Tantrum
Oleh : Inayatun Najikah
Setiap manusia memiliki tantrum yang berbeda. Anak kecil hingga dewasa sekalipun tanpa sengaja pasti mengalami kondisi dimana keinginan yang telah diciptakan berakhir tak sesuai harapan. Tantrum bisa berbeda bentuknya. Ada yang marah-marah, menangis yang berlebih, atau membanting barang. Tantrum tersebut bisa terjadi karena kurang pandainya kita mengontrol emosi.
Saya ada cerita tentang keponakan yang masih sangat menonjolkan ke-tantruman-nya. Maklum usianya sekitar 6 tahun. Singkat cerita dia sedang bermain di kamar saya. Saat itu saya tengah asyik dengan handphone sebab memang ada hal penting yang mesti diselesaikan segera. Saya memang salah sebab telah mendiamkannya tanpa memberi ajakan untuk bermain.
Akhirnya dia tertarik pada sederet perlengkapan make up saya disebelah lemari. Walaupun tak selengkap milik beauty blonder atau para MUA lokal maupun kancah Internasional, setidaknya beberapa item seperti bedak, moisturizer, dan lipstik telah mampu memoles wajah saya sedemikian rupa.
Keponakan saya saat itu melihat bungkusan bedak yang baru saya beli tetapi belum sempat untuk dibuka. Saya sengaja meletakkannya begitu saja sebab stok bedak lama masih ada sisa-sisa sedikit. Saya terbiasa menunggu sampai benar-benar habis dahulu, baru mengganti dengan yang baru. Kemudian dia meminta izin kepada saya untuk dijadikannya alat bermain. Saya tak memberinya izin sebab bedak bukan untuk dijadikan mainan.
Saya bukannya pelit. Akan tetapi jika saya izinkan, pasti akan ia coba diwajahnya. Ketika izin tak didapatkan dan saya masih berkutik dengan handphone, ia akhirnya membuka plastik dan wadah bedanya sesuka hatinya. Saya hanya melihat dirinya dengan tatapan yang biasa saja. Saya tak marah karena memang saya tengah belajar bagaimana menahan dan mengontrol emosi seperti yang diucapkan kekasih. Hingga kemudian saya berkata,
“Tadi mbak kan ndak memberi izin adik, kenapa adik tetap membuka wadah bedaknya? Itu namanya ndak baik sayang. Kan bedak ini bukan punya adik. Jadi adik tak boleh sembarangan membukanya.”
Setelah saya berkata begitu, dia malah menangis dengan kencang hingga ibu, nenek, dan ibu saya mendengar. Para ibu-ibu itu lantas dengan kompaknya menanggapi tangisan itu dengan bertanya ada apa. Apakah telah disakiti oleh saya? Lalu berkata bahwa saya akan dimarahi mereka.
Dalam batin saya, ini ibu-ibu kenapa. Ada seorang anak yang salah kenapa malah menyalahkan pihak lain? Bukankah seharusnya ia mendampingi si anak agar mengerti jika perbuatannya telah salah untuk kemudian diarahkan pada yang seharusnya?
Setelah peristiwa itu, saya mengambil kesimpulan bahwa bagaimana kita (para orang tua) ingin anaknya berkembang jika mindset kita masih suka menyalahkan pihak lain tanpa introspeksi diri terlebih dahulu. Anak kecil memang tak bisa dituntut untuk menjadi dewasa, akan tetapi orang dewasa lah yang seharusnya lebih dewasa. Jika anak kecil tak diberi tahu mana yang salah dan mana yang benar, sampai ia dewasa pun mindsetnya akan begitu. Menangis adalah jalan ninja untuk mendapatkan sesuatu.