Bagai Pungguk Menjerat Bulan Part 4

Oleh : Elin Khanin
“Salmaaan … come on. Kamu ngapain sih?”
Fix, suara itu semakin membuat Salman ge-er. Ditambah provokasi dari sana sini membuatnya ingin mengangkat pantat dan memenuhi panggilan itu sesegera mungkin. Tapi ia sempat ragu saat meneliti ekspresi wajah para pengurus bagian keamanan, Kang Frans, Kang Husni, dan Kang Rif’al. Ada senyum berbau mengejek di wajah ketiga lelaki ini. Hanya Kang Awan yang terlihat netral. Dia kembali ke jati dirinya yang asli, kulkas dua pintu.
“Apa sih, Kang?” Salman menoleh dengan bersungut saat Kang Rif’al mendorong punggungnya. Lelaki berkacamata tebal itu terdengar menggumam-gumam tak jelas.
“Lha itu loh kamu dipanggil,” cetus Kang Rif’al dengan mengulum senyum. “Kayaknya Ummah juga kesengsem sama kamu,” imbuhnya, meruntuhkan satu lapisan pertahanan Salman.
“Santri yang baik itu cepat tanggap kalau dapat panggilan. Apalagi yang manggil Bu Nyai dan Kiai,” sambung Kang Frans semakin menipiskan lapisan pertahanan Salman. Kang Awan geleng-geleng melihat kelakuan teman-temannya.
“Bukan aku itu,” jawab Salman waspada.
Jangan mau diperdaya lagi sama senior, Man. Bisa jadi kan, Bu Nyai Maryam cuma nguji keimanan kamu, seperti Siti Zulaikhah menggoda Nabi Yusuf. Sisi lain hatinya menceramahi.
“Salmaaan … kalau dipanggil tuh jangan diem aja. Kamu sakit ya?”
Lagi. Suara itu terdengar. Seketika semua lapisan pertahanan Salman runtuh. Hanyut terbawa arus. Degup jantungnya seperti berlomba. Rasanya semua darahnya berkumpul di dada dan membeku beberapa saat. Dia yakin memang dialah yang dipanggil Bu Nyai Maryam. Bu Nyai Maryam mungkin sudah tahu kalau dia sedari tadi menunggu di ruang tamu bersama para pengurus bagian keamanan. Bukankah malam ini Nyai Maryam memang memanggil mereka untuk mengusut kasus tadi sore? Dan oke, Salman sadar, dia tidak setegar dan sekuat Nabi Yusuf. Dia hanya santri baru yang sedang berada di fase pekan ta’aruf.
“Cepetan, Mon. Ini kesempatan untuk lebih dekat dengan Bu Nyai.” Bujuk rayu Frans terdengar seperti suara setan yang pernah menggoda Nabi Adam dan Siti Hawa. Begitu sulit diabaikan.
Salman meraup mukanya yang terasa panas. Ia hembuskan napas kuat-kuat dari mulut.
“Gimana kalau bukan aku yang dipanggil?” tanyanya dengan sisa-sisa keraguan yang sudah setipis kertas.
“Siapa lagi disini yang namanya Salman? Elu, ‘kan?” tegas Husni, lelaki kurus, bermata dalam dan bermuka petak.
Salman menatap lagi gorden yang tampak sedang melambai-lambai ke arahnya, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju sumber suara yang sejak tadi menganggunya. Ia masih dengar suara kikikan tertahan dari belakangnya. Tapi ia memilih masa bodoh untuk terus melangkahkan kaki. Bismillah … ia singkap gorden, lalu ….
“Iya, Bu Nyai … I am com … ing.”
Salman hampir tak bisa meneruskan ucapannya saat sepotong wajah pucat dengan mata membeliak kaget sedang terpaku ke arahnya. Dia pun terpaku hingga hampir tak bisa bernapas saat berdiri begitu dekat dengan sosok paduan Natasha Wilona dan Seo Ye Ji ini. Betapa indahnya ciptaan-Mu, Ya Allah. Salman merasa tubuhnya berubah kaku. Dia hanya bisa termangu saat suara bak halilintar itu serasa seperti air comberan yang langsung dituangkan ke mukanya.
