Ramadan: Bulan Tata-tata
Oleh Hamidulloh Ibda*
Iki arep ning omahe mbahe, awakmu wes tata-tata durung, Nduk? Ya, saya ingat almarhum mertua saya ketika tanya kepada istriku. “Ini mau pergi ke rumah si mbah, kamu sudah siap-siap belum, Nduk?” Ya, begitu artinya.
Kata “tata” sesuai KBBI (2024) berarti aturan, hukum, kaidah, susunan, cara menyusun, sistem. Kalau dalam bahasa Jawa, tata itu tertata, rapi, aturan, paham. Misal ada orang bilang “Wong tuwa kok ora tata blas.” Maksudnya, orang dewasa kok tidak paham/mengerti/nalar, sama sekali.
Berbeda kata dengan tata, kalau tata-tata itu menata, menyusun, memperindah, menyiapkan, bersiap-siap. Seperti contoh pertanyaan yang saya tulis pada kalimat pertama tulisan ini di atas.
Saya menyimpulkan, Ramadan yang sudah berjalan ini menjadi momentum untuk tata-tata, toto-toto, atau thoto-thoto. Tata-tata ini erat kaitannya dengan aturan, hukum, tradisi, persiapan, keindahan, dan kemewahan budaya, adat istiadat selama Ramadan.
Jika ditanya, apa tradisi-tradisi Ramadan di tempat, Lur? Ya, kalau pepatah Jawa terdapat adagium desa mawa cara, negara mawa tata (desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum sendiri). Tiap daerah, tentu memiliki tata masing-masing.
Menyatunya Adat, Tradisi, dan Syariat Islam
Jika berbicara tradisi-budaya, saya selalu ingat beberapa diktum, falsafah, kredo, atau sebuah ajaran yang dipegang teguh masyarakat setempat. Warga Nahdlatul Ulama tentu menjaga teguh diktum “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”, yakni memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Selama sebuah tradisi tidak berlawanan syariat dan menjadi wasilah yang menjadikan umat dekat dengan Allah, pasti dilakukan.
Bagi umat Islam di Aceh, mereka memegang teguh falsafah “Adat bak poteumeureuhom,hukom bak syiah kuala,qanun nibak putroe phang,reusam bak laksamana” yang artinya antara sistem hukum adat dengan sistem hukum Islam harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.
Falsafah di Aceh tersebut sudah berjalan dan dipegang teguh masyarakat di sana sejak Kasultanan Aceh Darussalam. Di Aceh sendiri, adat dan hukum Islam di sana ibarat “Hukom ngen adat lage zat ngen sifeut, tawiet han meulipat, tatarek han meujeu’eut” yang bermakna hukum Islam dengan adat Aceh ibarat suatu zat dan sifatnya, dipatahkan tak akan terlipat, ditarik tak akan memanjang.
Falsafah Aceh tersebut tidak bisa lepas dari penyebar agama Islam yaitu Abdur Rauf bin ‘Ali Al Jawi Al Fansuri As Singkili atau sering disebut Syech Abdur Ra’uf As Singkel yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Aceh, Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Di Aceh, sebutan gelar yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala atau Syekh Ulama di Kuala. Hal ini menegaskan bahwa tradisi Islam sangat kuat bahkan sudah melebar menjadi hukum Islam itu sendiri.
Lain hal di Aceh, masyarakat Minangkabau memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau ABSSBK yang berarti adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah. Versi lainnya adalah syarak mangato adaik mamakai yang berarti syariat berkata, adat memakai. Pandangan tentang praktik dari implementasi adat dan agama Islam di Minangkabau ini bersendikan artinya berdasarkan dari syariat Islam yang mengacu Al-Qur’an dan Assunnah yang sudah melebar menjadi adat, tradisi, budaya masyarakat Minang.
Dalam Islam sendiri, kaidah usul fikih jelas menegaskan al-‘adat al-muhakkamah yang bermakna “adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum” yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, sehingga hal itu dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Saya kira sudah jelas, perkembangan adat-adat atau tradisi-tradisi umat Islam di Indonesia bahkan dunia tidak ngawur, namun merupakan integrasi dari syariat Islam, bermuara pada Al-Quran dan Assunnah.
Menjaga Tradisi-tradisi Ramadan
Fakta menarik jika kita tidak melestarikan dan menjaga tradisi-tradisi Ramadan, karena hanya dimiliki umat Islam, nanti khawatir diklaim umat lain. Hal inilah yang mendorong Azerbaijan, Turki, Iran dan Uzbekistan kompak mengusulkan tradisi berbuka puasa di bulan Ramadan sebagai warisan tak benda UNESCO. Usaha tersebut menjadi aksi kolaboratif dalam rangka melindungi dan mengpresiasi nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hasilnya, pada Desember 2023 tradisi buka puasa mendapat pengakuan badan budaya PBB yakni UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. UNESCO mendefinisikan tradisi buka puasa sebagai praktik menyiapkan makanan khas bulan suci Ramadan oleh keluarga muslim.
