Ustadz Macho
Syakur dan Romli tergopoh-gopoh menuju ndalem. Lalu mereka keluar dengan membawa satu buah koper, dua tas ransel milik Lora-nya dan tiga kardus dari Bu Nyai Haniva ke dalam bagasi mobil. Setelah memastikan beres mereka undur diri dan kembali berkutat pada pekerjaannya di dalam dapur. Tak berapa lama Farhan dan Habib muncul. Mereka berjalan beriringan menuju mobil warna silver yang sejak tadi disiapkan oleh Agus–supir senior mereka. Tak lupa mereka berpamitan dengan wanita yang sudah membesarkannya yang kini berdiri di teras. Seulas senyum anggun dan penuh sayang tersungging di bibirnya.
“Niatkan safar ini untuk menambah ilmu dan pengalaman, Bib,” pesan Bu Nyai pada putranya.
“Siap,” jawab lelaki itu dengan memiringkan tangan kanan dekat dahi membentuk simbol hormat.
“Sampaikan salam dan maafku pada Kiai Ghofur ya, Han. Gutteh-mu pagi tadi ada urusan ke luar kota. Gimana nanti para santri kalau semua orang di rumah tidak ada orang.”
Farhan mengangguk dan tersenyum. Ia tahu pasti suami Mejediknya itu sengaja menghindar darinya. Apalagi kemarin ia tahu Gutteh-nya terang-terangan menolak jika Habib ikut bersamanya. Juga hal itu yang memancing pembicaraan panas antara Kiai Syuaib dan Bu Nyai Haniva dua hari yang lalu.
“Apa kamu mau anakmu jadi babunya Farhan? Sudah jelas yang diundang dan dibutuhkan untuk ceramah itu Farhan bukan Habib,” gertak Kiai Syuaib pada istrinya. Farhan yang tak sengaja lewat menghentikan langkah dan terpaksa mencuri dengar percakapan serius itu. Saat undangan harlah Komunitas Perempuan Pesantren diantar oleh kurir ke ndalem.
“Tentu saja untuk belajar dan menambah wawasan, Bah. Habib itu kurang dalam segi agama.”
“Omong kosong. Dia sudah mondok bertahun-tahun dan apa salahnya kuliah mengambil jurusan umum? Bukankah itu justru lebih bisa memperluas pengalaman?” Kiai Syuaib tak mau kalah.
Hening beberapa saat. Bu Nyai Haniva memilih untuk diam daripada meladeni kalimat suaminya yang cenderung akan menyulut api amarahnya. Selama ini dia memang ditakdirkan untuk mengalah. Jika tidak, sudah dari dulu mungkin biduk rumah tangganya hancur.
Ketika Habib lebih memilih jurusan fotografi dan menekuni seni kaligrafi atas arahan abahnya, ia pun hanya bisa diam. Beruntung ia mempunyai keponakan yang sudah seperti anak kandung yang sepemikiran dengannya. Berpikir jauh ke depan bagaimana bisa membuat para santri Al-Ishlah menguasai ilmu agama dan Alqur’an. Ia sangat bahagia ketika Farhan memilih menekuni kitab-kitab klasik dan Alqur’an. Itu membuat Bu Nyai Haniva mendukung penuh cita-cita Farhan hingga menjejakkan kaki ke Tarim.
Ia memang kehilangan cahaya harapan dari putranya sendiri, tapi ia mendapat sinar masa depan Al-Ishlah ada pada Farhan. Sesuai wasiat dan cita-cita Kaeh Abdullah–pendiri pesantren Al-Ishlah di mana ia dibesarkan. Bahwa ia harus menjaga dan membesarkan Farhan sampai layak meneruskan tongkat estafet perjuangan di pesantren ini. Ia takkan lupa dengan semua jasa Kiai Abdullah padanya. Untuk itu ia berjanji menganggap Farhan–cucu dari Kiai Abdullah sebagai anaknya sendiri.
“Justru Habib itulah yang serba bisa. Dia yang pantas memimpin pesantren ini,” kata Kiai Syuaib dengan nada tinggi.
“Kita hanya numpang di sini, Bah. Semua ini punya Farhan.”
Mendengar itu Kiai Syuaib mendecih sebal.
“Kamu benar-benar bodoh. Jika bukan kita yang mengurus pesantren ini sejak kedua orang tua Farhan meninggal, pesantren ini sudah roboh dari dulu.”
“Jangan sampai sombong dan sifat serakah menguasaimu, Bah.”
“Sudahlah, sia-sia aku ngomong sama kamu.”
