Resep Rahasia Simbok

Oleh : Ismi Faizah
“Bocah wadon kui kudu iso masak. Ora mung eroh e mangan tok. Iso-iso mbesok diclatu karo morotuo!” (anak perempuan itu harus bisa masak. Bukan cuma tahu makan saja. Bisa-bisa dimarahi mertua nanti).
Kalimat yang sama. Diucap berulang kali. Entah kali keberapa sekarang, aku coba mengingat, kesepuluh jariku sampai habis ternyata belum cukup. Bayangkan saja sendiri ketika kamu dicerca dengan berbagai macam nasehat pernikahan sedangkan untuk menikah saja kamu enggan. Sama seperti keadaanku.
“Bocah wadon kui sing sregep tangi isuk. Ojo mung mbangkong wae. Mosok kalah karo pitek. Danio neng umahe morotuo!” (Anak perempuan itu harus rajin bangun pagi. Jangan cuma tiduran mulu. Masak kalah sama ayam. Apalagi di rumah mertua).
Simbok meneruskan acara menumbuk ketan bercampur parutan kelapa dengan lihai. Sesekali mencicip dan menaburkan sedikit garam. Bunyi alu tak lebih berisik dari suara simbok.
“Bocah wadon kui kudu iso sembarang-sembarang. Ojo mung ngertie macak wae. Opo yo arep mangan wedak bojomu mengko!” (Anak perempuan itu harus bisa banyak hal. Jangan cuma tahu dandan aja. Apa ya mau makan bedak suamimu nanti).
Aku menggaruk telinga. Simbok menoleh.
“Wonten nyamuk nyokot Mbok,” (Ada nyamuk menggigit Mbok), ujarku nyengir. Tentu saja aku berbohong. Maaf Mbok, ingin aku menyumpal indera pendengaran. Wanita lanjut usia itu kembali fokus pada kegiatannya.
“Bocah wadon kui sing pinter ning ojo keminter. Wong lanang ngunu seneng wong wadon pinter ning ora sok minteri. Mbesok ojo wani-wani ya Nduk karo bojo!” (Anak perempuan itu harus pintar tapi jangan sok pintar. Laki-laki suka perempuan pintar tapi bukan sok pintar. Suatu saat nanti jangan berani membantah suami ya Nduk).
Bocah wadon, bojo, bocah wadon, bojo. Hanya dua kata tersebut yang terngiang dikepalaku. Ya Tuhan! Sungguh aku ingin menutup telinga. Bisa-bisanya setiap kali liburan kesini yang dibahas hal itu terus.
Demi menjaga perasaan simbok, senyum termanis kuhadiahkan. Meski modelan begini, aku juga masih punya sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Tandai, aku bukan bocah wadon serampangan. Anehnya tidak semua ocehan simbok aku benci. Ada cerita yang paling aku suka. Masa kecil simbok.
Maret 1960, simbok lahir. Peristiwa bersejarah gerakan tiga puluh september yang menggemparkan masih beliau ingat. Bagaimana sepi menghiasi desa, setiap senja mulai unjuk diri. Mbah buyut, mengumpulkan kelima anaknya disatu tempat dan meminta mereka untuk tidak berisik, katanya banyak wewe yang suka menculik anak kecil untuk dijadikan teman tidur. Wewe itu wajahnya hancur, kukunya tajam, bau pesing, lebih parah dari bau kambing di kandang belakang rumah. Dasarnya anak-anak gampang takut, apalagi setelah pengalaman Darsan beberapa waktu lalu yang membuat geger warga karena hilang secara tiba-tiba. Lalu mereka kompak menutup mulut serempak, kecuali jika ada singkong rebus sisa pagi hari. Mereka akan memakannya sembari saling berebut tanpa bersuara, saling adu melotot, si sulung selalu menang.
Namun, peristiwa yang sebenarnya akan didapati keesokan hari ketika fajar menyapa dedaunan segar dipenuhi embun. Saat aroma khas tanah basah sebab rinai semalaman yang menghujani bumi. Dimana anak-anak kala waktu shubuh selalu bangun dengan setep di ujung mata. Dan bantal yang tiba-tiba saja terlukis peta. Serta b eberapa orang dewasa bergegas hendak beraktifitas ke pasar dan lain-lain, ada disana. Tempat sampan yang akan membawa mereka menyeberangi sungai, sebelum jembatan menjamur seperti jaman sekarang.
Mayat-mayat hanyut puluhan jumlahnya. Seakan raga mereka tak bernilai, bak bangkai binatang tanpa tuan. Simbok menyaksikan tanpa rasa takut akan darah. Diumur lima tahun, justru rasa penasarannya membumbung lebih besar.
