Nur Sa’id Sosok Kyai Penebar Manfaat
Oleh : Zahra Aulia Nifatun Khasanah/Faiz Fikril Abror, M.Hum
KH. Nur Sa’id adalah tokoh agama masyarakat dan Ulama di daerah Pati Kidul. Sosok yang dikenal di masyarakat, terutama masyarakat Mojolawaran dan Kuryokalangan. Beliau lahir pada tahun 1936 di Desa Sundoluhur Kecamatan Kayen Kabupaten Pati dari pasangan Bapak Sujono dan Ibu Muzariah. Beliau memiliki 6 saudara tepatnya beliau anak sulung.
Nama kecil beliau adalah Slamet, Adapun Nur Sa’id adalah pemberian dari KH. Abdullah Siddiq Nawawie yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Sendang Senori dimana KH. Nur Sa’id mondok. KH. Ali Badruddin, putra sulung beliau, menuturkan bahwasanya KH. Nur Sa’id pernah mengatakan nama Slamet bagus, namun untuk seorang kyai kesannya kurang bagus. KH. Nur Sa’id adalah pendiri PPMT An-Nur.
Kejadian Yang Mengubah Hidup / Motivasi.
Sebelum merintis pesantren An-Nur, KH. Nur Sa’id mengawali tholabul Ilmi-nya dengan mengaji al-Qur’an kepada K. Masrum di Dukuh Mpelang. Kemudian ke pesantren Roudhotut Tholibin asuhan KH. Zuhdi Malangan Trimulyo-Kayen. Suka duka pernah beliau lewati mulai mengurus bebek hingga menjadi badal KH. Zuhdi.
Beliau pernah kehilangan semua bajunya saat di pesantren. Saat mengadukan kepada KH. Zuhdi, beliau diminta bertawassul dengan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Belum selesai manaqib dibaca baju-baju beliau ditemukan dalam keadaan utuh. Semenjak nyantri di Malangan, beliau terbiasa tirakat dengan berpuasa sunnah, sholat malam hingga membaca Aurod-aurod. Beliau juga memperdalam ilmu hikmah di Kirig, di bawah asuhan KH. Yasyhadi Nasran. Kemudian ketika bulan Ramadhan tiba, beliau nyantri Pasanan di Jekulo asuhan Hadrotus Syaikh KH. Yasin.
Beliau kemudian melanjutkan tholabul ilmi-nya di ponpes Mambaul Ulum asuhan KH. Abdullah Siddiq Nawawie kurang lebih 4 tahun. Saat akan mondok di Sendang Senori, sebenarnya ibunda beliau, Ibu Muzariah merasa berat hati untuk melepas putranya merantau jauh. Namun karena melihat ketekunan dalam belajar dan tirakatnya akhirnya ibundanya merelakan KH. Nur Sa’id untuk mondok.
Pada tahun 1965 tepatnya setelah selesai mondok dari Sendang Senori KH. Nur Sa’id melabuhkan hatinya kepada seorang perempuan bernama Siti Aminatun.
Melalui perkawinan tersebut beliau dikaruniai 8 orang anak yaitu, Sa’dullah, Ali Badruddin Sa’id, Mudrikah, Masmu’ah, Syamsuddin, Umi Nafia’ah, Ulin Nuha, dan Agus Qomaruddin. Namun untuk Sa’dullah telah meninggal terlebih dahulu ketika masih berusia seminggu.
Mengenai sosok Ibu Siti Aminatun, Gus Ulin (Putra Bungsu KH. Nur Sa’id) menuturkan bahwa beliau adalah sosok ibu yang sangat mencintai anak-anaknya. Ketika KH. Nur Sa’id hendak menjual rumah agar dapat mengajak istrinya tersebut menunaikan Ibadah Haji bersama, Ibu Siti Aminatun tidak mengiyakan ajakan suaminya tersebut. Karena masih memikirkan anak-anak. Apabila berangkat haji bersama maka siapa yang akan mengurus anak-anak. Nanti anak-anak tinggal dimana. Sungguh sosok ibu yang mencintai anak-anaknya.
Prestasi.
