Religion and Nation; Islam

Oleh : Siswanto, MA
Sebelum melangkah jauh ke dalam ruang-ruang teoritis, sebuah kajian ilmiah senantiasa mengandaikan upaya penjernihan terma-terma yang digunakan. Upaya penjernihan ini berfungsi untuk membuka cakrawala pemahaman awal sekaligus memetakan rute-rute praksisnya.
Mendefinisikan agama, dalam hal ini Islam, secara global dan utuh tentu tidak semudah dengan hanya menyatakan bahwa Islam adalah dogma yang mengajarkan tentang katauhidan semata. Karena memang pada kenyataannya Islam lebih dari itu. Paling tidak Islam memiliki dua tipologi eksistensial; di satu sisi ia adalah agama (religion), yakni sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan; dan di sisi yang lain ia adalah sebuah peradaban (civilization), yang mana selalu tumbuh dan berkembang di bawah nuansa dan pengawasan agama itu sendiri.
Ketika agama –dalam hal ini Islam- didefinisikan dengan dua tipologi seperti yang telah disebutkan, maka agama tentu tidak melulu berurusan dengan hal-hal suci terkait sistem kepercayaan semata. Sehingga pada ranah aplikasinya tentu harus disadari bahwa manusialah – dengan otoritas kebebasannya- yang akan memahami agama tersebut sesuai dengan kondisi sosio-kulturnya.
Oleh karena itu, agama dalam ajarannya senantiasa memperhatikan fenomena-fenomena kemanusiaan; baik fenomena psikologis, fenomena sosial, fenomena historis, bahkan sampai fenomena filosofis. Wahyu yang pada mulanya hanya Tuhan, Malaikat dan Rasul yang tahu dalam bentuk aslinya, kini berstatus menjadi teks yang dapat dibaca oleh semua umat manusia.
Sedangkan pemahaman agama (fiqh al-dîn) selalu berlandaskan pada sumber-sumber teosentris transendentalnya; Al-Qur’an dan al-Hadits. Berbeda dengan hal tersebut, corak manusia dalam memahami pola-pola beragama (fiqh at-tadayyun) tentu tidak sesederhana hanya dengan menjadikan teks sebagai piranti bingkai konseptualnya. Rancang bangun konsep kajian dalam memahami cara beragama manusia tidak akan pernah bisa luput dari realita-realita yang sepenuhnya berada dalam ruang dan waktu (al-wâqi’ al-zamaniy).
Sehingga nampak jelas dalam rekam jejak sejarah peradaban Islam bahwa umat Islam tunduk dan patuh dalam satu bentuk pemerintahan yang sama selama kurang lebih 12 abad, tanpa harus meributkan dan memperebutkan batas wilayah tertentu. Secara doktrin, Islam memang tidak mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, bendera, dan macam-macam simbol lainnya. Namun kesatuan umat tersebut mulai tercerabut setidaknya paska penaklukan Jengis Khan atas Bagdah pada tahun 1258. Menurut Chiara Formichi, hal inilah sejatinya yang melatarbelakangi lahirnya gagasan nasionalisme sebagai akibat dari fragmentasi kekuasaan teritorial dalam suatu wilayah.
Sedangkan dalam mengidentifikasi terma nationalism haruslah berangkat dari bentuk dasarnya, yakni nation. Nation sendiri menurut Christophe Jaffrelot berarti orientasi sebuah negara (state oriented), dimana nasionalisme (nationalism) secara sederhana merupakan ideologi jati diri bangsa itu sendiri. Anthony Smith, sebagaiama dinukil oleh Lowell W. Barrington, beranggapan bahwa bangsa (nation) adalah sebuah nama populasi manusia yang berbagi dalam
wilayah sejarah yang sama, mitos yang sama, memiliki berbagai budaya, bahkan konsep ekonomi dan hak-hak hukum untuk semua membernya. Adapun nasionalisme, masih menurutnya, adalah seperangkat ideologi yang berakar pada rasa solidaritas sebuah bangsa.
Dan berbicara mengenai bangsa (nation) dan orientasi ideologi gerakannya (nationalism) dalam sebuah negara (state) berarti juga membincang eksistensi manusia di dalamya. Ini berarti bahwa: “The people are the nation and the state exists as the expression of the national will.”
Eksistensi manusia yang tidak bisa lepas dari ruang (space) dan waktu (time) menegaskan bahwa keberadaannya pada suatu masa senantiasa terikat dengan sebuah tempat (place) dalam satu wilayah (region) sebagai wadah untuk menjalani kehidupan sosialnya. Jika konstruksi sosial tersebut baik dan benar, maka wadah inilah yang kelak akan menciptakan berbagai macam laku politik yang terilhami dari sama rasa, sama cinta, dan kepedulian terhadap pengalaman yang sama.
Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa nasionalisme sendiri setidaknya memiliki dua jenis tipologi. Pertama, Nasionalisme ekspansif, yakni sebuah paham ideologi yang mengkultuskan kampung halaman, suku, kabilah dan bangsa tertentu dengan lantas menundukkan bangsa-bangsa lainnya. Kedua, nasionalisme Formatif, sebuah paham ideologi perlawanan terhadap sistem penjajahan dan penindasan.
Jika kita cermati, tentu jenis yang pertama tidaklah sesuai dengan nilai keislaman. Mengingat sikap fanatisme (at-ta’ashub) menjadi ujung tombak perpecahan kedaulatan antar bangsa, bahkan juga negara. Adapun yang kedua justru mampu bersinergi dengan ajaran Islam. Sebab kecintaan terhadap tanah air (hubb al-wathan), pembebasan (al-hurriyah) dari segala bentuk penindasan dan penjajahan, serta mempererat tali persaudaran (al-ukhwah) justru merupakan bagian penting dari ajaran universal Islam itu senidiri. Sebab Islam dan Nasionalisme adalah entitas eklusif yang saling berhubungan.
Dengan demikian, perbincangan mengenai hubungan antara Islam dan Nasionalisme tidak diletakkan dalam posisi dikotomi struktural, melainkan harus dilihat sebagai hasil dialektika relasional. Sebab menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seseorang yang anti-nasionalisme. Fakta inilah yang telah kita dapatkan dari para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu, khususnya juga NU.