Menunggu Panen
Oleh : Ramli Lahaping
Seiring waktu, Romi makin gandrung mengulang kebiasaannya. Setiap kali berada di waktu senggang, ia akan duduk di teras depan rumah punggunggnya untuk memandang-mandangi sepohon durian montong yang berada di sebelah kanan halamannya. Ia akan memperhatikan buah-buah pohon itu, sembari mengkhayalkan kenikmatan saat nanti ia menyantapnya.
Kebiasaan Romi itu tambah menjadi-jadi belakangan waktu. Setiap kali bangun pagi atau sepulang sekolah, ia tak akan melakukan aktivitas apa-apa selain memastikan kalau delapan buah durian itu masih menggantung dan terikat tali di atas dahan pohonnya. Itu karena buah-buah durian tersebut telah membulat sempurna dan tampak makin mengkal.
Memang tidak lama lagi buah-buah itu akan masak. Bahkan ayah Romi menaksir kalau buah-buah tersebut sebenarnya telah matang dan sudah bisa dipanen untuk dieramkan hingga masak. Tetapi demi menjamin mutu isi buah, sang ayah terus menahan diri untuk memetiknya. Sang ayah bahkan mengatakan kepadanya kalau buah itu baru akan diturunkan setelah terjatuh dan menggantung pada ikatannya, supaya masaknya baik.
Sudah lebih dari empat bulan Romi memperhatikan sepohon durian itu. Sejak saat bulir-bulir bakal buahnya muncul dan mekar menjadi bunga, lalu terbentuk jadi bulatan buah, hingga makin membesar. Ia menyimak semua proses pematangan buah itu sebagai tontonan yang menarik dan mendebarkan. Ia memantaunya dengan hasrat untuk melahapnya sampai puas setelah masak.
Tetapi sejak saat itu pula, kekhawatiran Romi tumbuh secara perlahan. Pasalnya, setiap hari, ia terus menyaksikan kalau bakal buah durian itu berguguran. Bunga-bunga yang berlimpah, bulir-bulir yang semarak, hingga buah-buah muda yang bergumpal-gumpal, terus berguguran. Sampai akhirnya, yang tersisa dan bertahan menuju masak, sisa delapan buah saja.
Atas kenyataan itu, Romi jadi sangat cemas. Ia takut kalau tak ada buah yang bertahan menjadi santapannya. Namun atas penjelasan ayahnya kalau kondisi itu alamiah, bahwa bunga buah yang begitu banyak mustahil bertahan seluruhnya menjadi buah yang masak, cukup membuatnya tenang. Apalagi setelah sang ayah mengatakan kalau delapan buah yang tersisa, sudah terhitung banyak untuk sepohon durian montong berusia hampir lima tahun yang pertama kali berbuah.
Akhirnya, Romi sekadar berharap-harap cemas dan berdoa semoga delapan buah itu benar-benar bertahan sampai masak untuk ia nikmati. Ia sangat mendambakan kenyataan itu setelah sekian lama ia berharap menyantap buah durian sepuas-puasnya. Sejak dahulu, saat ia menyadari betapa nikmatnya menyantap buah durian dan ayahnya tak punya pohon durian, ia telah mengimpikannya.
Dahulu, kala ayahnya belum menanam sepohon durian montong, sampai saat durian itu belum menghasilkan buah yang masak, Romi memang hanya menggantungkan nafsunya pada kemurahan tetangganya yang punya banyak durian lokal. Bahkan jikalau nafsunya mendesak, ia dan beberapa kawannya akan melanglang ke kebun orang lain untuk mencuri buah durian. Apalagi, ayahnya tentu keberatan untuk membelikannya buah durian dari hasil penjualan tanaman kacang tanah mereka yang tidak terlalu menguntungkan.
Sebab itulah, atas rengekan Romi soal durian, dan setelah ia beberapa kali ketahuan mencuri durian, sang ayah jadi gusar dan memutuskan untuk menanam sebuah bibit durian montong di halaman depan rumah mereka yang lapang. Sang ayah jelas kasihan melihatnya, serta tidak ingin lagi menanggung malu atas aksi pencuriannya. Karena itu pula, sang ayah memelihara durian itu baik-baik, dengan pemupukan, penyemprotan, dan pemangkasan, agar buahnya bisa lekas dinikmati.
“Memangnya, seperti apa durian montong itu, Ayah?” tanya Romi kepada ayahnya, tiga tahun lalu, saat keduanya tengah memangkas tunas muda sepohon durian montong mereka, setelah Romi lazim mendengar kata “montong” dan mulai tahu kalau buah durian ternyata banyak macamnya.
“Durian montong itu, jenis durian unggul, Nak; durian hasil penyambungan, bukan durian lokal seperti yang biasa engkau makan,” jelas sang ayah, sekenanya.
Romi jadi makin penasaran. “Lebih baik mana daripada durian teman-temanku?”
Sang ayah pun tersenyum. “Lebih baik durian montong, lah, Nak. Selain rasanya yang lebih enak, memakan durian montong juga lebih memuaskan karena isinya jauh lebih tebal dan bijinya pipih. Selain itu, durian montong juga bisa bikin kaya, loh, sebab harganya bisa bekali-kali lebih mahal daripada harga durian biasa,” terang sang ayah, seperti mencoba membesarkan hatinya dan menyenangkan perasaannya.
Atas keterangan ayahnya itu, Romi pun terus menghidupkan harapannya atas keberadaan sepohon durian montong tersebut. Ia terus berkhayal bahwa kelak, ia akan menjadi pengeran durian di desanya. Hingga akhirnya, kini, dengan kesabaran dan keuletan ayahnya dalam melakukan pemeliharaan, durian itu tumbuh subur dan berhasil berbuah.