KH. Nur Sa’id mendirikan Pondok Pesantren An-Nur pada tahun 1980 dan diresmikan pada tahun 1982. Setelah diresmikan beliau mendapat tanggung jawab dari KH. Hamid Pasuruan untuk membangun bangunan ponpes karena dulu pondoknya masih di menjadi satu dengan rumah kyainya. Waktu itu sekitar lima belas santri. Sehingga kurang elok. Kala itu KH. Hamid dawuh, “ Nur tinggal bikin sarangnya, manuknya sudah siap”. Akhirnya Beliau membangun sebuah bangunan ponpes yang diberi nama Pondok Pesantren Majelis Taklim An-Nur. Saat ini santri An-Nur tercatat 260 santri/. Sedangkan santri Kalong kurang lebih 100 santri.
KH. Nur Sa’id mengajarkan beberapa kitab, yakni Taqrib, Bulughul Maram, Syifaul Jinan dan lainnya. Namun Gus Ulin menuturkan bahwa, beliau sangat istimewa ketika mengajarkan kitab Syifaul Jinan yang merupakan kitab Tajwid. Bahkan Gus Ulin sampai diharuskan untuk menghafalkan bait-baitnya. Gus Ulin juga menuturkan bahwa beliau istiqomah dalam membaca al-Qur’an satu juz setiap hari. Beliau juga terbiasa sowan kepada ulama dan kyai saat ingin melakukan sesuatu. 5
Selain Pondok Pesantren Majelis Taklim An-Nur, beliau juga mendirikan Perkumpulan Asmaul Husna Budi Suci. Perkumpulan ini juga legal karena mendapat SK dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Pati. Sampai sekarang SK tersebut masih disimpan dengan baik oleh keluarga beliau. Melalui perkumpulan tersebut, beliau mengajarkan ilmu hikmah dan bela diri. Anggotanya pun ribuah dimana berasal dari kecamatan lain seperti Winong dan Sukolilo. Waktu itu santri An-Nur dan santri Asmaul Husna Budi Suci masih tidur satu atap.
Namun terkait ilmu hikmah dan ilmu beladiri tersebut, beliau tidak mewariskannya kepada anak-anaknya. Karena bagi beliau cukup ilmu pengetahuan saja yang dipelajari dan diamalkan oleh anak-anaknya. Sehingga sampai sekarang anak-anak beliau fokus mengembangkan Pondok Pesantren Majelis Taklim An-Nur. Untuk Perkumpulan Asmaul Husna Budi Suci tidak berlanjut.
Pekerjaan, dan Peran di Masyarakat.
Sejak muda KH. Nur Sa’id sangat tekun dalam bekerja. Bahkan beliau pernah bejualan gabah sedangkan bu Nyai Aminatun ikut derep padi. Selain itu beliau juga mengajar di Madrasah Abadiyah sekaligus salah satu pendiri Madrasah tersebut.7 Kitab yang diajarkan beliau di Madrasah Abadiyah adalah Kitab Takrib dan kitab pesantren lainnya.
Metode beliau mengajar adalah memadukan sistem Bandongan dan Sorogan. Setelah materi disampaikan beliau meminta kepada murid untuk maju dan membaca kitab yang ada. Tidak jarang beliau menyelingi dengan cerita dan nasehat dengan tujuan memotivasi siswa. 8 Ketika mengajar beliau dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan taat kepada aturan. Maka ketika mengajar di madrasah beliau juga menggunakan celana. Padahal saat itu beliau sudah sepuh.
Beliau juga mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap perilaku segenap murid dan santrinya. Beliau tidak segan mengingatkan apabila ada murid perempuan yang duduknya kurang sopan seperti kakinya agak terbuka. Ketika masuk kelas beliau menyempatkan untuk memeriksa kuku dan rambut setiap murid. Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kerapian.
Ketika di ponpes, beliau meminta segenap santrinya untuk selalu menjaga kebersihan. Beliau tidak segan melempar sapu kepada santri beliau yang tidak mau membersihkan lingkungan yang kotor. Selain mengaji, beliau juga membekali segenap santrinya keterampilan bekerja. Oleh karena itu segenap santri diminta pergi ke sawah ketika libur sekolah. Kerap kali beliau menghitung uang di depan santrinya dengan maksud memotivasi bahwa santri harus menjadi orang kaya. Beliau selalu berpesan agar semua santrinya melanggengkan sholat lima waktu berjamaah.