Buru-buru Farhan berlalu ketika terdengar langkah kaki mendekati pintu. Ia takut Kiai Syuaib mengetahui keberadaannya dan menambah suasana semakin runyam antara Gutteh dan Mejedik-nya. Farhan menuju kamar dengan perasaan carut marut. Akhirnya ia tahu apa yang membuat sikap Gutteh-nya tak bersahabat selama ini. Ternyata Kiai Syuaib menganggap dirinya adalah saingan Habib-putranya.
“Han?”
Panggilan Bu Nyai Haniva menyadarkannya dari lamunan.
“Baik, Mejedik. Doakan acara kami berjalan lancar dan kembali dengan selamat.”
“Doaku menyertain kalian.”
Agus yang sejak tadi mematung di depan mobil, segera beranjak membukakan pintu untuk kedua putra Kiainya.
“Silahkan, Lora. Pesawat siap lepas landas. Pilot Agus siap mengantar sampai tujuan.”
Seketika semua orang yang ada di situ tersenyum lebar. Merasa terhibur dengan guyonan Agus. Lelaki itu dengan semangat menghidupkan mesin mobil. Beberapa santri yang berlalu lalang sengaja berhenti seraya membungkukkan badan mengetahui ada dua orang penting di dalam mobil yang dibawa Agus.
Mobil membelah jalan raya Madura ditemani nasyid merdu Malaysia. Sesekali Agus berdendang menirukan lantunan itu meski suaranya sama sekali tidak merdu. Sekali dua kali Habib yang duduk di sampingnya mencoba acuh dengan menyibukkan diri pada ponsel. Tapi saat lelaki itu menirukan salah satu lagu legendaris milik Roma Irama, ia tak tahan lagi .
“Hanya istri solekah … Perhiasan dunia. Hanya istri yang beriman yang bisa dijadikan teman.”
“Solihah, Gus. Solihah bukan Solekah,” geram Habib pada Agus. Yang ditegur malah cengengesan.
“Sudah nggak usah nyanyi. Suaramu kayak kambing kejepit pintu.”
“Hehehe, biar ndak ngantuk, Lora. Nanti kalau saya ngantuk Lora tidak jadi sampai Wonosobo. Malah sampai ke jurang.”
“Astaghfirullah … Naudzubillah min dzalik,” desis Farhan. Ia yang sejak tadi fokus menderas Alqur’an akhirnya ikut bersuara.
Dengan raut wajah gemas, Habib memasang headset pada telinganya. Berharap suara cempreng itu tak terdengar olehnya lagi. Karena Agus masih saja bernyanyi tanpa menghiraukan kedua Lora-nya. Kini album Nisa Sya’ban yang ia putar. Dan suara bak kambing terjepit pintu itu memenuhi mobil. Farhan menggeleng dan tertawa lebar. Ia sama sekali tidak terganggu, justru senang Agus menyetir dengan semangat. Kadang-kadang ia juga mengajak ngobrol supirnya tersebut jika sudah bosan menyanyi agar tidak mengantuk.
“Gus, apa pendapatmu tentang istri solihah?”
Sejenak Agus berpikir. Lalu menjawab dengan nada semringah.
“Tidak ada yang bisa punya istri solihah kecuali Ustadz Anwar, Lora,” jawab Agus dengan menyebutkan salah satu Ustadz pendamping di pesantren Farhan. Istrinya memang bernama Solihah.
“Itu namanya yang Solihah, Gus,” decih Farhan sebal.
“Hahaha, iya orangnya juga Solihah insyallah, Ra.”
“Aku serius ini.”
Agus sejenak menoleh ke belakang. Memastikan wajah Farhan yang katanya serius itu. Lantas ia tersenyum lebar.
“Yang bertakwa, Ra. Yang melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya,” jawabnya jumawa.
Farhan tersenyum. Tak menyangka Agus bisa menjawab dengan bijak.
“Gitu, ya?” tanya Farhan pura-pura bodoh.
“Semoga Lora Farhan mendapatkan istri solihah nanti,” ujar Agus seolah tahu gejolak dalam hati Farhan.
“Amin.”
“Lalu kenapa kamu sampai sekarang belum menikah, Gus?” tanyanya kemudian. Lelaki yang sudah menjadi supir Mejedik-nya hampir sepuluh tahun itu memang masih betah menjomblo sampai menginjak usia kepala tiga.
“Karena belum menemukan yang secantik dan sepintar Ning Nihel Shafura, Ra,” gurau Agus sambil terkekeh dan tetap fokus menyetir. Farhan tahu ada nada sedikit bercanda pada kalimat Agus tapi tak dapat dipungkiri ia disergap penasaran sebab baru ini Agus menyebut nama seorang gadis.
