Kerja Harian (di) Tirikan
Oleh : Niam At Majha
Saya baru saja selesai minum kopi pada sebuah cafe di salah satu yang ada di bumi mina. Aktifitas minum kopi tersebut bukan tanpa maksud dan tujuan. Akan tetapi sebab ada berbagai hal, ada kisah cerita yang di curhat kan, ada sebuah halangan rintangan yang harus segera di selesaikan dan di uraikan demi sebuah informasi harian.
Kisah ceritanya bagini; kata teman saya yang pekerjaannya harian pada sebuah media portal online sosial. Namanya pekerja sosial jadi tak ada gaji bulanan, triwulan, semesteran, bahkan tahunan. Meskipun kerjanya harian akan tetapi apresiasi jadi sebuah guyonan. Menggelikan bukan?
Nah, setelah saya mendengarkan curhatan yang notabene sebagai laporan, tentu hal ini menjadi sebuah perhatian dengan seksama. Mereka kerja harian dan dikecewakan, pasalnya kemarin para pekerja harian tersebut mengajukan anggaran untuk sebuah kegiatan, yang nota bene iput dan outputnya adalah untuk keberlangsungan portal online harian yang bisa memberikan informasi kepada sidang pembaca dengan update dan terupdate.
Namun, sebuah jawaban yang diterima adalah nihil, tak ada anggaran, sungguh menggelikan bukan? Para pekerja harian tak diberikan skala prioritas, padahal kegiatan penjaringan untuk menemukan bakat bakat tersembunyi tersebut bukan sebagai rutinan, akan tetapi kadang kadang dan apabila di butuhkan.
Kerja harian di tirikan, ini terjadi di berbagai lini, sebab kerjanya tak terlihat, bahkan tanpa mengenal waktu, pagi, siang, sore, bahkan malam ketika ada panggilan untuk membuat sebuah berita, memberikan sebuah warta kepada pembaca jika ditempat ini, di tanggal ini, di hari ini ada kegiakan yang harus di informasikan kepada siapa saja, kepada para pembaca yang saat ini sedang menunggu infomasi dari benda kotak kecil yang selalu dibawa kemana saja.
Setelah teman saya menjelaskan itu semua. Saya menghela nafas dengan penuh semangat. Dengan santainya saya menceletuk
“Mas namanya juga pekerja sosial, ya harus diterima dengan sosialis meskipun kadang kadang kita jadi sial sial sebab sudah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran, demi untuk membuat informasi harian. Tak usah di sesali saya yakin nanti entah kapan pasti ada solusi”
Mendengar itu, tampak teman saya sepeti tertampar tapi tanpa menggunakan tangan. Mau mengajukan pledoi atau sekadar berdebat, apa gunanya. Sebab semuanya adalah realitas. Kalau sudah memilih jalan ninja untuk menjadi pekerja sosial di media sosial, tentu harus di terima segala konsekuensi nya apa pun itu, meskipun kerja harian kita di tirikan oleh pimpinan.