NU ‘Wali Nikah’ Budaya – Agama
Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Perkawinan adalah langkah membangun beradaban. Mengawinkan dua sijoli yang berbeda genre hingga latar belakang lingkungan akan menghasilkan generasi melalui proses romantisme dalam naungan gerimis malam-malam yang penuh kenikmatan. Semua karena di dasari cinta.
Maka, cinta adalah prinsip nomor dua. Sebab, prinsip pertamanya adalah perbedaan.
Kita dilarang menikah dengan sesama jenis, meski sama-sama cinta. Karena, hubungan semacam ini tak akan menghasilkan generasi penerus peradaban. Bisa di bilang, ini adalah prinsip berikutnya.
Namun, bukankah kita bisa memproduksi generasi tanpa pernikahan? Balik, apakah kita mau generasi penerus bangsa dicetak di kebun singkong yang sepi atau rumah pacar yang ditinggal bapak-ibunya?
Apa yang kita banggakan jika generasi penerus kita bikin lewat jalur gelap, menentang norma dan pastinya tanpa didahului doa, Allahumma jannibnaa assyaithaan??
Jadi jelas!, prinsip pernikahan adalah perbedaan, cinta, kesucian, melanggengkan eksistensi dan membawa kebahagiaan.
NU ‘Wali Nikah’ Budaya-Agama
Selama seratus tahun, NU telah menunjukkan kiprah organisasi. Namun jika berbicara kultur, nyatanya ulama-ulama model kiai NU sudah eksis di gelanggang dakwah Nusantara sejak zaman bahelak.
Mereka mengawinkan (lebih tepatnya mengakulturasi) kultur dengan agama. Selamatan yang sarat animisme, digubah dengan memasukkan nilai-nilai islami, macam doa, wirid, tahlil dan lainnya.
Pun ranah seni tak lepas dari tangan halus para wali. Pewayangan, hingga seni musik, semua bisa dijadikan media dakwah. Bahkan beberapa wali songo juga dikenal sebagai komposer, sutradara bahkan pencipta lagu.
Dengan pemdekatan ramah ini, dakwah telah kembali ke fitrahnya, mengajak, bukan membentak bahkan ‘memperkosa’ kehendak.
Bayangkan jika para pendakwah timur tengah dulu datang dan tiba-tiba bilang, “antum bi’ah, kafir, musyrik, neraka, jahannam!.” Bisa pulang dalam keadaan hidup saja sudah alhamdulillah.
Namun, para wali tidak melakukannya. Mereka mencintai perbedaan, melakukan ‘perkawinan’ budaya-agama dan melaksanakan misi islamisasi dengan tetap menjaga kesucian nilai.
Terpenting, para wali tersebut juga membawa kebahagiaan, hingga diteruskan oleh para pendiri NU, generasi hasil ‘hubungan sah’, suci nan harmonis antara agama dan Budaya Nusantara.[]
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam