Iklan
Kolom

Takjil, Pencitraan, dan Tren Konten Kreator

Oleh Hamidulloh Ibda*

Tren pencitraan, sekadar membuat konten telah menjamur di masyarakat kita. Saking jengkelnya ketika ada orang melakukan apapun “halah itu cuma konten”. Apatisme inilah yang harus diperhatikan di bulan Ramadan. Sebab, Ramadan seharusnya membawa berkah dan semangat untuk meningkatkan ibadah. Namun, di era media sosial ini, Ramadan juga menjadi panggung bagi berbagai fenomena, salah satunya adalah tren bagi-bagi takjil yang seringkali diiringi dengan pencitraan dan konten kreator.

Hakikatnya, Ramadan adalah bulan penuh berkah yang seharusnya diisi dengan ibadah, introspeksi, dan kegiatan yang membawa manfaat bagi diri sendiri serta orang lain. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren baru di kalangan konten kreator yang menjadikan momen Ramadan sebagai ajang pencitraan. Bagi-bagi takjil, berbagi santunan, dan kegiatan sosial lainnya seakan kehilangan makna keikhlasannya karena dibalut demi mengejar like, share, dan monetisasi di platform digital.

Konten Terkait
Iklan

Takjil, hidangan pembuka puasa, memiliki makna yang dalam sebagai simbol berbagi dan kepedulian. Tradisi ini mengajarkan kita untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga berbagi rezeki dengan sesama yang membutuhkan. Namun, sayangnya, niat mulia ini terkadang ternoda oleh kepentingan pribadi, seperti pencitraan diri atau popularitas di media sosial.

Tak dapat dipungkiri, konten kreator memiliki peran penting dalam menyebarkan kebaikan. Namun, mereka juga memiliki tanggung jawab besar untuk tidak terjebak dalam pusaran pencitraan. Kegiatan berbagi takjil seharusnya dilakukan dengan tulus, bukan sekadar untuk mendapatkan pujian atau meningkatkan popularitas.

Ketika Kebaikan Berbalut Pencitraan

Tidak dapat dimungkiri bahwa media sosial memiliki peran besar dalam menyebarkan inspirasi kebaikan. Namun, ketika aksi berbagi takjil dan amal lainnya dilakukan semata-mata demi kepentingan pribadi, esensi Ramadan justru berkurang. Fenomena ini terlihat dari banyaknya video yang menampilkan bantuan sosial dengan angle dramatis dan narasi heroik. Sayangnya, beberapa dari mereka lebih mementingkan jumlah views daripada kebermanfaatan bagi penerima bantuan.

Beberapa contoh konten yang kerap terlihat selama Ramadan. Pertama, bagi-bagi takjil dengan pengambilan gambar yang berlebihan, fokus pada ekspresi penerima daripada keikhlasan pemberi. Kedua, kegiatan sosial yang dilakukan demi meningkatkan engagement, bukan karena dorongan hati untuk membantu. Ketiga, tantangan dan challenge Ramadan yang lebih bersifat hiburan daripada edukatif.

 

Ramadan Produktif Tanpa Lupa Esensi

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa tetap produktif di bulan Ramadan tanpa terjebak dalam fenomena pencitraan? Berikut adalah beberapa strategi yang bisa Anda terapkan. Pertama, niat yang tulus. Awali setiap kegiatan dengan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah SWT. Ingatlah, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Kedua, fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Jangan hanya fokus pada seberapa banyak konten yang Anda hasilkan, tetapi fokuslah pada kualitas konten tersebut. Apakah konten tersebut bermanfaat, menginspirasi, atau justru menyesatkan?

Ketiga, berkolaborasi dengan komunitas. Ajak teman-teman atau komunitas untuk melakukan kegiatan sosial bersama. Dengan berkolaborasi, kita bisa saling mengingatkan dan menguatkan niat untuk berbuat baik.

Keempat, manfaatkan media sosial dengan bijak. Gunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan, bukan untuk mencari popularitas. Bagikan konten-konten yang positif dan inspiratif, serta hindari konten yang bersifat pamer atau riya.

Kelima, introspeksi diri. Lakukan introspeksi diri secara berkala. Tanyakan pada diri sendiri, apakah niat kita dalam melakukan kebaikan sudah lurus? Apakah kita sudah ikhlas dalam berbuat baik?

 

Ramadan Bermakna

Daripada terjebak dalam budaya pencitraan, ada banyak cara lain yang lebih produktif dan bermakna untuk mengisi Ramadan. Pertama, membuat konten edukatif dan inspiratif.
Alih-alih sekadar membagikan aksi berbagi takjil, lebih baik membuat konten yang mengedukasi, seperti kajian singkat tentang makna puasa dan keutamaan Ramadan, tips memperbaiki kualitas ibadah, seperti cara meningkatkan kekhusyukan dalam salat, sejarah Islam dan kisah inspiratif para ulama dalam menghadapi Ramadan, dan lainnya termasuk Kolom Ramadan di pcnupati.or.id ini.

Kedua, mengembangkan diri dengan ibadah dan ilmu. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki diri. Manfaatkan waktu untuk membaca Al-Qur’an dan memahami tafsirnya, mengikuti kajian online atau offline, menulis refleksi spiritual untuk mendokumentasikan perjalanan ibadah.

Ketiga, berbagi dengan cara yang lebih bermakna. Jika ingin berbagi, lakukan dengan penuh keikhlasan tanpa harus mengabadikan setiap momen seperti menyalurkan bantuan secara anonim kepada yang membutuhkan, mengadakan kelas gratis atau mentoring untuk berbagi ilmu dan pengalaman, bergabung dengan ormas seperti Nahdlatul Ulama atau komunitas yang fokus pada pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

Keempat, menjaga produktivitas tanpa eksploitasi. Bagi para konten kreator, Ramadan bisa tetap menjadi momen produktif tanpa harus mengeksploitasi aspek sosial seperti membuat konten reflektif yang menggugah kesadaran spiritual, mengadakan diskusi online tentang pengelolaan waktu dan produktivitas selama Ramadan, mengembangkan keterampilan baru yang bisa digunakan setelah Ramadan.

Pada Ramadan ini, mari kita jadikan momentum untuk “puasa” dari segala bentuk pencitraan dan kesombongan. Mari kita fokus pada esensi Ramadan, yaitu meningkatkan ibadah, memperbanyak sedekah, dan memperbaiki diri.

Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, seperti berbagi takjil dengan tetangga sekitar, membantu membersihkan masjid, atau sekadar memberikan senyuman kepada orang yang sedang kesusahan. Ingatlah, bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan dicatat oleh Allah SWT.

Ramadan bukan sekadar momen untuk mencari popularitas di media sosial. Jika ingin berbagi kebaikan, lakukanlah dengan tulus tanpa harus membungkusnya dengan pencitraan yang berlebihan. Umat Islam diajarkan untuk beramal dengan ikhlas dan penuh keimanan. Dengan memanfaatkan Ramadan secara produktif dan bermakna, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga membangun kebiasaan baik yang bisa berlanjut setelah bulan suci ini berlalu.

Jangan biarkan Ramadan ini hanya menjadi ajang untuk mencari popularitas di media sosial. Mari kita jadikan Ramadan ini sebagai bulan yang penuh berkah, di mana kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sesama. Semoga Ramadan ini menjadi Ramadan terbaik dalam hidup kita. Pora ngono leh?

 

*Dr. Hamidulloh Ibda, penulis lahir di Pati, dosen dan Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung (2021-2025), Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah (2024-2029), reviewer 31 Jurnal Internasional terindeks Scopus, Editor Frontiers in Education terindeks Scopus Q1 (2023-sekarang), dan dapat dikunjungi di website Hamidullohibda.com

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button