Ramadan, bulan suci yang penuh berkah bagi umat muslim di seluruh dunia, tidak hanya merupakan waktu untuk menahan lapar dan haus. Ini adalah bulan yang memancarkan semangat kebersamaan, kedermawanan, dan introspeksi spiritual. Di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial, menjaga tradisi-tradisi Ramadan menjadi penting untuk mempertahankan warisan budaya dan spiritualitas yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa tradisi sendiri menjadi adat (hukum). Artinya, tradisinya ya praktik ibadah wajib tersebut dan beserta ibawah muamalah. Terdapat sejumlah tradisi yang harus dijaga. Pertama, puasa sebagai ibadah utama. Puasa adalah ibadah utama dalam Ramadan, di mana umat Muslim menahan diri dari makan, minum, dan perilaku negatif dari fajar hingga senja. Ini bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga latihan spiritual untuk memperkuat kesabaran, ketaqwaan, dan pengendalian diri. Menjaga tradisi puasa dengan penuh keikhlasan adalah inti dari pengalaman Ramadan.
Kedua, tarawih dan tadarus untuk mendalami Al-Quran.. Tarawih adalah salat sunnah yang dilakukan setelah salat Isya’ selama bulan Ramadan. Selama tarawih, para jamaah mendengarkan bacaan Al-Quran yang panjang dan merenungkan maknanya. Tradisi ini tidak hanya memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT, tetapi juga membangun ikatan yang erat dengan kitab suci umat Islam.
Ketiga, iftar bersama. Tradisi iftar bersama adalah momen yang dinanti-nantikan setiap hari saat Ramadan. Keluarga dan teman-teman berkumpul untuk berbuka puasa bersama-sama, berbagi makanan, dan menguatkan ikatan sosial. Tradisi ini tidak hanya menciptakan kehangatan keluarga, tetapi juga mempererat hubungan antara anggota masyarakat.
Keempat, doa, itikaf, dan berbagi kebajikan malam lailatul qadar. Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, adalah momen puncak spiritual dalam Ramadan. Selama malam ini, umat Muslim berdoa, merenung, dan melakukan amal kebajikan dengan harapan memperoleh ampunan dan rahmat Allah SWT. Menjaga tradisi beribadah dan kebajikan selama malam Lailatul Qadar adalah bagian penting dari spiritualitas Ramadan.
Kelima, filantropi berbagi dengan sesama melalui zakat, infaq, dan sedekah. Ramadan mendorong umat Muslim untuk meningkatkan kedermawanan dan kepedulian terhadap sesama. Zakat, infaq, dan sedekah menjadi tradisi yang kuat selama bulan suci ini. Memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan, menyediakan makanan untuk berbuka puasa, atau memberikan bantuan keuangan kepada yang kurang mampu adalah bagian integral dari pengalaman Ramadan.
Keenam, tradisi refleksi dan introspeksi diri atau muhasabah. Ramadan juga adalah waktu untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kehidupan spiritual. Tradisi ini melibatkan refleksi atas kesalahan masa lalu, perencanaan untuk masa depan yang lebih baik, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Dengan menjaga tradisi ini, umat Muslim dapat mengalami pertumbuhan pribadi dan spiritual yang signifikan.
Ketujuh, tradisi kultural dengan ngaji kitab kuning, pesantren kilat, ngaji poso/pasan, ngabuburit, tongklek, dan beragam tradisi-tradisi lain yang memang hanya ada di bulan Ramadan yang selalu ngangengi.
Menjaga tradisi-tradisi Ramadan adalah penting untuk memelihara identitas budaya dan spiritual umat Muslim. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menciptakan ikatan sosial yang kuat, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual selama bulan suci ini. Di tengah dinamika dunia modern, mempertahankan warisan budaya dan spiritualitas Ramadan adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang telah menginspirasi umat manusia selama berabad-abad. Dengan menjaga tradisi-tradisi Ramadan dengan penuh dedikasi dan keikhlasan, kita dapat meneruskan pesan perdamaian, kedermawanan, dan cinta kasih yang diwakili oleh bulan suci ini kepada generasi mendatang.
*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis lahir di Pati, 17 Juni. Saat ini menjadi dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, Kabid Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020-sekarang, aktif menjadi reviewer 18 jurnal internasional terindeks Scopus, reviewer 9 jurnal internasional, editor dan reviewer 25 jurnal nasional.