“Iki ngono wong sing wingi dibedili. Elek temen yo nasibe,” (Ini orang yang kemarin ditembaki. Buruk benar ya nasibnya) ujar salah satu warga. Suaranya sumbang sebab hidungnya ditutup dengan ujung baju lusuh.
“Nyulik lan mateni poro kiai, poro penggede negoro, yo ngene dadine!” (Menculik dan membunuh para kiai, para petinggi negara, ya begini jadinya) tanggapan lawan bicara dengan nada tegas. Raut mukanya menahan marah.
Simbok mendengarkan dengan seksama percakapan lain yang susul menyusul. Ada selentingan bahwa mayat yang berjejalan terbawa arus, tidak semuanya bersalah malah menjadi korban sebab ketidaktahuan. Anak paling cerdas diantara saudara-saudaranya ini cepat tanggap. Mengerti keadaan yang sedang terjadi dan menghubungkannya dengan suara bising yang ia dengar kala terbangun tengah malam waktu kebelet pipis. Mbah buyut berbohong. Tidak ada wewe pesing, bau, satu-satunya bau yang akan mereka kenang adalah busuk mayat, anyir darah.
Kebenaran sejarah yang didongengkan simbok sebelum kami menuju pembaringan, adalah hal yang paling aku tunggu. Meski puluhan kali kudengar tak akan bosan. Membaca sejarah adalah hobiku. Mendengar cerita langsung dari seseorang yang pernah mengalaminya rasanya sungguh luar biasa. Bagiku paham sejarah merupakan suatu keharusan. Selain menambah wawasan juga membuat kita lebih menghormati, menghargai jasa-jasa mereka yang telah tiada. Jika tak ada mereka kita juga tak pernah ada.
Bukan seperti pada menit-menit sebelumnya. Nasehat pranikah yang menjengkelkan bikin gatal telinga. Kurasa aku tak perlu menikah. Menambah beban pikiran, beban hidup, beban hati. Membayangkannya saja membuatku muak. Pokoknya aku tidak ingin menjadi istri siapapun. Simbok tak perlu tahu hal ini, atau dia akan menceramahiku dengan jutaan kalimat mengerikan. Kembali pada simbok yang masih setia menumbuk jadah. Tubuhnya boleh menua tapi tenaganya tak bisa dianggap remeh. Baru dua puluh tumbukan saja aku sudah kelelahan. Simbok memang luar biasa. Beliau cekatan memindahkan makanan tersebut pada wadah plastik berbentuk persegi panjang dengan kedalaman sekitar tiga centimeter. Sebelum jadah siap diiris. Kalau membayangkan menggigit yang satu ini, sudah pasti aku sangat menantikannya. Buatan simbok tak pernah tak memuaskan lidahku.
“Mari ngene ewangi simbok Nduk gawe rengginang!” (Habis ini bantuin simbok Nak bikin rengginang). Anggukan kepala sebagai jawaban. Tak ada protes. Simbok, simbok, sudah tua, semakin banyak bicara, semakin tak ingin diam, semakin aku takut kehilangannya.
Derit telepon gengam berbunyi. Pasti ibu. Siapa lagi, aku kan jomblo jadi tidak mungkin ada yang menelepon setiap satu jam sekali hanya untuk memastikan dimana keberadaanku, sedang apa aku, sudah menenggak minuman belum, sudah mengunyah makanan belum, nasi atau hanya jajan ciki penuh pengawet tidak sehat, mengingatkan untuk menyempatkan tidur siang, gosok gigi, cuci muka, cuci tangan dan kaki, aku Andyla, dua puluh empat tahun dan masih diperlakukan seperti anak-anak, ibu super ajaib memang.
“Tenang saja Bu, keadaanku aman terkendali. Aku baik-baik saja di rumah Nesi! Ups..maksutku Nenek!” Aku cengengesan memandang simbok. Nesi tidak akan suka jika aku sebut namanya.
“Iya-iya Bu! Janji,” dan suara diseberang sana memberikan rentetan kalimat dari sabang sampai merauke yang berlalu bagai angin. Kenyang sudah aku tanpa makan. Sambungan terputus. Aku tahu ibu pasti sibuk mengatur pesanan kue untuk acara lamaran anak tetangga. Tak pernah lebih dari sepuluh menit kami berbincang jarak jauh.
“Ibumu gak pernah maleh. Opo wonge nate takon keadaane Nesi?” (Ibumu tak pernah berubah. Apa dia pernah menanyakan keadaan Nesi). Nada sarat kesedihan. Semacam kerinduan yang tak tersampaikan atau tak mungkin terbilang. Dengan berat hati aku menggeleng. Jika dalam kasus ini berbohong lebih baik, sudah pasti aku lakukan. Akan tetapi membahagiakan simbok dengan kepalsuan tidak pernah ada dalam daftar kamus hidupku. Kecuali aku akui kebohongan kecil sering aku lakukan hanya agar tidak kena omelan panjang yang menyesakkan dada.