Melihat sepohon durian tersebut berbuah, tak pelak membuat Romi menjadi bangga. Ia bahkan suka menyombong-nyombongkannya kepada teman-temannya yang sebagian besar hanya memiliki durian varietas lokal. Sikapnya itu pun berhasil membuat teman-temannya tak berkutik, sebab varietas durian montong memang dinilai lebih unggul dari segi apa pun.
Dan kini, sepulang sekolah sebagai murid kelas V SD, Romi kembali membicarakan persoalan duriannya itu dengan Gari, seorang temannya yang tak punya pohon durian montong. Ia tak henti-hentinya bersikap congkak dengan menyatakan kalau sepohon durian montongnya lebih baik daripada tiga pohon durian lokal punya Gari.
“Jangan khawatir. Nanti, kalau buah durian montongku masak, aku akan mengajakmu menyantapnya,” tutur Romi kepada Gari, setelah teman dekatnya itu tampak melemah dalam mengadu keunggulan durian.
“Memangnya, akan ada bagian untukku? Kan, buah durianmu tinggal sedikit; tinggal delapan. Lebih banyak buah durianku,” tanggap Gari, polos dan terkesan merendahkan.
Romi pun jadi kesal. Ia merasa diremehkan. “Tetapi durianku itu durian montong. Buahnya besar-besar. Tidak ada orang yang sanggup menghabiskan satu buahnya dalam sekali makan. Kau cukup makan dua isi bijinya saja, kau pasti sudah puas,” tangkisnya, sebagaimana keterangan ayahnya.
Gari mengangangguk-angguk saja. Ia maklum, sebab ia bisa membayangkan kenyataan itu setelah melihat betapa besarnya buah durian montong tersebut. Ia pun merasa tak berdaya lagi untuk melanjutkan perdebatan. “Baiklah. Aku ingin mencoba juga senikmat apa durian montong itu. Sisakan untuk aku, ya,” pintanya, dengan nada kalah.
Seketika, Romi mengangguk angkuh. “Ya, tentu!”
Sejenak kemudian, Gari menyimpang jalan menuju ke rumahnya, dan Romi melanjutkan perjalanannya sendiri.
Dengan perasaan penuh harap, seperti kemarin-kemarin, sepanjang sisa perjalanan, Romi kembali tak sabar untuk sampai di rumahnya. Ia ingin segera mengintip buah durian montongnya yang masih menggantung di atas pohonnya. Ia selalu akan melakukan kebiasaan itu untuk memastikan kalau tak satu pun dari delapan buah itu yang lenyap dan luput dari kehendaknya. Ia ingin benar-benar memuaskan nafsu makan duriannya dengan buah-buah tersebut.
Tetapi akhirnya, setelah sampai di halaman rumahnya, Romi terkejut hebat dan bertanya-tanya. Pasalnya, delapan buah durian montongnya telah lenyap dari atas pohonnya. Padahal, sepengetahuannya, sebagaimana penuturan ayahnya sebelumnya, setiap buah itu sebaiknya baru akan diturunkan dari atas pohonnya setelah masak, yaitu setelah terjatuh dan menggantung di tali ikatannya. Karena itulah, ia jadi sangat penasaran perihal apa yang telah terjadi dengan buah durian itu. Ia sekadar menaksir kalau sang ayah mungkin sengaja memanen buah itu untuk disimpan sampai masak, untuk disantapnya.
Akhirnya, demi menemukan jawaban atas pertanyaan besarnya, ia pun lekas naik ke atas rumah panggungnya. Setelah menemukan ayahnya yang tengah menonton televisi, ia lantas menembakkan pertanyaan, “Buah-buah durian itu di mana, Ayah?”
Sang ayah lalu bangkit dari posisi baringnya, lalu duduk menghadap sang anak. Ia lalu berucap dengan nada tenang. “Sudah aku panen, Nak,” katanya, dengan senyuman yang kaku.
“Terus, Ayah simpan di mana?” sergah Romi.
Seketika, rona wajah sang ayah meredup. “Sudah kujual ke pedagang, Nak.”
Romi sontak merengut. Ia lalu membanting tas gendongnya. “Kenapa dijual, Ayah? Kan, aku mau memakannya!”
Sang ayah pun mendengkus. “Kita lebih butuh uang untuk kebutuhan kita ketimbang makan buah durian itu, Nak. Banyak kebutuhan yang mesti diongkosi.”
Seolah tak bisa menerima alasan apa pun, Romi lalu menangis.
Sang ayah kemudian bangkit dan menggapai dompetnya di atas lemari. Sejenak kemudian, sang ayah menawarinya beberapa lembar uang sejumlah Rp45.000 yang terhitung banyak untuk uang jajannya sekali pemberian. “Ini bagianmu dari hasil penjualan durian itu, Nak,” tuturnya, sambil menyodorkan uang tersebut.
Untuk pertama kalinya, Romi menepis uang pemberian ayahnya, hingga uang itu terjatuh ke lantai. “Aku hanya mau buah durian itu!” katanya, tegas, lantas bergegas masuk ke dalam kamarnya. Ia lalu mengunci pintu dan melanjutkan tangisannya. Ia benar-benar kecewa atas keputusan sang ayah yang membuat ia kehilangan kesempatan untuk memuaskan diri dengan memakan buah durian montong itu, juga membagikannya dan menyombongkannya kepada teman-temannya, khususnya kepada Gari.***
Ramli Lahaping. Penulis cerpen kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).