yang terbentang di ruang tamu. Ingin rasanya Salman menjitak satu persatu para lelaki yang kini masuk beruntun ke ruang tengah. Namun perhatian Salman malah tersita oleh cara berjalan mereka yang kompak menggunakan lutut. Mirip suster ngesot. Harus begitu ya?
“Apa benar, Kang, kalau ada tantangan semacam itu?” Tanya Abah Thoyfur sambil menatap satu persatu lelaki yang kini duduk melantai di hadapannya, di dekat sebuah akuarium.
“Nggeh, Bah. Benar.” Kang Awan mewakili teman-temannya menjawab pertanyaan. Abah Thoyfur seketika terkejut mendengarnya. “Tapi kami tidak tahu, Bah. Kami kecolongan,” imbuh Kang Rif’al, saat menangkap ekspresi maysgul di wajah Abah Thoyfur.
“Kecolongan gimana?” Tanya Nyai Maryam, masih dengan nada tinggi.
“Mungkin ada yang menyelundupkan kertas tantangan itu, Ummah,” jawab Kang Husni. “Ulah santri senior rese, Um.” Kang Frans mengimbuhi.
“Lha apa nggak di cek dulu sebelum diedarkan?” Pertanyaan Nyai Maryam semakin terdengar mengintimidasi. Rasanya Salman ingin mengibarkan bendera kemenangan melihat para lelaki dari Qismul Amni itu saling lirik dan saling menggeleng. Muka mereka tampak rusuh seperti para tawanan saat menghadap prajurit Jepang.
“Ka-kami lengah dan terlalu percaya pada pengurus dan panitia MOS, Ummah.” Kang Rif’al menjawab dengan suara bergetar. Berbeda sekali saat memprovokasi Salman beberapa saat tadi. Sementara Salman tersenyum miring. Tampak sangat puas melihat para pengurus keamanan tersudutkan.
“Itu berarti salah kalian. Saya nggak mau tau ya. Cepat tangkap siapa santri kurang ajar itu! kerahkan semua Jasus!” Titah Nyai Maryam.
“Baik, Ummah,” jawab para pengurus keamanan serempak seperti saat Upin Ipin merespon nasehat atau titah neneknya.
“Dan kamu … Salman.” Salman langsung mendongak, bersitatap dengan pasang mata bak pedang itu. Seketika Salman menurunkan bendera kemenangannya saat sadar dia belum luput dari sorotan Nyai Maryam.
“Belajarlah adab dan sopan santun. Saya tidak akan mentolerir lagi jika kejadian seperti tadi terulang. Meskipun itu tantangan MOS, harusnya kamu menolak dan protes. Ini di pesantren. Nggak se—”
“Kami para santri baru dilarang protes, Nya … Um—mah,” potong Salman sambil menatap berani pada Nyai Maryam. Sementara para pengurus keamaan memejamkan mata.
Ya, Salman tentu tidak lupa saat ketua MOS berseru lantang.
“Tidak diperbolehkan protes dan memberi tahu isi dari kertas tantangan yang sudah diambil pada siapapun. Kamu bersedia ambil berarti setuju melaksanakan tantangan ini.” Salman menirukan ucapan sang ketua MOS yang tak lain adalah Kang Husni. Lelaki bermuka petak dan bermata dalam itu semakin menunduk. Dia pasti sudah menyesali ucapannya tadi di aula.
“Benar itu, Kang?” tanya Abah Thoyfur, terdengar mencoba mengimbangi kemarahan Nyai Maryam.
Kang Husni melirik takut-takut sebelum akhirnya menjawab, “Benar, Bah. Maafkan saya, Bah. Tujuannya biar surprise, Bah,” ungkap Kang Husni.
“Kalian ….” Nyai Maryam tampak menarik napas, mencoba mengontrol emosi. “Bersihkan selokan selama seminggu.”
Leher Salman langsung tegak. “Sa-saya juga, Nya … Ummah?”
“Iya.” Nyai Maryam melotot.
Apa? Tuan muda sepertinya harus membersihkan selokan? Tidak bisa … tidak bisa.
“Ta-tapi ….” Salman ingin unjuk rasa. Dia hanya korban MOS kan di sini? Dia hanya menjalankan sesuai aturan yang ada. Dia sungguh tidak sudi jika harus membersihkan selokan. Lebih baik dia keluar dari pesantren saat ini juga. Masa bodoh dengan segala mimpi Mommy dan amanah Opa.
Tapi … kenapa ada rasa tak rela?
Di tengah kebimbangan itu, kucing yang sejak tadi bergelayut manja di pangkuan Nyai Maryam tiba-tiba saja menghampiri Salman. Seperti ingin menyalurkan rasa empati sebagai sesama Salman. Sungguh kucing ini, sangat berperike-Salman-nan. Salman tertunduk, reflek mengelus bulu-bulu halus Salman.
“Ya kasihan to, Nok. Dia kan santri baru. Ini dikasih peringatan dulu. Baru nanti kalau diulang lagi dikasih hukuman.” sela Abah Thoyfur. Huft, Salman langsung menghembuskan napas lega. Ingin rasanya dia mencium kedua pipi Abah Thoyfur sambil mengucapkan beribu-ribu terimakasih.
“Begini saja. Untuk efek jera, Salman dikasih takziran bantu merawat Salman saja. ngasih makan dan mengantar ke salon selama seminggu. Gimana, Kang Salman?”
Sebentar … Salman terlihat bingung sejenak. Yang sedang diajak bicara Abah Thoyfur Salman yang mana? Yang dikasih makan dan diantar ke salon yang mana?
“Wong sudah akrab begitu.” Abah Thoyfur terkekeh sambil menatap kucing yang kini menggelesot di depan Salman.
“Kamu mau kan bantu merawat Salman? Seminggu saja,” tanya Abah Thoyfur lagi.
Salman tertegun sebentar. Sulit rasanya menolak perintah orang yang telah berjasa untuknya. Merawat kucing selama seminggu jauh lebih baik daripada membersihkan selokan bukan?
“I-iya, nggak apa-apa, Bah.” Jawaban setengan yakin itu meluncur begitu saja dari mulut Salman, bersamaan dengan sahutan suara yang terdengar menggemaskan. “Meoooong.”
Salman berkemeja hitam dan Salman berbulu hitam saling tatap. Membuat seringaian kecil terbit di bibir Salman berkemeja hitam. Seolah dari seriangaian itu, Salman berkemeja hitam berbicara, “Oke, Bestie … bantu aku biar dekat dengan majikanmu.” Dan bendera kemenangan kembali berkibar.