Nesi. Bagian riwayat perjalanan kisah yang sengaja ibu hapus. Terlalu pekat untuk diingat. Hanya aku yang sanggup berdamai.
“Mbok, njeng-enjeng wonten pertunjukan nggih teng balai desa?” (Mbok, besok ada pertunjukan ya di balai desa) Lebih baik mengalihkan topik pembicaraan.
“Iyo. Nonton pora? Ayo karo simbok!” (Iya. Nonton ngak? Ayo sama simbok). Sambutnya antusias. Maklum, sudah empat tahun belakangan ini kedatanganku kesini tidak bertepatan dengan hari spesial untuk desa simbok. Baiklah aku iyakan meski terkadang aku tidak tahu dimana letak serunya menyaksikan pertunjukan tersebut. Demi simbok aku akan ikut dengannya. Barangkali aku bisa dapat jodoh. Ups! Keherananku semakin meletup. Mengapa selalu wayang yang menjadi pertunjukan wajib di desa simbok.
“Ngerti kuburan nang punden kae? Biyen deso iki bentuk e alas ora ono wong kecuali wit-witan, kewan, leluhur sing mbabat deso kui ngunu dikubur nang kono!” (Tahu makam di punden itu? Dulu desa ini bentuknya hutan, tidak ada orang kecuali pepohonan, hewan, leluhur yang membentuk desa ini dimakamkan disana). Kini simbok sedang bergelut mengadoni racikan rengginang.
“Dadi awakdewe dadii anak temurune, wajib tetep dungano mbah-mbah e awak dewe sing wis sedo. Bagian roso syukur dumateng Gusti Allah. Sing mbok takonke kui nek jare wong tuo jaman biyen, jenenge dayang e deso. Biyen tahu ditanggapno gambyong ga sue pak lurah e mati. Ngunu terus, sampe akhire pas pak lurah Sumiran maju, telu las tahun saben suran nanggep wayang. Wonge njabat tekan semono suene”. (Jadi kita sebagai anak keturunannya, wajib tetap mendoakan kakek nenek kita yang sudah meninggal. Bagian rasa syukur kepada Allah. Yang kamu tanyakan itu kalo kata orang tua jaman dahulu, namanya dayangnya desa. Dulu pernah menanggap gambyong tidak lama pak lurahnya meninggal. Begitu terus sampai akhirnya waktu pak lurah Sumiran maju, tiga belas tahun setiap suro, nanggap wayang. Orangnya menjabat sampai selama itu). Hidup dan mati memang sudah ditakdirkan Tuhan. Sedang kepercayaan yang berkembang di masyarakat telah mengakar kuat. Mungkin lain kali aku mesti mencari tahu lebih jauh lagi tentang cikal bakal desa simbok yang sejuk ini.
“Sok nek simbok wis ra ono nang dunyo iki, dungane ojo lali yo Nduk!” (Nanti kalau simbok sudah ngak ada di dunia ini, doakan jangan lupa ya Nduk). Jantungku mendadak diberhentikan beberapa detik. Sudah sering aku melihat simbok tersenyum. Namun senyuman kali ini terasa sangat ganjil, tak bisa hilang dari ingatanku hingga sekarang.
“Heh, bocah kok melongo wae. Ndang kene ewangi simbok mepe!” (Heh, anak kok melongo terus. Cepat sini bantuin simbok jemur).
“Siap Mbok!” Hah, simbok tersayang.
Kegiatan kami masih berlanjut hingga menjelang sore. Simbok memasak makanan kesukaanku. Khusus katanya biar aku makin nempel ke dia. Aku lebih suka memandangi gerak-gerik simbok, alih-alih membantu. Sambil memasukkan satu persatu bahan dengan telaten kedalam panci, tertangkap netraku simbok selalu komat-kamit. Dari dulu setiap kali simbok meracik bumbu. Kali ini aku harus tahu jawabannya. Daripada mati penasaran. Aku kan masih muda.
“Resep ajaib. Turun temurun. Elingo yo Nduk, yen koe masak ojo lali pas bumboni karo moco surat Al-kautsar! Dijamin tambah nyos rasane!” (Resep ajaib. Turun temurun. Ingat ya Nduk. Bila kamu masak jangan lupa waktu memberi bumbu sambil baca surat Al-kautsar! Dijamin tambah enak rasanya). Aku manggut-manggut. Terkaanku salah. Kupikir simbok membaca jompa-jampi biar menundukkan orang yang menelan makanan buatannya. Seperti aku yang klepek-klepek.