“Siapa itu?”
“Loh, Lora tidak tahu? Putri Kiai Sumenep yang jadi selebgram dan jadi idola para santri.”
Sumenep? Farhan tahu daerah itu. Sekitar 139,4 km dari Bangkalan di mana ia tinggal. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Agus ia merasa seperti mengalami de javu. Apalagi nama Ning yang menjadi idola Agus itu. Ia merasa tidak asing. Ia coba mengingat-ingat tapi tetap saja gagal.
“Ya kenapa nggak dilamar saja, Gus?” sahut Farhan memberi solusi.
“Saya tahu diri, Lora. Masa supir berani ngelamar putri Kiai. Cantik, cerdas lagi.”
“Ya daripada kamu mengharapkan sesuatu terus tanpa usaha? Jodoh itu dijemput jangan ditunggu,” serobot Farhan.
“Hehehehe … Kalau Lora ada di posisi saya pasti mengerti. Saya cukup jadi pengagum saja,” timpal Agus datar, seolah menegaskan itu suatu hal yang mustahil. Ia dan Nihel bagai langit dan bumi.
“Pokoknya, Ra. Secantik-cantiknya dan secerdas-cerdasnya wanita. Jika tidak seperti Ning Nihel Shafura belum bisa kudamba.” Agus terkekeh.
“Seleramu tinggi juga, Gus. Pertahankan!” Agus tertawa lebar mendengar opini yang meluncur dari mulut Farhan.
“Ning Nihel ini cocoknya sama jenengan, Ra.”
“Cocok gimana?” gumam Farhan terdengar semacam basa basi. Karena ia tahu dengan “cocok” yang dimaksud Agus. Sambil membuka layar ponsel ia menanti jawaban Agus.
“Ya cocok lah, Ra. Sama-sama cerdas, good looking, dan dari keturunan Kiai,” jawab Agus apa adanya. Kalau saya ini dapat Mbak santri yang mirip-mirip pintar dan cantik seperti Ning Nihel saja sudah beruntung sekali.”
Farhan hanya tersenyum. Ia ingin menanyakan lebih tentang Nihel tapi takut jika terlalu kepo akan memancing Agus untuk menggodanya. Ia sangat tahu Agus sedikit jahil dan cengengesan.
“Ya sudah, besok tak bilang Mejedik biar dicarikan Mbak santri yang begitu,” lontarnya tanpa mengalihkan pandangan pada layar ponsel. Sesaat ia terkesiap mendapati sebuah flayer di grup harlah khusus tamu undangan VVIP. Ia mengerjap sambil beberapa kali mengeja sebuah nama milik salah seorang narasumber di flayer tersebut.
“Gus, ini salah satu narasumber acara seminar besok Nihel Safura. Apa ini gadis yang kamu maksud?” tanya Farhan dengan nada takjub seolah tengah mendapat keajaiban karena ia baru saja membicarakan nama itu dengan Agus.
Dengan cepat Agus menoleh ke arah Farhan. Lelaki metrokseksual itu segera mengarahkan ponselnya ke depan agar Agus melihat foto yang tertera dalam flayer. Nampak seorang gadis dengan jilbab Paris merah maroon sedang menyunggingkan senyum manis.
“Ya … Ya benar, Lora. Itu dia. Wah besok harus nonton ini.”
“Paling bisanya lewat online. Besok live di YouTube. Nanti tak share link-nya,” gumam Farhan memberi tahu. Lelaki di depannya memekik saking senangnya. Sampai-sampai Habib yang tidur di sampingnya terbangun dengan sedikit menggerutu.
“Ada apa sih ribut-ribut?” desahnya sambil mengucek mata. Ia tertidur cukup lama dan sangat pulas. Ia memungut salah satu headset bluetooth yang tak sengaja jatuh di pangkuan.
“Tidak apa-apa, Lora. Lora Habib kalau sedang tidur kelihatan macho banget sampai gadis-gadis yang lewat tadi terpesona.” Agus menyeringai di balik kemudi. Seketika Habib meninju lengan Agus karena tahu lelaki gempal itu sedang membual.
Agus nasih saja melempar lelucon pada Habib, ketika Farhan masih asyik dengan ponsel di tangannya. Matanya tertuju sebuah foto bertuliskan Nihel Safura itu. Bukan terpesona karena kecantikan gadis tersebut. Ia lebih penasaran seperti apa gadis bernama Nihel Safura hingga membuat supirnya tergila-gila. (Elin Khanin)