Indonesia Tetap Merdeka, Meski Rakyat Sengsara
Oleh : Niam At Majha
Baru bulan lalu kita tertawa bahagia merayakan hari kemerdekaan, hari merdeka, nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, Merdeka, Sekali merdeka tetap merdeka, Kita tetap setia tetap sedia, sepenggal lirik dari lagu Coklat. Dan bulan lalu kita merayakan Kemerdekaan yang ke 77 tahun, beraneka ragam, bermacam macam perlombaan di hadirkan dan di adakan, mulai dari yang berseragam atau pun tanpa seragam, semua ikut meramaikan, dan sedikit melupakan angsuran dari bank, yang ketika naik jabatan membuka kredit kendaraan, dengan dalih untuk menaikkan taraf kehidupan, guna membedakan mana pegawai kantoran dan pegawai srabutan.
Itulah kehidupan, angan dan keinginan tiada akhir; ibaratnya semakin banyak gaya maka akan timbul banyak tekanan. Jadi makin bergaya maka makin tertekan. Mungkin pada tahun ini saya dan Anda di paksa untuk bertahan atau legowo menerima segala keputusan pemerintah, yang katanya telah merdeka 77 tahun berlalu. Menaikkan harga bahan bakar tak ubahnya seperti menaikkan harga gorengan di pinggir jalan. Pagi kedelai sorenya tempe, itulah Indonesia beraneka ragam suku dan budayanya.
Saya dan Anda tak bisa lari dari kenyataan ini, semua harus dihadapi apapun itu, semua tak dapat di pungkiri apabila harga kebutuhan pokok akan ikut merangkak sejalan dengan naiknya bahan bakar minyak; sebuah revolusi mental yang menjadi beban berat masyarakat.
Indonesia akan tetap merdeka meskipun rakyat makin sengsara. Kenaikan bahan bakar minyak tak dibarengi dengan kesejahteraan gaji para buruh pabrik, karyawan harian lepas dan lain sebagainya. Masih banyak di kabupaten kabupaten se Indonesia dari Sabang hingga sebelum Merauke yang gajinya dibawah UMK (Upah Minimum Kabupaten) para buruh mau nuntut, mau demo bingung, sebab rakyat belum merdeka. Hak bicara di kelola sedemikan rupa. Padahal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Wajar saja BBM naik lha wong subsidi untuk rakyat di cabut, sudah tak diberlakukan, dengan maksud dan tujuan agar masyarakat mandiri dan berdikari “ujar teman saya.
Subsidi dicabut setelahnya akan ada bagi bagi uang ke masyarakat seringkali, seharusnya di berikan malahan tak mendapatkannya. Itulah Indonesia kalau tepat guna tentu bukan Indonesia kita, yang beragam suku dan budayanya. Jadi teringat dengan Galang Rambu Anarki, BBM naik tinggi, Susu tak terbeli orang pintar tarik subsidi, Mungkin bayi kurang gizi.
Kembali kepada kenaikan harga bahan bakar minyak, seandainya, andai kata, jika kalau dan kemungkinan saya dan Anda apakah pernah berfikir liar rakyat bekerjasama satu padu berjuang sekuat tenaga, tumpah darah satu Indonesia agar untuk dua tahun saja tak membayar pajak kepada negara, sekali kali gantian biar ikut merasakan, bukan rakyat terus yang merasakan subsidi hilang, akan tetapi pemerintah juga ikut merasakan bagaimana rasanya pajak tak terbayarkan. Setimpal bukan?