“KAMU? NGAPAIN KESINI? KURANG AJAR EMANG. SANTRI NGGAK PUNYA ADAB!”
Nyai Maryam menunjuk-nunjuk Salman murka.
Salman yakin pasti saat ini para senior begundal di ruang tamu itu sedang menertawainya. Merayakan atas kemenangan telah berhasil membodohinya. Makanya, Man. Ikuti kata hati ya lain kali. Jangan mudah terkena bujuk rayu orang. Bu Nyai Maryam pasti tadi cuma iseng ngerayu kamu.
“Ma-ma’af, Bu Nyai. Saya hanya memenuhi panggilan,” jawab Salman takut-takut. Ia tundukkan wajah dalam hingga dagunya hampir menyentuh dada. Baru kali ini ia dibentak oleh orang asing hingga membuat tulang belulangnya hampir remuk.
“Ya, kamu kan bisa tunggu di ruang tamu. Nggak harus kesini. Ini area privasi saya. Ngerti?” geram Bu Nyai sambil masih mengacung-acungkan jari. Sesekali napasnya terdengar tersengal seperti habis lari ribuan kilometer. Kalau Salman perempuan tentu sudah ia tampar dan jambak sedari tadi.
“Tapi tadi Bu Nyai manggil saya suruh cepet kesini,” kelit Salman. Ini tidak boleh terjadi. Dia adalah korban penipuan di sini dan sudah seharusnya membela diri. Go Salman … GO!
“Kapan aku manggil kamu?” Nyai Maryam merasa pangkal gerahamnya beradu kuat. Sabar, Nyai … sabar.
“Tadi … sampai beberapa kali. Salman … my sweety come here. Salman kalau dipanggil tuh jangan diem aja.” Salman menirukan seruan-seruan tadi. Nyai Maryam memejamkan mata sambil menarik napas untuk mengontrol emosinya. Wajahnya sudah berubah merah seperti habis disiram air panas.
“Salman … itu nama kucingku.” Nyai Maryam berbicara dengan gigi-giginya yang masih beradu kuat.
“Apa?” Salman menatap tak percaya.
“Lihat! Itu kucingku … namanya Salman.” Bu Nyai menunjuk kucing yang sedang duduk di pojok ruang tengah. Kucing jenis anggora dengan bulu kombinasi hitam dan abu itu seketika lari terbirit-birit. Mungkin dia juga tengah ketakutan mendengar majikannya marah-marah.
“Owh … em.” Salman speechless. Oke … dia sudah salah paham. Ternyata benar-benar salah paham. Dia ingin hengkang saat ini juga, tapi sial … kedua kakinya seperti tak bisa digerakkan. Ia merasa malu tapi juga merasa terhina.
Salman reflek menggigit-gigit bibirnya. Miris, namanya yang selalu dibangga-banggakan itu dipakai untuk nama kucing? Sebentar … ralat. Namanya sama dengan nama seekor kucing? Setampan-tampannya kucing Anggora, tetaplah ini sebuah penghinaan. Arrrggghhhh ….
“Maaf, Nyai. Saya pikir ….”
Salman ingin membela diri. Dia tetap harus meluruskan kesalahpahaman ini. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin, ‘kan? tidak harus dengan marah-marah. Apa cewek cantik di atas rata-rata itu memang sukanya marah-marah?
“Ada apa sih, Nok, kok teriak-teriak? Nanti didengar santrinya loh.”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar bersamaan dengan suara daun pintu yang diseret. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar berbusana koko putih dan sarung muncul dari sana. Rambutnya yang memutih sebagian tertutup oleh peci putih. Kelopak matanya sayu tapi sorotnya terasa menikam ketika menatap seseorang. Dan sorot seperti pedang itu kini membuatnya menunduk lebih dalam.
Harum kasturi langsung merebak ke sepenjuru ruangan saat sosok ini muncul. Langkahnya pelan tapi pasti. Senyumnya tipis tapi terasa menginterogasi. Sekali tatap setiap orang pasti punya asumsi yang sama. Aura lelaki ini tidak main-main. Dia … Kiai Thoyfur. Raja diraja-nya Al-Mukmin. Salman seperti melihat Opa-nya di dalam lelaki nomor satu Al-Mukmin ini.
“Ini nih, Bah. Ada santri baru nggak tau diri. Masa nyelonong masuk kesini.” Nyai maryam menghentakkan kaki. Benar, dia harus segera duduk agar amarahnya sedikit mereda. Salman masih tak bisa mengucapkan sepatah kata sampai Kiai Thoyfur melempar pertanyaan padanya.
“Butuh apa, Cung?” tanyanya dengan suara yang berat tapi kalem.
“Sa-saya hanya memenuhi panggilan, Abah Yai,” jawab Salman sambil melirik sekilas ke arah lelaki yang kini duduk di salah satu sisi sofa di ruang tengah itu. Kiai Thoyfur manggut-manggut.
“Lha itu kamu sendiri yang manggil, Nok?” Kiai Thoyfur melirik perempuan yang duduk tak jauh darinya.
Nyai Maryam menghela napas sebelum kembali berbicara. “Lha ini, Bah santri yang bikin geger sepondok tadi sore,” ungkap Nyai Maryam.
“Ooh, yang nembak kamu itu?” Lalu terkekeh pelan. Seolah kasus ini bukan hal yang serius baginya. Salman kembali menggigit bibir. Jantungnya semakin berdegup serabutan.
“Sini, Cung … sini.” Kiai Thoyfur melambaikan tangan, meminta Salman mendekat. Salman mengangguk, lalu reflek mengambil posisi duduk melantai di sisi sofa yang diduduki Kiai Thoyfur. Sejak tadi kaki-kakinya terasa lumpuh.
“Siapa nama kamu?” tanya Kiai.
“Salman, Kiai.”
“Salman?”
“Salman Al-Farisi,” jawab Salman menyebutkan nama lengkapnya.
“Dia ini ngira aku manggil dia, Bah. Padahal kan aku manggil kucing,” tangkis Nyai Maryam tanpa ditanya. Kiai Thoyfur terkekeh lagi setelah tahu penyebab kemarahan perempuan itu.
“Oooh, ya berarti Kang Salman ini ndak salah,” bela Kiai Thoyfur. Membuat Nyai Maryam membeliak tidak terima. “Loh, Bah. Ya jelas salah lah. Kok main nyelonong aja. Kok ge’er.”
“Ya ndak ge’er to, Nok. Dia kan hanya menjalankan apa yang sesuai dia dengar dan dia lihat.”
Salman merasa telinganya tegak dibela seperti ini oleh Kiai Thoyfur. Seketika ia merasa berdosa telah dengan kurang ajar menjelek-jelekkan lelaki ini tadi dengan teman sekamarnya. Ternyata Edwin benar. Dia tidak boleh menge-judge seseorang jika belum mengenal lebih jauh. Kiai-nya ternyata seseorang yang berhati hangat dan sangat berwibawa. Kentara sekali berpengetahuan dan berwawasan luas. Pantas saja Nyai Maryam mau jadi istri keduanya. Diam-diam Salman mengakui ini.
“Terimakasih, Yai,” ucap Salman dengan suara bergetar.
“Jadi, Maryam menamai kucingnya Salman Al-Farisi karena terinspirasi oleh sahabat Nabi Muhammad yang ikut terjun di perang Khandak,” terang Kiai Thoyfur.
Salman mengangkat wajahnya. Apa? Nama lengkap kucing anggora itu juga Salman Al-Farisi? Benar-benar penghinaan level dunia ini. Dan kenapa tujuan memberi nama juga hampir sama? Selain karena ada nama “Faris” yang juga nama Daddy-nya, Mommy-nya pun gandrung berat dengan tokoh bernama Salman Al-Farisi itu saat mengandungnya dulu.
Kesamaan ini apakah pertanda jodoh?
Jika tidak berjodoh dengan majikannya, bisa dengan peliharaannya, kan? Nama sudah sama begitu. Jangan lagi berpikir aneh-aneh, Man.
Salman reflek melirik ke arah Nyai Maryam saat Nyai Maryam juga tengah menatapnya. Ah sial, kenapa tatapan membunuh itu justru membuat jantungnya berdetak lebih kencang.