“Yen wis due bojo sering-sering dungani. Ora mung pas sholat tok. Naliko gaekno ngombe, nyepaki panganan dungani. Mugo atine bojomu lulut. Dadi wong wadon kui yen rumah tangga sabar e kudu ombo. Ikhlas e kudu jeru. Niatno kanggo ibadah. Ayem atine!” (Kalau sudah punya suami sering-sering didoain. Jangan hanya waktu sholat saja. Waktu bikinin minuman, nyiapin makanannya doain. Semoga hatinnya suamimu luluh. Jadi perempuan itu kalau sudah rumah tangga sabarnya harus luas. Ikhlasnya yang dalam. Niatkan untuk ibadah. Nyaman hatinya).
Bojo lagi. Bojo lagi. Aku menghela napas panjang.
****
Ba’da isya kami bersiap menuju balai desa. Cukup berjalan kaki tak sampai sepuluh menit. Acara inti jam sembilan malam diperkirakan selesai jam tiga pagi. Namun, sampai jam sepuluh malam belum juga dimulai. Jam karet seperti sudah menjadi kebiasaan yang sulit hilang. Turun temurun.
“Mbok, ngantuk ya? Muleh mawon po pripun?” (Mbok, mengantuk ya? Pulang aja gimana). Beliau banyak menguap. Salah satu tanda tubuh kelelahan, begitu menurut tips kesehatan yang aku baca.
“Simbok sik pengen delok. Durung karuan tahun sesok iso!” (Simbok masih ingin lihat. Belum tentu tahun depan bisa). Lagi, senyum ganjil itu terlihat. Entahlah apa aku berlebihan, apa karena simbokku ini memang semakin cantik kalo dilihat lebih detail. Pipinya sekarang lebih berisi. Apa itulah sebab mengapa senyumnya terlihat berbeda. Ditambah polesan bedak meski seharga cilok satu tusuk isi lima, melekat ayu di wajah berhias kerutan. Belum lagi kebiasaan simbok yang memakai eskulin colonge gel. Harum. Juga polesan lipstik tipis-tipis. Setua ini simbok ternyata doyan dandan juga. Aku tertawa.
“Heh, kesambet opo kowe ki?” (Heh, kesambet apa kamu ini).
Reflek aku menutup mulut karena banyak sekali orang-orang mengarahkan pandangannya padaku yang tertawa bagai orang gila hanya karena menamatkan penglihatan pada wajah simbok. Memalukan. Berasa akulah lakon yang sedang dimainkan dalang.
“Bunda kenapa tertawa sendiri?”
Bunda? Usia telah memakan keimutan parasku ternyata. Benarkah aku sudah terlihat seperti ibu-ibu. Menatap wajah anak kecil berusia empat tahun yang menoel manja pada pahaku. Seketika aku tersentak. Matanya, hidungnya, dagunya. Warisan yang sempurna.
“Sini sayang. Duh gemesin sekali sih!” Seorang wanita paruh baya menggendong tanpa permisi bocah kecil yang kini ekspresinya merajuk.
“Nesi! Lepasin! Key ngak mau dicium Nesi!” rengeknya berusaha menjauhkan pipi gembilnya yang kemerah-merahan. Lucu sekali.
Aku tersenyum simpul mengusap air mata yang tiba-tiba saja hendak keluar dari sarangnya. Cengeng. Kuletakkan kembali foto dengan senyum ganjil si empunya yang dipotret tanpa kesengajaan di acara pertunjukan wayang kulit enam tahun silam, oleh seseorang yang kini menjadi sandaran hatiku.
Keriangan Keyra membawaku kembali pada dunia fana yang masih kutinggali. Nesi akan selalu menjadi kebanggaan bagi keluarga kecil kami. Selalu hidup, tak pernah redup cahayanya menyinari lembar demi lembar halaman kisah kami yang meneruskan perjuangannya. Membaca ulang buku harian Nesi membuatku menemukan warisan tak ternilai, resep rahasia langgeng berumah tangga
“Eh! Kalau gitu pumpung Bunda kamu di rumah ayo ziarah. Simbok pasti bahagia lihat cicitnya sudah sepandai ini!” Aku mengangguk patuh. Tertawa kecil. Pencetus nama Nesi, justru sekarang beliau menyandang nama ‘Nenek Sihir’.
Biaralh masa kelam terkubur bersama jasad simbok yang telah menyatu dengan tanah. Melihat ibu memaafkan simbok sudah membuatku bersyukur.
Biodata Penulis
Halo perkenalkan nama pena saya Ismi Faizah. Kelahiran kota Ngawi, Jawa Timur. Penulis pemula yang baru menelurkan karya berupa antologi puisi (100 Doa Dalam Puisi) serta dua antologi cerpen (Sajak Kehidupan dan Aksara Di Februari) serta beberapa karya lain yang nangkring di akun pribadi wattpad (izumisan07) dan kompasiana (Faizah). Salah satu karya puisi saya berjudul ‘Menagih Janji Oktober’ pernah dimuat dalam blog penerbit pustaka kata. Salam kenal dan terima kasih.