Dalam kehidupan bermasyarakat beliau sering diminta barokah doanya dalam acara- acara tertentu. Selain itu beliau juga kerap diminta solusi dalam beberapa permasalahan. Beliau dikenal juga sebagai sosok yang bisa mengobati orang yang terkena bisa ular. Beliau juga orang yang dermawan dan tidak segan membantu penduduk yang mengalami kesulitan. Seperti saat beliau meminjamkan sejumlah uang kepada tetangganya yang ingin membeli tanah. Beliau kasihan karena orang tersebut mempunyai banyak anak namun tanahnya sempit.
Pergi Haji.
Pada tahun 1979 KH. Nur Sa’id menunaikan haji atas dawuh dari KH. Hamid Pasuruan dan KH. Yasyhadi Nasran. Bahkan KH. Yasyhadi Nasran mengatakan, “Kapalmu Ues Cemawis Nur”. KH. Nur Sa’id juga diberi uang saku sejumlah Rp.
25.000 oleh KH. Hamid. Ketika beliau berangkat haji yang mendoakan adalah KH. Arwani Kudus. Awalnya beliau ingin berhaji bersama bu Nyai Siti Aminatun. Namun hal itu urung dilakukan karena tidak tega meninggalkan anak-anak.
Hari Duka.
Tepat pada Kamis Legi tanggal 4 Mei 2006 sekitar jam 02.00 KH. Nur Sa’id berpulang ke rahmatullah. Beliau meninggal karena faktor usia dan juga penyakit stroke yang diderita beliau. Sewaktu sakit beliau tidak ingin dibawa ke rumah sakit. Karena bagi beliau, sehat beliau lebih banyak daripada sakitnya. Sebelum meninggal beliau berpesan kepada anak-anak beliau untuk tidak meninggalkan sholat berjamaah. Beliau juga berpesan agar anak dan cucunya untuk tidak terjun di dunia politik. Karena tentunya pondok tidak terurus. Beliau juga berpesan agar guru-guru Abadiyah selalu dihormati dan diperhatikan.
KH. Nur Sa’id adalah sosok kyai yang sangat mematuhi perkataan gurunya. Beliau seorang tokoh masyarakat, khususnya di daerah Pati Kidul. Semasa hidupnya digunakan untuk mengajar, mengabdi dan menebar manfaat. Tidak hanya bagi diri beliau, keluarga namun juga masyarakat luas. Sepanjang hidupnya beliau mengabdi di dunia pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Sangat banyak pelajaran yang dapat diteladani dari beliau.
Sumber :
Wawancara dengan KH. Ali Badruddin (pengasuh Ponpes An-Nur Mojolawaran) sekaligus putra sulung KH.Nur Sa’id, 22 Oktober 2022
Wawancara dengan KH. Ali Badruddin (Pengasuh Ponpes An-Nur Mojolawaran) sekaligus putra sulung KH. Nur Sa’id, 5 November 2022
Wawancara dengan Gus Ulin Nuha (Putra Bungsu KH. Nur Sa’id), 23 Oktober 2022
Wawancara dengan KH. Ali Badruddin (Pengasuh Ponpes An-Nur Mojolawaran) sekaligus putra sulung KH. Nur Sa’id, 5 November 2022
Wawancara dengan Gus Ulin Nuha (Putra Bungsu KH. Nur Sa’id), 23 Oktober 2022
Wawancara dengan Gus Ulin Nuha (Putra Bungsu KH. Nur Sa’id), 23 Oktober 2022
Wawancara Kyai Marhum (Masyayikh MTs Abadiyah Kuryokalangan) , 1 November 2022
Wancara dengan Ustad Irham Syaifuddin (Pengasuh Ponpes Bahrul Ulum, Kuryokalangan), 3 November 2022
Wawancara dengan Drs. Saiful Islam, M.Pd (Kepala Mts Abadiyah, Kuryokalangan), 2 November 2022
Wancara dengan Ustad Irham Syaifuddin (Pengasuh Ponpes Bahrul Ulum, Kuryokalangan), November 2022
Wawancara Mr. Kastomo (Santri KH. Nur Sa’id sekaligus PAC PKB Kecamatan Winong), 25 Oktober 2022
Wawancara dengan Drs. Saiful Islam, M.Pd (Kepala Mts Abadiyah, Kuryokalangan), 2 November 2022
Naskah ini di ikutkan dalam Lomba Menulis Biografi Kiai Lokal Porsema XII PC LP Maarif Pati